Tanpa peran publik seluas- luasnya, kekerasan seksual akan terus jadi ancaman serius, utamanya bagi anak-anak perempuan. Kasus Yy di Bengkulu yang meninggal setelah diperkosa 14 orang, menyusul di Manado di mana seorang perempuan mengalami trauma berat setelah diperkosa 15 orang. Tidak kalah tragis, kasus perkosaan dan pembunuhan di Bogor terhadap anak usia 2,5 tahun oleh tetangganya sendiri. Kita semua yakin, daftar kasus kekerasan seksual jauh lebih panjang dari ini.
Di level negara, Presiden Joko Widodo baru saja menandatangani Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang di antaranya mengatur hukuman yang lebih berat bagi pelaku perkosaan terhadap anak.Menurut saya, upaya yang lebih berorientasi pada penghukuman ini seharusnya bukan jadi pilihan utama upaya melawan kekerasan seksual. Apalagi jika pilihannya hukuman kebiri yang melulu berorientasi "biologis", sementara persoalan kekerasan seksual memiliki akar yang kompleks: mulai dari cara berpikir, akses informasi tentang seksualitas yang minim, hingga lemahnya sistem dan kelembagaan yang terintegratif penghapusan kekerasan seksual, termasuk lemahnya partisipasi masyarakat dalam perang melawan kekerasan seksual.
Upaya lain di level negara adalah pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang diharapkan akan menjadi kekuatan hukum lebih paripurna bagi pemerintah dalam penghapusan kekerasan seksual.
Semua upaya ini sangat penting, tetapi butuh waktu panjang untuk bisa menjadi "solusi" bagi persoalan kekerasan seksual ini. Dalam situasi darurat karena kasus kekerasan seksual semakin sering dan "brutal", saat ini kita sangat memerlukan upaya-upaya yang lebih "praktis", yang lebih memungkinkan jadi cara lebih "cepat" dalam penanganan situasi darurat kekerasan seksual ini. Karena situasinya yang menunjukkan kondisi darurat, kita perlu upaya-upaya lebih "praktis dan cepat", tetapi berpotensi untuk dikembangkan sebagai upaya jangka panjang yang berkesinambungan, dan memiliki efek pada terbangunnya perubahan cara berpikir dan cara pandang.
Satu upaya penting dan sangat memungkinkan untuk diwujudkan adalah membangun sistem pengawasan terpadu dan menyeluruh di berbagai unit sosial yang kita miliki. Inilah upaya berbasis komunitas yang—meski dimulai dengan tujuan "praktis"—diharapkan akan jadi upaya berkelanjutan dalam perang melawan kekerasan seksual. Kita butuh situasi di mana para predator seksual merasa terus-menerus diawasi "mata publik" yang membuat mereka berpikir ulang sebelum melakukan tindakannya.
Di sisi lain, sistem pengawasan ini berfungsi sebagai "lembaga layanan" terdekat bagi mereka yang paling berisiko menjadi korban serangan seksual untuk melaporkan kasus atau berbagai tindakan yang berpotensi menjadi serangan seksual. Kelompok berisiko kekerasan seksual perlu mendapatkan akses semudah mungkin untuk "melaporkan" berbagai tindakan yang mengancam secara seksual.
Berbasis komunitas
Selain terkait persoalan ideologi patriarki yang di antaranya berpengaruh pada konstruksi maskulinitas berbasis kekerasan dan dominasi, banyak kasus serangan dan kekerasan seksual terjadi karena para pelaku merasa "bebas" dan "aman" saat melakukannya. Jika persoalan ideologis perlu jalan panjang demi perubahan cara berpikir dan cara pandang, persoalan terkait para pelaku yang merasa "aman" dalam bertindak sangat mungkin "dicarikan" solusinya dengan cara-cara yang lebih praktis dan cepat, dan lebih dibutuhkan dalam kondisi darurat kekerasan seksual, seperti sekarang ini.
Dalam membangun sistem berbasis "komunitas" ini, kita bisa belajar dari pengalaman Amerika Serikat. Kekerasan seksual merupakan persoalan serius di AS, termasuk kekerasan dalam masa pacaran. Namun, perang melawan kekerasan seksual juga sangat serius dilakukan berbagai pihak di sana. Di sekolah-sekolah, pada semua tingkatan, sangat mudah ditemui brosur tentang kekerasan seksual berisi informasi layanan pengaduan jika mengalami atau menemui kasus. Sekolah bukan saja menyediakan informasi, tetapi menjadi salah satu lembaga yang memiliki wadah mapan baik untuk layanan informasi, pengaduan, hingga konseling terkait kasus kekerasan seksual.
Demikian juga di tempat-tempat umum, seperti taman dan playground, tempat pelayanan transportasi umum, perpustakaan umum, rest area termasuk toilet umum, kita akan mudah menemukan "pengumuman" tentang pengaduan tindakan serangan seksual. Layanan pengaduan darurat lewat panggilan 911 di mana polisi akan datang ke "lokasi" dalam hitungan menit jadi upaya penting yang "disediakan" negara untuk membuat pelaku merasa diawasi, sementara korban dan masyarakat memiliki "kesiapsediaan" melaporkan kasus serangan seksual.
Kita telah memiliki berbagai unit lembaga sosial yang cukup mapan, yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Kita memiliki lembaga sosial berupa RT, RW, berbagai tempat ibadah, sekolah, dan tempat publik, seperti terminal angkutan umum, stasiun KA, dan bandar udara. Juga tempat-tempat di mana banyak di antara kita sering melakukan aktivitas rutin, seperti mal, pasar, dan kendaraan umum. Untuk lingkungan sekolah, jika terlalu sulit menyediakan pendidikan seks secara formal, sekolah-sekolah di Indonesia bisa memulai dengan upaya- upaya seperti ini. Layanan panggilan darurat seperti 911, sangat mungkin dipenuhi oleh negara.
Membangun sistem seperti ini tidaklah susah bila diniatkan serius dengan kemauan politik yang kuat dan punya orientasi penyelesaian masalah. Selain itu, biaya yang dikeluarkan juga tidak seperti proyek-proyek lain yang memakan biaya fantastis. Yang terpenting inisiatif ini menjadi bagian dari upaya membangun partisipasi publik yang lebih luas dan berkesinambungan dalam perang melawan kekerasan seksual. Hal-hal seperti ini terkesan sepele, tetapi memiliki dampak yang luar biasa.
DIAH IRAWATY, AKTIVIS PEREMPUAN DAN ALUMNUS PROGRAM MASTER SUSTAINABLE INTERNATIONAL DEVELOPMENT STUDIES DAN GENDER AND WOMEN'S STUDIES, BRANDEIS UNIVERSITY, AMERIKA SERIKAT
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Juni 2016, di halaman 7 dengan judul "Sistem Pengawasan Terpadu Kekerasan Seksual".

Tidak ada komentar:
Posting Komentar