Ketegangandiplomatik RI-Tiongkok pun merebak. Menlu RI melakukan protes keras, sekaligus memanggil Kuasa Usaha Republik Rakyat Tiongkok di Jakarta. Kemlu Tiongkok di Beijing menyangkal melakukanpelanggaran kedaulatan karena menganggap kapal Kway Fey (KF) berada dalam traditional fishing zoneRRT, bahkan ia meminta para anak buah kapal KF dibebaskan. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan pun menjawab tegas: tidak ada doktrinwilayah perairan perikanan tradisionalitu.
Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq menilai insiden Natuna mengancamhubungan diplomatik RI-Tiongkok,sekalipun Istanamenyatakan RI tidak sedang berkonflik dengan Tiongkok. TNI AL pun menyatakan insiden Natuna hanya konflik perikanan dan bukan pertahanan.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti kembali mengancam akan menggugat Tiongkok ke Mahkamah Hukum Laut Internasional bila Tiongkok tetap menghambat langkahIndonesia menghukum KF. Sementara Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah minta Presiden takmenyerahkan urusan Natuna kepada Susi Pudjiastuti.
Elemen milisi maritim
Indonesia bukan negara para pihak yang bersengketa di Laut Tiongkok Selatan. Namun, hubungan RI-RRT kembali diuji, di tengah hadirnya milisi maritim Tiongkok. Darikronologi insiden KF, terkuak langkah proteksi aparat Tiongkok. Adanya intervensi (militer) kapalpenjaga pantai Tiongkok menabrak kapal KF agar tenggelam dan terbebas dari kapal patroli RI, diyakini KF sebagai kapal (gelap) milisi maritim Tiongkok.
Bukan rahasia lagi. Saat ini, ribuan tenaga milisi kelautan Tiongkok bergerak sebagai nelayan pencari ikan (little blue men) dengan kapal kecil atau sedang, tetapi berteknologi canggih. Mereka menjelajah seantero dunia, berkomunikasi, dan bahkan menerima instruksi dari aparat keamanan laut Tiongkok di wilayah terdekat maupun pusat komando regional Angkatan Laut Tiongkok (Andrew Erickson dan Conor Kennedy,2016).
"Bahkan bila terjadi sengketaterbuka, anggota milisi maritim ini dapat mengambil alih posisi Angkatan Laut Tiongkok," demikian kata Chris Cavas tanpa merinci strategi dan taktik yang dilakukan (Defense News, 2/11/2015).
Dengan kata lain, milisi maritim adalah ujung tombak kekuatan pertahanan laut Tiongkok. Jadi, mereka bukan lagi sekadar nelayan tua penjaring ikan di laut, yang sepenuhnya bebas dari misi bela negara. Tidak mengherankan bila sekitar 100 kapal pencari ikan Tiongkok terdeteksimelakukanpelanggaran batas wilayah perairan Malaysia di Laut Tiongkok Selatan yangjadi sengketa.
Meningkatnya kerja samaekonomi, perdagangan, dan investasi Tiongkok dengan negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia belakangan ini, tidak dengan sendirinya meningkatkan kepercayaan (trust) kepada Tiongkok. Kemelut teritorial yang timbul akibat klaim RRT di Laut Tiongkok Selatan, proyek reklamasi dan pembangunan fasilitas militer Tiongkok di gugus PulauSpratly dan Paracel, misalnya, jelas menjadi faktor negatif RRT di tengah rapuhnya kepercayaan dikawasan ini.
Sebagian anggota ASEANbahkan masih melihat RRT sebagai sumber ancaman nyata bagi kestabilan, keamanan,dan penguasaan sumber daya ekonomi Asia Tenggara.
Coba kita lihat produksi hasil perikanan dan kekayaan laut di wilayah perairan Laut Tiongkok Selatan selama lima tahun (2005-2010): mencapai 10,5 juta ton, senilai 21,8 miliar dollar AS (pada 2012). Dari stok itu, RRT memanen 45 persennya, senilai 12 miliar dollar AS; Vietnam 4,384 miliar dollar AS; Taiwan (2,731 miliar dollar AS); Malaysia (1,2 miliar dollar AS); dan Indonesia (1,2 miliar dollar AS).Demikian hasil studi UniversitasBritish Columbia, 2015.
Dari angka itu, Tiongkok menguasai hampir setengah deposit kekayaan ikan dan berhasil menjadikannya devisa yang besar. Dominasi Tiongkok merebut persaingan ekonomi seperti itu tentu menimbulkan dilema dalammenyiasati kerja sama ekonomi.
Perlu terobosan diplomasi
Sikap arogan RRT menyikapi insiden KF, misalnya, jelas membangkitkan kekecewaan publik di tengah bulan madu upayapeningkatan kerja sama ekonomiRI-RRT. Belum lagi rendahnya rasio realisasi investasi RRT diIndonesia, tentu menimbulkan berbagai pertanyaan.
Karena itu, respons publik di dalam negeri bisa menjadi elemen kontra-produktif bagi peningkatan kerja sama RI-RRT. Rasa kebangsaan publik diusik. Tidak hanya oleh tindak pelanggaran wilayah, lebih dari itu, pencurian aset negara secara masif ini bisa menimbulkangerakan perlawanan, bahkan sentimen anti Tiongkok di tingkat akar rumput.
Di tengah tantangan sepertiitu, Jakarta dan Beijing perlu melakukan terobosan diplomasi (baca: membuka area kerja sama baru) guna menumbuhkan kepercayaan yang rapuh. Faktor masa lalu hubungan RI-RRT, meski bukan faktor utama, bisa menjadi pendulum kepercayaan.
Langkah Tiongkok menghentikan pencurian ikan di teritoriIndonesia adalah salah satu solusi tepat untuk memulihkan kepercayaan yang rapuh itu.
PLE PRIATNA, DIPLOMAT; ANGGOTA STAF SEKRETARIAT BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKANKEMENTERIAN LUAR NEGERI
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 April 2016, di halaman 7 dengan judul "RI-Tiongkok dan Kepercayaan yang Rapuh".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar