Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 29 April 2016

TAJUK RENCANA: Demokrasi di Thailand (Kompas)

Adakah demokrasi di Thailand? Pertanyaan itulah yang begitu mendesak untuk pertama kali diajukan dalam tulisan singkat di kolom ini.

Demokrasi menjadi persoalan pelik di Thailand. Negeri yang kaya dengan bank-bank yang kuat, pabrik-pabrik modern, menjadi kunjungan wisatawan asing, dan kelas menengah yang terus tumbuh itu lebih dikenal sebagai "negeri yang sarat dengan kudeta". Tak kurang dari delapan kudeta militer terjadi dalam sejarah modern Thailand.

Di antara kudeta-kudeta militer itu, Thailand dikoyak-koyak oleh kerusuhan politik. Bahkan, bentrokan politik terakhir ada korban jiwa. Dua tahun lalu, ketika situasi politik semakin buruk, militer mengambil alih kekuasaan. Inilah "campur tangan militer" terakhir. Dan sejak saat itu, Mei 2014, kekuasaan ada di tangan militer.

Hingga sekarang, belum ada kepastian kapan pemilihan umum yang demokratis akan diselenggarakan. Meskipun sudah disebut-sebut pemilu akan dilaksanakan pertengahan 2017, tetap tidak ada jaminan bahwa pada saat itu benar-benar akan diselenggarakan pemilu baru.

Kini perhatian rakyat Thailand mengarah pada rancangan konstitusi yang dirancang Komite Perancang Konstitusi. Menurut rencana, tiga bulan lagi rancangan konstitusi itu akan dimintakan persetujuan kepada rakyat lewat referendum. Akan tetapi, kondisi politik saat ini tidak kondusif. Hal itu, antara lain, tecermin dari adanya larangan untuk menyatakan pendapat secara terbuka terhadap rancangan konstitusi tersebut.

Penangkapan terhadap 10 netizen yang secara terang-terangan menyatakan pendapat terhadap rancangan konstitusi dan 16 orang lainnya adalah salah satu contoh tentang kurangnya kebebasan berbicara. Mereka didakwa melanggar undang-undang kejahatan komputer dengan mengkritik rezim dan perdana menteri.

Sejak berkuasa, pada tahun 2014, militer menerapkan larangan ketat kegiatan berkumpul. Militer juga mengawasi secara ketat seminar-seminar dan pertemuan akademik. Forum yang diselenggarakan Fakultas Ilmu Politik Universitas Chulalongkorn, yang dihadiri para akademisi, aktivis, dan politisi, dianggap melanggar.

Bagaimana masa depan demokrasi di Thailand? Itulah pertanyaannya. Selama militer belum rela meninggalkan panggung politik, dan ingin menikmati kekuasaan, serta kaum elite politik dan kelas menengah pro royalis berpengaruh, maka suara rakyat akan terus dikesampingkan. Akan tetapi, cepat atau lambat, tuntutan akan demokratisasi, penghormatan terhadap hak berkumpul, menyampaikan pendapat, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia tidak akan dapat ditahan lagi. Apa yang terjadi di Timur Tengah menjadi contohnya. Karena itu, benar yang ditulis Bangkok Post dalam editorialnya, "Biarlah rakyat berbicara," sebelum terlambat.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 April 2016, di halaman 6 dengan judul "Demokrasi di Thailand".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger