Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 19 Mei 2016

Proklamasi Budaya (SRI-EDI SWASONO)

Banyak yang bertanya, mengapa pembudayaan Pancasila makin sepi di ruang-ruang kelas kita?

Saya berharap hal ini bukan kelanjutan dari dihapuskannya Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di awal Reformasi, cerminan euforia politik dangkal, yang secara "pop" menerima paham "the end of ideology" liberalistiknya Daniel Bell (1960-an) dan "the end of history" Francis Fukuyama (1992).

Lebih menyedihkan lagi, saat ini di salah satu universitas terkemuka di Indonesia perkataan "Pancasila" tidak disebut dalam bab-bab dan pasal-pasal statuta-nya. Reformasi telah berubah menjadi deformasi.

Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, "Pancasila" dua kali disebut. "…Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman (Bab I Pasal 1 Ayat 2)…", dan "…Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945…" (Bab II Pasal 2).

Namun, dalam Bab Kurikulum (Bab X) tidak terjabarkan bahkan tidak disebutkan perkataan "Pancasila", meskipun secara eksplisit disebutkan sebagai tuntutan kurikuler perkataan-perkataan "iman", "takwa, "akhlak mulia", dan "agama". Karena itu, aneh bahwa "Pancasila" tidak menjadi tuntutan kurikuler serupa.

Asas bersama

Pancasila adalah "asas bersama" yang mentransformasi kebinekaan (multi-etnikalisme dan multikulturalisme) Indonesia menjadi ketunggalikaan.

Bapak Pendidikan Nasional kita menegaskan, pendidikan adalah proses pembudayaan. Pembudayaan Pancasila adalah salah satu hal yang fundamental, pembudayaan semangat kemerdekaan adalah hal fundamental lain yang harus menyertai arah pendidikan nasional. Kita khilaf keduanya.

Kemajuan pendidikan kita menakjubkan. Boleh dibilang tidak ada lagi warga negara Indonesia yang tidak mengecap pendidikan. Tidak mudah lagi mencari warga yang buta huruf. Semua bebas bersekolah, bebas dan berhak memperoleh pendidikan setinggi-tingginya.

Kita telah menghasilkan Soetami, Sedyatmo, Achmad Baiquni, BJ Habibie, Tjokorda Raka Sukawati, dan seterusnya. Kita telah melahirkan jutaan orang pintar yunior yang matang berbakat, jutaan sarjana, ratusan ribu guru, ribuan perguruan tinggi dengan ratusan ribu dosen dan guru besar terakreditasi. Kita pun bangga anak-anak kita memenangi olimpiade Fisika, Matematika, dan prestasi dunia semacamnya, berkat asuhan tokoh-tokoh bangsa sendiri. Tuntutan abad ke-21 pun dipersiapkan.

Namun, di lain pihak, kita belum berhasil memenuhi tuntutan budaya sebagai bangsa yang merdeka. Cita-cita Proklamasi Kemerdekaan kita jelas, yaitu "…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia…" (Pembukaan UUD 1945). Namun, cita-cita kemerdekaan ini belum tercapai, bahkan terjadi berbagai kegagalan menyedihkan.

Proklamasi Kemerdekaan di samping merupakan proklamasi politik, proklamasi keberdaulatan, dan kemandirian, yang menolak ketergantungan (menolakonafhankelijkheid–istilah Soekarno dan Hatta), proklamasi kemerdekaan adalah juga suatu "proklamasi budaya".

Dari "proklamasi budaya" ini lahirlah berbagai "tuntutan budaya": tuntutan budaya melepaskan "keinlanderan" kaum pribumi, yang semasa keterjajahannya berada di bawah kelompok kelas tertinggi yang disebut kaum European (bangsa Eropa) dan kelompok kelas menengah yang disebut kaum Vreemde Oosterlingen (bangsa Timur Asing).

Kaum inlander adalah kelompok kelas terbawah yang disebut kaum pribumi. Proklamasi Kemerdekaan yang mengemban budaya emansipasi menghapus struktur diskriminatif: "…tiap-tiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan…" (Pasal 27 Ayat (2) UUD 1945).

Tuan di negeri sendiri

Lebih lanjut "proklamasi budaya" ini melahirkan tuntutan untuk mampu berbudaya sebagai tuan di negeri sendiri, mampu menolak menjadi koelie di negeri sendiri, mampu merasa sepenuhnya berdaulat atas diri dan atas Ibu Pertiwi-nya, sadar akan makna mulia keberdaulatan dan berkemandirian. Namun, saat ini kita belum mampu berdaulat dalam pangan, bibit, obat dasar, teknologi, energi, mesiu, bahkan belum berdaulat dalam legislasi: Ada 100 undang-undang bertentangan dengan UUD 1945, ada 20 undang-undang bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.

Tentang cita-cita "mencerdaskan kehidupan bangsa" yang tentu bukan sekadar "mencerdaskan otak bangsa", itu adalah konsepsi budaya, bukan konsepsi biologis-genetika. Mencerdaskan kehidupan bangsa berkaitan dengan meningkatkan harkat martabat manusia, mengangkat derajat manusia-manusia Indonesia menjadi bangsa Indonesia yang dignified (Hatta, 1973), berketahanan nasional, berpekerti luhur, tangguh, digdaya, dan mandraguna. Mampu berkehidupan yang cerdas adalah inti dari suatu bangsa yang merdeka.

Dari konteks budaya inilah, Proklamasi Kemerdekaan memperoleh makna sejatinya sebagai bangsa yang merdeka. Tidak ada makna mulia lain dari budaya merdeka kecuali sikap patriotik Patrick Henry (1775) dalam perang kemerdekaan Amerika "give me liberty or give me death", atau apa yang dikatakan para putra revolusi Indonesia di awal kemerdekaan "merdeka atau mati". Ini yang kemudian lebih ditegaskan oleh Panglima Besar Soedirman (1948): "…lebih baik hancur lebur bersama debu kemerdekaan daripada menyerah di bawah penjajahan…"

Sepi Pancasila

Dalam dimensi dignity bangsa, dalam rangkaian nation and character building, di mana wujud akhirnya adalah: kini kita belum sepenuhnya mampu menjadi tuan di negeri sendiri: Belum tegar memangku keberdaulatan dan kemandirian bangsa, belum mampu melepaskan ke-inlanderan. Bahkan, dalam pergaulan internasional masih mengembanunderdog mentality, masih servile, terejek sebagai bangsa tempe oleh negara-negara tetangga, masih terdikte sebagai koelie di negeri sendiri.

Pembudayaan Pancasila makin sepi di ruang-ruang kelas, ujian nasional belum mencerminkan satu sistem pendidikan nasional untuk membentuk satu kesatuan mindset keindonesiaan, masih memelihara paham individualisme dan liberalisme kolonial yang kita tolak tatkala kita menyatakan kemerdekaan, di sini pendidikan nasional telah gagal memenuhi tuntutan budaya sebagai bangsa yang telah memproklamasikan kemerdekaannya.

Setelah letusan-letusan meriam Jepang 1905 di Tsushima mengalahkan tentara Rusia, lahir pula Kebangkitan Nasional Indonesia 1908 kemudian diperingati sesuai lahirnya Boedi Oetomo, 20 Mei 1908.

Peringatan pertama Hari Kebangkitan Nasional dilakukan tahun 1948 di pelataran Benteng Vredeburg, Ki Hadjar Dewantara sebagai ketua panitia, menendang batu bata di pelataran benteng ini sebagai simbol mengusir penjajahan Belanda.

SRI-EDI SWASONO, GURU BESAR UNIVERSITAS INDONESIA, KETUA UMUM MAJELIS LUHUR TAMANSISWA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 Mei 2016, di halaman 7 dengan judul "Proklamasi Budaya".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger