Laut Tiongkok Selatan dengan luas 1,5 juta mil persegi, dan kaya akan sumber daya alam, 90 persen wilayah tersebut telah diklaim sebagai milik Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang mendasarkan pada peta tahun 1948. Klaim inilah yang menjadi menjadi sumber konflik di antara banyak negara.
Konflik di kawasan Laut Tiongkok Selatan ini tak hanya melibatkan RRT dengan negara-negara di kawasan ASEAN, juga konflik antarnegara ASEAN sendiri juga belum sepenuhnya tuntas. Misalnya, konflik perbatasan laut antara Malaysia-Vietnam; Thailand-Malaysia; Kamboja-Vietnam; Indonesia-Malaysia, dan yang terbesar adalah konflik RRT dengan Vietnam, Taiwan, Malaysia, Brunei, dan Filipina. Terakhir, konflik Indonesia-RRT di perairan Laut Natuna.
Konflik Indonesia-RRT sebenarnya pernah muncul pada 2009, ketika RRT memperbarui petanya yang menggambarkan sembilan titik dari Pulau Spratly yang diklaim sebagai wilayah zona ekonomi eksklusifnya. Indonesia pernah mengajukan protes, tetapi tidak ada tanggapan resmi dari RRT.
Rupanya konflik terbuka Indonesia-RRT hanya menunggu waktu saja. Dalam tiga bulan terakhir, publik Indonesia dikagetkan oleh dua konflik laut di Perairan Natuna. Lebih mengejutkan lagi ketika Indonesia mengirimkan nota keberatan, RRT menganggap Perairan Laut Natuna dan sekitarnya adalahtraditional fishing zone (area penangkapan ikan tradisional), di mana dalam perjanjian internasional istilah ini tidak dikenal. Sejatinya Kepulauan Natuna dengan tujuh pulau di sekitarnya, pada abad ke-19 adalah wilayah Kesultanan Riau dan pada 18 Mei 1956 sudah didaftarkan sebagai milik Indonesia ke PBB.
Mengacu pada argumentasi RRT, sesungguhnya dapat dijelaskan bahwa sebelum terbentuknya negara-negara di kawasan tersebut, Laut Tiongkok Selatan merupakan area pelayaran dan perdagangan bagi para musafir dari berbagai wilayah. Tak hanya dari Tiongkok, juga Arab, India, dan juga Nusantara. Selain itu kawasan ini juga area penangkapan ikan seluruh bangsa-bangsa. Jadi, wilayah Laut Tiongkok Selatan kuno merupakan rendezvousbagi para nelayan tradisional.
Terbentuknya negara modern di kawasan ini dengan berbagai perjanjian internasional tentang laut tentu telah mengubah batas-batas teritorial antarnegara. Perbedaan persepsi di antara negara-negara inilah yang menjadi sumber konflik batas laut.
Jalur budaya
Jauh sebelum terbentuknya negara-negara di kawasan Laut Tiongkok Selatan, kawasan tersebut sebenarnya jalur budaya yang sangat ramai. Silang budaya telah menghasilkan budaya yang beragam dan unik.
Dalam catatan perjalanan Yi Jing (I Tsing) dari Guangdong menuju India sebanyak dua kali, pada 671 M dan 689 M, ia mencatat bahwa kawasan Laut Tiongkok Selatan sekarang disebutnya sebagai Nan Hai Zhu Zhou atau pulau-pulau lautan selatan. Pulau-pulau lautan selatan ini diindikasikan sebagai pulau-pulau yang berada di Tiongkok sampai wilayah Indonesia sekarang. Sementara pulau-pulau antara Indonesia dan India disebutnya sebagai pulau-pulau lautan barat.
Kawasan ini merupakan tempat pelayaran musafir dan nelayan Tiongkok pada masa lalu. Dalam catatannya, I Tsing menyebut nama-nama pulau tempat, di antaranya Pulau Polushi(Perlak) Pulau Dandan (Natuna)Moluoyou, Pulau Mohexin, Mahasin(Banjarmasin), dan lain sebagainya. I Tsing juga mencatat tentang kemajuan budaya di wilayah Shili Foshi (Sumatera). Dikatakannya dalam pelayaran pertama tahun 671 M, setelah berlayar selama 20 hari, I Tsing sampai di Foshi ibu kota Shili Foshi (Sumatera). I Tsing belajar agama Buddha selama 6 bulan di Sumatera, yang kemungkinan besar adalah kompleks warisan budaya Muaro Jambi saat ini.
Begitu majunya peradaban di Sumatera, ia menyarankan agar belajar di Foshiterlebih dahulu sebelum melanjutkan ke India. Selain I Tsing, musafir Tiongkok yang terkenal adalah Cheng Ho, yang berlayar menjelajah kepulauan Nusantara. Jadi, dari sejak dahulu Laut Tiongkok Selatan tidak sekadar lautan bebas, tetapi juga "lautan peradaban" yang merupakan tempat terjadinya silang budaya dan peradaban.
Penyelesaian konflik perbatasan di Laut Tiongkok Selatan mungkin butuh waktu yang panjang. Selain karena melibatkan banyak negara, juga banyak kepentingan dari berbagai negara. Dengan mengacu bahwa Laut Tiongkok Selatan adalah lautan peradaban, penyelesaian lewat dialog dan komunikasi lebih penting ketimbang lewat militer. Sebab, pada prinsipnya negara-negara di kawasan ini mempunyai kemiripan budaya.
Keberanian Menteri Pertahanan RI membuka komunikasi dan pertemuan bilateral, yang disebut sebagai pertemuan Shangri-La, di Singapura dengan negara-negara yang berkonflik patut diapresiasi. Ini pertemuan awal yang perlu ditindaklanjuti dengan pertemuan berikutnya, dengan harapan akan tercapai code of conduct di kawasan ini. Meski tak bisa menyelesaikan secara tuntas, tetapi perasaan saling menghargai dan menjaga akan lebih penting untuk menjembatani kepentingan di antara negara-negara yang terlibat.
Perbedaan pandangan atas perairan ini antara RRT dan Indonesia mesti diselesaikan secepatnya. Bukan tak mungkin pada masa-masa mendatang akan terjadi kasus serupa. Sebab, selain di Laut Tiongkok Selatan, masalah perbatasan Indonesia dengan negara-negara tetangga masih banyak yang belum rampung. Untuk itu perlu upaya dari berbagai pihak guna mengurai dan menyelesaikannya.
RESTU GUNAWAN
SEKJEN MASYARAKAT SEJARAWAN INDONESIA, BEKERJA DI DITJEN KEBUDAYAAN KEMDIKBUD
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Juni 2016, di halaman 7 dengan judul "Laut Tiongkok, "Lautan Peradaban" yang Memanas".

Tidak ada komentar:
Posting Komentar