Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 16 Juni 2016

TAJUK RENCANA: Langkah Antisipatif Pemerintah (Kompas)

Pemerintah harus mengambil langkah antisipatif setelah seorang mahasiswa Indonesia di Turki ditangkap karena diduga terlibat gerakan terorisme.

Polisi Gaziantep menangkap HLS, mahasiswa asal Indonesia, karena diduga terkait dengan Hizmet, organisasi yang oleh Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dinyatakan sebagai kelompok teroris.

Penangkapan HLS makin memperkuat beberapa temuan hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di lima kampus besar—UGM, UI, Unair, IPB, dan Undip—tahun 2011. Menurut LIPI, anak muda Indonesia makin mengalami radikalisasi dan makin tidak toleran, sementara perguruan tinggi banyak dikuasai kelompok garis keras.

Paham radikalisme muncul, kata peneliti LIPI Anas Saidi, antara lain karena proses islamisasi di kalangan anak muda berlangsung tertutup dan cenderung tidak terbuka pada pandangan Islam lainnya. Mereka tidak tahu bahwa dalam agama Islam terdapat variasi pemikiran agama, yang biasa disebut mazhab.

Hasil survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) pada Oktober 2010 hingga Januari 2011 juga menunjukkan, hampir 50 persen pelajar setuju tindakan radikal. Bahkan, 25 persen siswa dan 21 persen guru menyatakan Pancasila tidak relevan lagi. Sementara 84,8 persen siswa dan 76,2 persen guru setuju dengan penerapan syariat Islam di Indonesia. Survei LaKIP dipimpin Prof Dr Bambang Pranowo, guru besar sosiologi Islam di Universitas Islam Negeri Jakarta.

Maarif Institute yang juga melakukan survei terhadap 98 siswa pada Desember 2015 mendapatkan hasil yang cukup mengejutkan, bahwa benih radikalisme di kalangan remaja Indonesia dalam tahap mengkhawatirkan.

Terhadap pertanyaan bersediakah Anda melakukan penyerangan terhadap orang atau kelompok yang dianggap menghina Islam, sebanyak 40,82 responden yang disurvei menjawab bersedia.

Melihat fakta ini, penangkapan HLS di Turki hanya satu dari sekian juta anak muda kita yang berpotensi radikal. Untuk menghindarkan pemahaman radikal ini, beban tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah.

Keluarga dan sekolah, dua institusi yang paling berpengaruh terhadap tumbuh dan berkembangnya anak, menjadi penangkal pertama mengurangi munculnya paham radikalisme.

Pelajaran agama di sekolah jangan lagi hanya terkait syariat yang menyangkut halal dan haram. Banyak sisi agama yang harus dieksplorasi agar anak muda kita punya pemahaman lengkap soal Islam dan keislaman.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Juni 2016, di halaman 6 dengan judul "Langkah Antisipatif Pemerintah".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger