Pemerintah melalui Kementerian Pertanian mencanangkan tahun 2017 Indonesia mencapai swasembada beras, jagung, dan kedelai. Bahkan, di berbagai kesempatan lain dinyatakan Indonesia (akan) swasembada beras di tahun 2015, jagung 2016, dan kedelai 2017, dan setelah itu pangan lainnya (daging sapi, gula, dan lain-lain). Berbagai upaya telah dan sedang dilakukan, antara lain peningkatan anggaran Kementerian Pertanian yang drastis (112 persen) serta berbagai program khusus seperti Upaya Khusus Peningkatan Produksi Padi, Jagung, dan Kedelai (Upsus Pajale), peningkatan tajam subsidi pupuk (87,5 persen), pelibatan TNI AD, serta pembagian masif benih, alat, dan mesin pertanian.
Tampaknya upaya-upaya itu belum menelurkan hasil yang menggembirakan. Tahun 2015 dan awal tahun 2016 justru menjadi saksi terjadinya gejolak harga di hampir seluruh pangan pokok. Harga beras sempat tertekan sedikit pada April 2015, tetapi mulai Mei 2015 harga beras terus melambung dan pada Oktober melewati rekor tertingginya selama 20 tahun terakhir dan terus meningkat hingga Maret 2016. Situasi ini sangat memberatkan masyarakat kecil termasuk petani yang setelah panen menjadi net-consumer pangan.
Gejolak harga yang sama terjadi di jagung, daging sapi, ayam, telur ayam, bawang merah, cabai, kacang hijau, dan kacang tanah (Kementerian Perdagangan, 2014-2016). Sementara harga kedelai, gula pasir, dan minyak goreng relatif stabil karena sangat terkait dengan harga di pasar internasional.
Gejolak harga yang sangat tinggi merupakan "buah" dari permasalahan di produksi dan stok. Alih-alih menyadari kesalahan terkait data produksi, BPS mengeluarkan angka sementara peningkatan produksi pangan di tengah El Nino yang melanda Indonesia tahun 2015. Produksi padi pada 2015 meningkat 6,37 persen, jagung 3,17 persen, dan kedelai 0,85 persen (BPS, 2016). Angka-angka itu tergolong spektakuler mengingat tidak pernah ketiga komoditas yang menggunakan lahan yang sama tersebut naik bersama-sama selama belasan tahun terakhir ini.
Data lain yang menggagalkan seluruh klaim kenaikan produksi adalah impor. Impor beras meningkat dari 0,844 juta ton menjadi 0,862 juta ton atau peningkatan sebesar 2,0 persen, jagung meningkat 3,7 persen menjadi 3,5 juta ton, sedangkan kedelai meningkat 9,8 persen menjadi 6,417 juta ton. Peningkatan impor komoditas lain yang volumenya di atas 0,25 juta ton tahun 2015 adalah impor gula 3,472 juta ton (14,2 persen) dan ubi kayu sebesar 0,6 juta ton (64,4 persen) (Kementerian Pertanian, 2014-2016). Total impor pangan 2015 menguras devisa 8,846 miliar dollar AS atau Rp 116,5 triliun.
Situasi tersebut anekdotal karena peningkatan produksi seharusnya diikuti dengan penurunan harga dan penurunan impor, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Karena itu, di kalangan akademisi saat ini hanya dua data yang relatif bisa dipercayai, yaitu data harga pangan dan data impor pangan.
Situasi pangan 2016
Situasi pangan di tahun ini belum memperlihatkan hal yang menggembirakan. Dari hasil kajian Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) di 61 kabupaten, petani yang sudah menanam pada Oktober 2015 hanya 3,6 persen, November 39,3 persen, dan Desember-Februari 57,1 persen atau mundur sekitar 1,5 hingga dua bulan.
Situasi ini cukup kritis, kecuali La Nina berbaik hati memberikan berkah hujan pada musim kemarau. Pengisian waduk akibat El Nino 2015 juga tidak maksimal sehingga sawah beririgasi teknis juga akan mengalami kendala kecukupan air. Jika musim kemarau benar dimulai Mei, produksi pangan di Indonesia akan benar-benar terancam. Produksi padi tahun 2016 diperkirakan sama atau sedikit lebih rendah dibandingkan 2015.
Situasi perberasan internasional juga mirip dengan situasi di Indonesia. Produksi beras global diproyeksikan sedikit menurun dari 478,76 juta ton tahun 2014/2015 menjadi 469,50 juta ton tahun 2015/2016 (WASDE-USDA, Maret 2016) atau sebesar 1,9 persen. Sementara total yang diperdagangkan sebesar 41,62 juta ton menurun sebesar 4,5 persen. Seluruh eksportir beras utama, yaitu India, Pakistan, Thailand dan Vietnam, menurun produksinya berturut-turut sebesar 2,4; 1,6; 20,0; dan 0,1 persen.
Dengan demikian, pasar beras internasional tahun 2016 akan ketat yang memungkinkan harga beras internasional meningkat. Harga beras yang cenderung meningkat sering kali menimbulkan fenomena countercyclical, yakni negara-negara eksportir justru menahan stok mereka untuk stabilisasi harga di dalam negeri. Produksi jagung dunia diperkirakan juga menurun dari 1.009,68 juta ton (2014/2015) menjadi 969,64 juta ton (2015/2016). Penurunan produksi jagung juga menurunkan jagung yang diperdagangkan di pasar internasional, yaitu dari 141,21 juta ton menjadi 119,73 juta ton atau sebesar 15,2 persen. Hal ini akan meningkatkan harga jagung dunia yang berimbas ke harga jagung di Indonesia dan semua produk turunannya. Sebaliknya, produksi gandum dan kedelai diperkirakan meningkat yang meningkatkan impor kedua komoditas ini oleh Indonesia.
Konsentrasi pemerintah yang terlalu berlebihan ke Pajale terutama padi, mengaburkan pandangan terhadap nasib jutaan petani yang bergerak di sektor perkebunan rakyat. Tahun 2015-2016 merupakan tahun bencana yang diawali dengan penurunan harga komoditas perkebunan terutama sawit dan berlanjut dengan El Nino tahun 2015. Di tengah tahun 2015, harga sawit sempat menyentuh Rp 500 per kilogram di tingkat petani, dan pemerintah tidak bertindak apa pun untuk mengatasinya. Secara nasional, hal tersebut tecermin dari nilai tukar petani (NTP) yang merupakan salah satu indikator kesejahteraan petani. NTP perkebunan rakyat terjun bebas dari rata-rata 101,32 pada 2014 menjadi hanya 97,20 pada 2015 (BPS, 2014-2016).
Pada awal 2016 ketika harga sawit perlahan-lahan meningkat, tiba-tiba produksi jatuh sebagai dampak El Nino tahun sebelumnya. Berdasarkan laporan jaringan AB2TI di Sumatera, produksi perkebunan sawit rakyat turun tajam sebesar 45 persen hingga 75 persen. Kondisi tersebut semakin memperburuk situasi dan penderitaan mereka.
Langkah perlu
Langkah cerdas diperlukan untuk mengurai persoalan yang melilit sektor pangan dan petani kecil. Data produksi merupakan sasaran pertama yang perlu diperbaiki. Data yang tidak akurat akan melahirkan kebijakan yang salah arah. Kebijakan yang salah akan merugikan semua pihak baik konsumen, petani, maupun pelaku usaha. Upaya mendapatkan data produksi pertanian yang saat ini porsinya 75 persen Kementerian Pertanian dan jajarannya dan 25 persen BPS sebaiknya ke depan diserahkan sepenuhnya ke BPS yang relatif tak sarat kepentingan. Jika hal itu belum bisa dilakukan, Presiden perlu membentuk unit khusus intelijen data yang bisa memberikan masukan sebagai bahan pertimbangan memutuskan kebijakan pangan.
Berkaitan dengan upaya swasembada pangan, perlu dibedakan antara mimpi dan target. Target perlu dikemas lebih realistis sehingga upaya swasembada tersebut tidak menimbulkan gejolak lain yang justru mementahkan cita-cita besar kedaulatan pangan.
Berkaitan dengan situasi tahun 2016, diperlukan upaya cerdas dengan tidak memaksakan diri menanam padi di musim kemarau yang mulai mendekat. Pola padi-padi-palawija bisa diubah menjadi padi-palawija-palawija, yang diharapkan mampu meningkatkan produksi jagung dan kedelai pada tahun ini meskipun harus mengorbankan produksi padi.
Terakhir, upaya keras perlu dilakukan untuk melindungi petani yang semakin lama semakin terpuruk. Perlindungan harga di tingkat usaha tani merupakan kunci penting peningkatan kesejahteraan petani. Program bantuan khusus untuk pekebun rakyat harus segera dilakukan. Peningkatan produksi dan swasembada berkelanjutan adalah reward dari upaya keras untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan bukan sebaliknya. Semoga kita semua tersadarkan.
DWI ANDREAS SANTOSA
Guru Besar Fakultas Pertanian IPB; Ketua Umum AB2TI; Penasihat Persaudaraan Mitra Tani Nelayan Indonesia
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Mei 2016, di halaman 6 dengan judul "Waspada Pangan 2016".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar