Akhir pekan lalu, Sungai Seine meluap, hingga 6,1 meter di atas ketinggian air normalnya, mengubah wajah jalanan dan tempat berjalan yang elok di ibu kota Perancis ini. Saat itu, yang tampak adalah air berwarna coklat yang mengalir menghanyutkan bermacam benda, mulai dari bongkahan kayu hingga bagian perahu.
Senin (6/6) kemarin kita membaca banjir sudah surut meski otoritas Perancis masih mengingatkan bahwa di luar Paris ada setidaknya 16 daerah di wilayah utara Perancis yang rawan banjir karena curah hujan yang tinggi.
Akibat banjir, lebih dari 20.000 orang diungsikan dan sekitar 19.000 rumah tanpa aliran listrik pada Jumat pekan lalu.The Guardian juga menyebut setidaknya ada dua orang meninggal. Sejumlah daerah dilanda banjir yang merupakan banjir terhebat dalam lebih dari 100 tahun terakhir.
Orang pun ingat bahwa Paris pernah dilanda banjir hebat pada Januari 1910 setelah negara itu memasuki tahun baru dengan langit terus berwarna gelap. Pada banjir itu, tinggi permukaan air Sungai Seine 8,5 meter dari ketinggian normalnya, tertinggi sejak tahun 1658.
Meski demikian, yang diangkat di berita kemarin juga bukan hanya banjir di Paris, tetapi juga banjir di Texas, AS, sedikitnya 16 orang tewas.
Sementara di Indonesia, memasuki pertengahan tahun yang diandaikan sudah musim kemarau, hari-hari ini masih menerima curah hujan. Meminjam istilah mantan Wakil Presiden AS Al Gore, kita harus menghadapi An Inconvenient Truth atau Kebenaran yang tak mengenakkan.
Ibu Alam kini sering tampil "keras" terhadap manusia. Namun, jika manusia mau berintrospeksi, sebagian—kalau bukan sebagian besar—penyebab kemarahan Ibu Alam adalah ulah manusia. Banjir acap terjadi disebabkan oleh penggundulan hutan penyangga di hulu sungai, dan banjir ekstrem terjadi karena cuaca ekstrem, yang semakin diyakini muncul dari fenomena pemanasan global.
Jika satu hari muncul banjir besar, kota seperti Miami, New Orleans, juga New York, dan Tokyo, akan harus menelan kerusakan yang menurut Yahoo! News (3/1/13) nilainya mencapai triliunan dollar.
Negara kepulauan seperti Indonesia, yang sebagian wilayahnya hari ini dilanda rob atau naiknya permukaan air laut, sudah sejak beberapa tahun silam diramalkan akan mengalami bencana yang disebabkan oleh air.
Kini, setiap kali terjadi peristiwa alam seperti banjir besar di Paris, bayangan terjadinya musibah besar muncul tidak semata di kota jauh, tetapi di negara kita sendiri.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Juni 2016, di halaman 6 dengan judul "Refleksi dari Banjir Paris".

Tidak ada komentar:
Posting Komentar