Perdebatan tentang isu tersebut berlangsung sangat tajam dalam konteks pertentangan antara keperluan untuk melindungi hak investor asing dan kepentingan untuk menjaga kedaulatan ekonomi.
Dalam praktik di semua FTA dan BIT yang telah dibuat Indonesia, kepentingan investor asing tampak lebih perkasa dibandingkan upaya menjaga kedaulatan ekonomi nasional. Selama ini Indonesia telah memberikan hak kepada investor untuk secara langsung menggugat Indonesia di arbitrase internasional, meskipun langkah tersebut dapat mengurangi atau membatasi kedaulatan ekonomi nasional.
Berdasarkan pengalaman banyak negara, hak investor tersebut dapat mempersempit kewenangan negara dalam menempuh kebijakan pembangunan nasional. Selain itu, hak tersebut juga dapat dengan mudah disalahgunakan oleh investor asing untuk menggugat kebijakan pembangunan nasional suatu negara yang dianggap tidak sejalan dengan kepentingan komersial mereka.
Dalam lima tahun terakhir, Indonesia telah menghadapi empat kasus gugatan di arbitrase internasional, yaitu kasus Churchill Mining, kasus Bank Century, kasus Newmont, dan terakhir adalah kasus Indian Metals & Ferro Alloys. Dalam semua kasus itu, Indonesia digugat untuk membayar kompensasi yang nilainya mencapai triliunan rupiah.
Peninjauan kembali
Menyadari kerawanan penyalahgunaan ini, Pemerintah Indonesia saat ini sedang meninjau kembali praktik pemberian hak kepada investor asing dimaksud. Langkah tersebut dilakukan bersamaan dengan kebijakan pemerintah untuk menghentikan dan meninjau kembali semua BIT yang telah dibuat oleh Indonesia. Sejauh ini pemerintah telah menghentikan 20 BIT, meskipun tidak ada satu pun FTA yang dihentikan karena alasan ini.
Dalam proses peninjauan kembali yang melibatkan publik, akademisi, dan praktisi hukum, pemerintah pada akhirnya mengambil posisi baru. Hak investor untuk menggugat di arbitrase internasional tetap dapat dipertahankan sepanjang dalam pelaksanaannya memenuhi persyaratan, yaitu harus memperoleh persetujuan (prior-consent) Pemerintah Indonesia.
Perubahan kebijakan tersebut sama sekali tidak dimaksudkan untuk menghapus perlindungan terhadap investor asing di Indonesia dan sama sekali tidak mengurang hak investor asing untuk memperoleh perlindungan hukum dari hukum nasional.
Posisi baru tersebut dapat dipastikan akan menghadapi tantangan dalam beberapa perundingan FTA, atau BIT khususnya dengan negara-negara maju. Oleh karena itu, konsistensi pemerintah untuk mempertahankan posisi baru sangat diperlukan untuk melindungi kedaulatan ekonomi nasional.
Landasan posisi baru
Posisi baru tersebut didasarkan pada pertimbangan strategis dan landasan normatif yang memadai. Peraturan perundangan nasional telah mensyaratkan adanya prior-consent dari Pemerintah Indonesia sebelum menyelesaikan sengketa investasi di arbitrase internasional.
Syarat tersebut ditegaskan dalam Pasal 2 UU No 5/1968 tentang Penyelesaian Perselisihan antara Negara dan Warga Negara Asing mengenai Penanaman Modal dan Pasal 32 Ayat 4 UU No 25/2007 tentang Penanaman Modal. Dengan demikian, suatu sengketa investasi dapat diselesaikan di arbitrase internasional apabila pemerintah dan investor asing bersepakat untuk menyerahkan sengketa tersebut ke arbitrase internasional.
Dengan memperhatikan ketentuan berbagai peraturan perundangan nasional, misalnya UU No 4/2009 tentang Minerba dan UU No 13/2010 tentang Hortikultura, yang memiliki semangat berbeda dengan berbagai BIT atau FTA, persyaratan prior-consent diharapkan dapat berperan sebagai legal safeguardbagi kepentingan nasional dari ancaman gugatan para investor asing di arbitrase internasional.
Utamakan kedaulatan
Persyaratan tersebut semakin diperlukan mengingat berbagai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) cenderung mengedepankan kedaulatan nasional dan mengurangi peranan investor asing. Hal ini bisa dilihat dari, misalnya, pembatalan UU No 7/2004 tentang Sumber Daya Air. Tanpa adanya syarat tersebut, para investor asing dapat secara mudah menggugat pelaksanaan peraturan perundangan nasional di arbitrase internasional karena keputusan MK tersebut dianggap bertentangan dengan komitmen Indonesia di BIT atau FTA.
Hal tersebut juga menjadi sebuah keniscayaan karena buruknya pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah di Indonesia. Persyaratan tersebut diharapkan dapat mengurangi kemungkinan gugatan arbitrase internasional yang muncul akibat kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah.
Isu di atas perlu mendapat perhatian khusus mengingat saat ini Indonesia sedang menghadapi gugatan Churchill Miningdan PT IMFA ke arbitrase internasional akibat kebijakan pemerintah daerah.
Untuk memperjuangkan posisi baru tersebut, sudah sepatutnya Indonesia melihat keberhasilan Filipina dalam mengupayakan perlakuan khusus untuk menerapkan syarat prior-consent di semua ASEAN + 1 FTA. Dalam perjanjian-perjanjian tersebut, semua investor asing yang akan mengajukan gugatan ke arbitrase internasional perlu prior-consent dari Pemerintah Filipina.
Pemerintah Indonesia tidak perlu terlampau mengkhawatirkan posisi baru tersebut bahwa akan memengaruhi daya tarik Indonesia sebagai tujuan investasi. Berbagai kajian akademis membuktikan bahwa pemberian hak kepada investor bukan merupakan pertimbangan utama dalam melakukan investasi.
Pertimbangan komersial
Investor asing lebih memperhatikan stabilitas politik, potensi pertumbuhan ekonomi, ketersediaan infrastruktur, dan pertimbangan-pertimbangan komersial lainnya. Sebagai contoh, meskipun Brasil sampai saat ini tidak terikat pada FTA atau BIT yang memberikan hak kepada investor asing untuk mengajukan gugatan secara langsung ke arbitrase internasional, Brasil menjadi tujuan investasi tertinggi ke-7.
Maka, dalam perundingan BIT atau FTA yang sedang atau akan dilakukan Indonesia, pemerintah sepatutnya tetap konsisten mempertahankan posisi yang mensyaratkan prior-consent dari pemerintah bagi investor asing untuk mengajukan gugatan ke arbitrase internasional.
Langkah tersebut perlu dilakukan untuk menyeimbangkan kepentingan investor asing dengan keperluan melindungi kedaulatan ekonomi nasional.
ABDULKADIR JAILANI PEMERHATI ISU HUKUM INVESTASI INTERNASIONAL
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 Mei 2016, di halaman 7 dengan judul "Kedaulatan dan Sengketa Investasi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar