Saya tergelitik membaca tulisan sahabat Zacky Khairul Umam, aktivis NU Jerman, di Kompas, Selasa (17/5) tentang "Mencetak 'Kiai Global'". Hemat saya, kiai global bukanlah tema baru dalam konteks pergulatan NU. Tashwirul Afkar dan Komite Hijaz adalah dua contoh NU merespons perkembangan dunia awal abad ke-20.
Penamaan Tashwirul Afkar oleh Kiai Wahab, Kiai Mansur, dan Kiai Dahlan sebagai lembaga kajian mirip denganTesvir-i Efkar, majalah berbahasa Usmani. Artinya, Kiai Wahab tahu betul perkembangan dunia karena ia belajar di Mekkah, saat Mekkah dalam kekuasaan Usmani.
Usmani runtuh pada 1923 dan memengaruhi wilayah kekuasaannya. Wilayah Hijaz (Mekkah dan Madinah) dikuasai kabilah Bani Saud. Gerakan purifikasi Islam Wahabi menguat dan ulama merespons dengan membentuk Komite Hijaz. Komite Hijaz meminta Kerajaan Arab Saudi menjaga keragaman mazhab dan keutuhan makam Rasulullah.
Sayang, setelah momentum tersebut, peran kiai global di kalangan NU bisa dikata meredup. Mengapa demikian? Pertama, pra dan pasca NU berdiri, NU berhadapan dengan kalangan Islam modernis karena salah satu faktor lahirnya NU adalah gerakan pembaruan Islam.
Kedua, NU terlibat kemerdekaan dan pasca kemerdekaan. Kiai Wahid Hasyim mewakili NU sebagai mediator kelompok Islam dengan kelompok nasionalis dalam pembahasan Pancasila. NU juga menentang DI/TII.
Ketiga, menjelang G30S, elemen-elemen NU, seperti Sarbumusi, GP Ansor, Lesbumi, dan Muslimat NU banyak terlibat menghambat gerakan PKI.
Keempat, rezim Soeharto dalam banyak hal telah melemahkan NU: bergabung dengan PPP, padahal dalam Pemilu 1955 dan Pemilu 1971, NU pemenang ketiga.
Kelima, pasca reformasi lahir Partai Kebangkitan Bangsa. Setidaknya ada empat partai berbasis NU saat ini.
Keenam, NU kini direpotkan oleh gerakan terorisme dan intoleransi yang menyasar kelompok minoritas, seperti Syiah dan Ahmadiyah.
Singkat kata, energi NU terkuras mengurus keutuhan NKRI. Akibatnya, energi internasionalisasi gagasan berkurang. Perlu pembuktian nyata gerakan santri NU di belahan dunia untuk menggelorakan prinsip tawassuth, tawazun, i'tidal, dan tasamuh kepada dunia. Mampukah "santri NU" mereinkarnasi peran "kiai global" dan mentranformasi Komite Hijaz di era kekinian? Semoga.
MUHAMAD SYAUQILAH, KATIB SYURIYAH NU TURKI 2012-2016
Tanggapan Kemendikbud
Menanggapi surat pembaca Saudara Meiko Tourista berjudul "Pengalaman Buruk Ikut OSN" Kompas, Senin, (30/5) bersama ini kami sampaikan:
Bahwa benar pada 16-18 Mei telah jatuh sakit sejumlah siswa peserta Olimpiade Sains Nasional (OSN) tingkat SMA yang menginap di Hotel Grand Duta, Palembang. Dari 228 peserta yang menginap di hotel tersebut, 40 siswa sakit dengan gejala serupa: mual, pusing, dan sebagian muntah-muntah.
Menanggulangi peristiwa tersebut, kami panitia pusat dan panitia daerah berkoordinasi dengan Universitas Sriwijaya serta Dinas Kesehatan Kota Palembang membuka ruang perawatan darurat di Hotel Grand Duta yang ditangani tim dokter dan paramedik. Sebagian peserta yang perlu dirawat lebih lanjut segera dirujuk ke RS Charitas, Palembang. Dengan penanganan intensif, Rabu, 18 Mei, semua peserta membaik dan dapat mengikuti prosesi lomba.
Pembimbing tidak satu hotel dengan peserta OSN karena seluruh akomodasi di Palembang pada tanggal tersebut penuh karena berbarengan dengan beberapa acara lain.
Panitia juga berupaya mengomunikasikan kepada publik dengan jumpa pers pada Selasa, 17 Mei. Kemendikbud dalam hal ini Direktorat Pembinaan SMA dan Dinas Pendidikan Sumatera Selatan juga menemui langsung perwakilan orangtua, guru, dan pendamping dari sejumlah provinsi.
Saat penutupan, Jumat, 20 Mei, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan, melalui telekonferensi telah menyampaikan permohonan maaf secara resmi terutama kepada anak-anak dan para orangtua.
ASIANTO SINAMBELA, KEPALA BIRO KOMUNIKASI DAN LAYANAN MASYARAKAT KEMENDIKBUD
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 6 Juni 2016, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi"

Tidak ada komentar:
Posting Komentar