Sangat wajar bahwa pertanyaan seperti itu yang pertama-tama mengemuka. Pertanyaan tersebut sebenarnya lebih merupakan harapan. Harapan bukan hanya dari rakyat Myanmar, melainkan juga dari masyarakat internasional. Semuanya ingin melihat bahwa Myanmar di bawah kepemimpinan seorang presiden dari partai yang memperjuangkan demokrasi benar-benar berubah, meskipun militer masih menguasai 25 persen kursi di parlemen.
Kita mengikuti perkembangan Myanmar dari waktu ke waktu. Masih tergambar jelas bagaimana negeri itu selama hampir lima dekade berada di bawah kekuasaan militer. Sepanjang masa itu, Myanmar banyak disorot dunia karena masalah pelanggaran hak-hak asasi manusia, dan juga tertutupnya keran demokrasi.
Munculnya Aung San Suu Kyi, yang akhirnya memperoleh Hadiah Nobel Perdamaian tahun 1991, juga merupakan "buah" dari tekanan rezim militer. Dia berjuang mempromosikan demokrasi di negaranya dengan tidak menggunakan kekerasan. Langkah itu dilakukan sebagai bentuk perlawanan kepada rezim militer yang berkuasa. Karena perjuangannya, perlawanannya pada rezim militer, Aung San Suu Kyi ditangkap, dipenjara selama 21 tahun, yang 15 tahun di antaranya dijalaninya sebagai tahanan rumah. Ia dibebaskan pada 13 November 2010.
Semua itu kini menjadi sebuah cerita; bagian dari sejarah Myanmar. Sebuah cerita, bagian dari sejarah yang semestinya akan menjadi kekuatan untuk membangun Myanmar yang baru, yang lebih demokratis. Hasil pemilihan umum yang digelar 8 November lalu—dimenangi Liga Nasional untuk Demokrasi; yang merupakan pemilu keempat sejak 1988, yakni 1990, 2010, dan 2012, tetapi paling demokratis—akan menjadi modal yang sangat bernilai untuk membangun rumah demokrasi di Myanmar.
Kini, dengan kepercayaan rakyat yang demikian tinggi, sekaligus harapan rakyat yang demikian besar, Aung San Suu Kyi, lewat partainya, yang kini berkuasa harus mampu mewujudkan harapannya, impiannya untuk menjadikan Myanmar lebih demokratis, lebih menghormati hak-hak asasi manusia. Ibarat kata, Aung San Suu Kyi kini memperoleh kesempatan untuk menutup lembaran lama "buku" Myanmar dan memulai lembaran baru.
Ada banyak persoalan yang harus dihadapi pemerintah baru Myanmar. Satu contohnya yang menyangkut penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia adalah menyangkut nasib orang-orang Rohingnya. Apakah pemerintah baru Myanmar dapat menyelesaikan masalah Rohingnya secara manusiawi? Itu antara lain yang ditunggu banyak pihak, selain perbaikan kualitas hidup rakyat dan demokrasi.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 April 2016, di halaman 6 dengan judul "Menunggu Perubahan di Myanmar".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar