Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 06 April 2016

TAJUK RENCANA: Skandal ”Panama Papers” (Kompas)

Dunia kembali digemparkan oleh skandal bocornya 11,5 juta dokumen finansial, yang mengungkap praktik penghindaran pajak global skala masif.

Bocornya dokumen yang dikenal sebagai "Panama Papers" dan menjadi berita utama di berbagai media internasional itu merupakan prestasi luar biasa dan hasil kerja besar International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ) dengan melibatkan ratusan jurnalis investigatif lintas negara —dibantu orang dalam sebagai whistle blower—selama bertahun-tahun. Tak mudah menerobos sistem perbankan di negara surga pajak (tax haven) yang dikenal penuh kerahasiaan, bahkan oleh otoritas internasional sekalipun.

Nama-nama yang terlibat juga bukan main-main: 12 pemimpin negara, ratusan politisi dan pebisnis, selebritas dan atlet ternama dunia. Tak kurang dari 2.961 nama orang Indonesia, sebagian di antaranya politisi atau pengusaha yang sudah sangat dikenal namanya, juga disebut.

Media global melihat ini sebagai keberhasilan besar membongkar jaringan korupsi dan penghindaran pajak skala global. Namun, sebagaimana ditekankanThe Guardian —kita harus hati-hati mengingat tak semua penempatan aset atau rekening di luar negeri itu bermotifkan korupsi dan penghindaran pajak. Untuk pebisnis, kepentingan memperlancar urusan bisnisnya sering kali menjadi alasan. Namun, untuk politisi dan individu, motifnya masih dipertanyakan. Mengapa memilih menempatkan dana di luar negeri, dan mengapa Panama? Efek politik dari skandal ini juga dahsyat. Salah satunya, Presiden Eslandia terancam kedududukannya di tengah seruan mundur karena namanya ada di daftar itu.

Panama jelas bukan satu-satunya tax haven di dunia. Beberapa tahun terakhir, upaya global di bawah prakarsa G-20 gencar membasmi praktik pencucian uang dan penghindar pajak, dengan memaksa surga pajak menandatangani perjanjian bilateral saling tukar informasi perbankan.

Skandal Panama Papers membuktikan praktik-praktik itu masih eksis hingga kini. Fakta bahwa client -nya nama-nama besar terkemuka dunia—bukan lagi terbatas diktator korup atau gembong narkoba—dan diklaim sebagai praktik legal membuktikan perang global melawan praktik ini masih jauh dari selesai. Globalisasi dan teknologi informasi kian memudahkan penghindar pajak memindahkan dana ke luar negeri. Apalagi tax havens umumnya berada di teritori atau negara dengan aturan longgar terkait disclosure.

Bagaimana kita menyikapi? Tak ada pilihan lain kecuali mendukung upaya global memerangi praktik ini dan mempererat kerja sama pertukaran informasi antarnegara mengingat penghindar pajak cenderung mengalihkan dana ke negara di mana kita belum memiliki perjanjian bilateral.

Meningkatkan integritas dan kapasitas aparat pajak juga tak bisa ditawar-tawar lagi mengingat praktik itu sering melibatkan instrumen dan rekayasa keuangan yang rumit. Terbongkarnya skandal ini memang tidak menjamin tamatnya praktik ini, tetapi setidaknya dedikasi lembaga seperti ICIJ akan kian mempersempit ruang gerak jaringan pencucian uang dan penghindar pajak global.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 6 April 2016, di halaman 6 dengan judul "Skandal "Panama Papers"".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger