Reklamasi teluk Jakarta dihubungkan dengan Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Pasal 4 yang mengatur kewenangan Gubernur DKI untuk memberikan izin reklamasi, UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang mengalami perubahan menjadi UU No 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Polemik ini mengakibatkan pemerintah pusat melalui Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli menghentikan kegiatan reklamasi dalam rapat yang dihadiri Menteri Lingkungan dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar, Dirjen Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dan Gubernur DKI Jakarta.
Pemerintah membentuk komite gabungan lintas kementerian dan instansi. Komite itu, antara lain, beranggotakan dua dirjen dan dua direktur dari Kementerian LHK, dua dirjen dan dua direktur dari KKP, perwakilan dari Kementerian Dalam Negeri, perwakilan Sekretaris Kabinet, deputi Kemenko Maritim dan Sumber Daya, dan perwakilan Pemprov DKI Jakarta (Kompas, 19/4/2016).
Melihat komite gabungan yang dibentuk pemerintah, peraturan apa yang menjadi panduan mereka untuk bekerja?
UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPL) menjadi payung hukum untuk melestarikan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Akhir tahun 2015, Presiden Jokowi hadir dalam pertemuan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan ikut menyepakati pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Untuk menjawab polemik reklamasi teluk Jakarta, UU No 32 Tahun 2009 Pasal 15 Ayat 1 menyebutkan: "Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membuat Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program." Absennya kewajiban pemerintah untuk membuat KLHS salah satu sumber polemik. Sebab, KLHS harus menjadi acuan aktivitas di sebuah kawasan.
Pemerintah mewajibkan pengusaha membuat dokumen lingkungan seperti analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), padahal kewajiban pemerintah untuk membuat KLHS tidak dijalankan. Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar mengatakan, pihaknya menekankan dua hal terkait reklamasi , yaitu soal amdal yang belum lengkap karena selama ini hanya dibuat per pulau. Menurut Siti Nurbaya, amdal harus secara keseluruhan dan kedua adalah audit lingkungan, sekaligus penegakan hukum.
Siti Nurbaya tidak bicara kelalaian pemerintah pusat dan daerah untuk memenuhi kewajibannya untuk membuat KLHS. Amdal dibuat harus berdasarkan KLHS. Jadi, tidak ada artinya amdal tanpa KLHS. KLHS menjadi alat pemerintah untuk mengendalikan daya dukung dan daya tampung lingkungan. KLHS menjadi hal yang urgen sesuai amanat UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pemerintah lalai
Dalam hal penegakan hukum, pemerintah juga lalai berdasarkan amanat UU No 32 Tahun 2009 Pasal 95 yang berbunyi: (1) Dalam rangka penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup, dapat dilakukan penegakan hukum terpadu antara penyidik pegawai negeri sipil, kepolisian, dan kejaksaan di bawah koordinasi Menteri. Kemudian, (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan penegakan hukum terpadu diatur peraturan perundang-undangan.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur penegakan hukum terpadu terhadap tindak pidana lingkungan hidup pun belum ada.
Pemerintah harus jujur mengakui bahwa kelalaiannya untuk membuat KLHS dan tidak menyelesaikan amanat UU No 32 Tahun 2009 Pasal 95 Ayat 2 untuk membuat UU penegakan hukum terpadu. Semua aturan yang ada berkaitan dengan pengelolaan reklamasi tak ada yang bertentangan dengan UU No 32 Tahun 2009, seperti UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang mengalami perubahan menjadi UU No 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Semua aturan ini mengatakan agar kegiatan memperhatikan lingkungan yang bermuara kepada UU No 32 Tahun 2009.
Mengurai aturan yang berkaitan dengan reklamasi, maka dimulai dari UU No 32 Tahun 2009 Pasal 15 tentang kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah untuk membuat KLHS. Semua kegiatan yang ada harus berdasarkan KLHS sehingga daya dukung dan daya tampung lingkungan dapat dikendalikan. Semua kegiatan yang diatur oleh UU harus berdasarkan KLHS. Dengan demikian, tidak ada aturan yang tumpang tindih.
Selain kewajiban pemerintah untuk membuat KLHS dan UU pelaksanaan penegakan hukum terpadu, pemerintah juga wajib membuat Rencana Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH). Pasal 5 UU No 32 Tahun 2009 mengatakan RPPLH melalui tahapan (a) Inventarisasi Lingkungan Hidup; (b) Penetapan Ekoregion; (c) Penyusunan RPPLH. UU No 32 Tahun 2009 mengamanatkan harus lahirnya satu UU, 20 Peraturan Pemerintah (PP), dan 9 Peraturan Menteri (Permen). Pasal 126 menyebutkan bahwa peraturan pelaksanaan yang diamanatkan dalam UU ini ditetapkan paling lama satu tahun terhitung sejak UU diberlakukan. UU No 32 Tahun 2009 sudah berlangsung hampir tujuh tahun, tetapi kewajiban pemerintah belum dijalankan. Opini publik fokus kepada dokumen amdal.
Jika pemerintah segera menyelesaikan amanat UU No 32 Tahun 2009 dan mengimplementasikannya, tidak ada aturan yang saling menindih. Semua aturan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan tinggal beradaptasi. Konflik lingkungan sejatinya sangat mudah terselesaikan jika pemerintah dan pemerintah daerah segera menyelesaikan KLHS. Lingkungan akan lestari jika pembangunan terintegrasi satu dengan lain. Dengan demikian, keseimbangan alam terjamin.
GURGUR MANURUNG
Alumnus Pascasarjana Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan; Peneliti di Institute For Indonesia Local Policy Studies, Banten; Praktisi Lingkungan Hidup
Tidak ada komentar:
Posting Komentar