Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 25 Juli 2016

Hukum Internasional dan Stabilitas Kawasan. (RETNO LP MARSUDI)

Hugo Grotius, Bapak Hukum Internasional Modern, mengatakan, "Perselisihan dimulai atas dalih yang remeh-temeh atau tidak penting sama sekali, dan dilakukan tanpa merujuk pada hukum, ilahi, dan kemanusiaan".

Kata-kata tersebut perlu kita pahami maknanya dalam mengamati dinamika yang terjadi di kawasan beberapa waktu terakhir ini.

Tribunal Arbitrase Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea, UNCLOS) telah mengeluarkan keputusan tentang Laut Tiongkok Selatan pada 12 Juli 2016. Dalam menyikapi keputusan itu, Pemerintah Indonesia menyerukan kepada semua pihak untuk menghormati hukum internasional, termasuk UNCLOS 1982, menahan diri, serta tidak melakukan hal-hal yang dapat meningkatkan ketegangan di Laut Tiongkok Selatan. Penghormatan atas hukum internasional dan pentingnya stabilitas kawasan adalah roh dari pernyataan Indonesia.

Pernyataan Indonesia tersebut tidak bersifat normatif semata, tetapi mencerminkan sikap tegas Indonesia dalam melindungi kepentingan nasional dan tanggung jawab konstitusional, serta kepemimpinannya dalam menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan.

Hukum internasional

Tata hubungan antarbangsa diatur dalam berbagai norma, aturan, dan hukum yang disepakati bersama. Tanpa adanya ketaatan yang konsisten terhadap norma, aturan, dan hukum tersebut, sebuah tatanan dunia yang stabil dan damai tidak akan terwujud.

Sesuai dengan prinsip-prinsip yang tertera pada Piagam PBB, masyarakat internasional merupakan masyarakat hukum dan bukan masyarakat tanpa tatanan. Dalam pertarungan kekuatan, berlaku adagium "kekuatan menciptakan hak" (might makes rights). Sementara itu, dalam hukum internasional, yang berlaku adalah "hak menciptakan kekuatan" (rights make might)Setiap anggota masyarakat internasional, baik negara besar maupun negara kecil, memiliki kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama di mata hukum internasional.

Seruan Indonesia tentang perlunya setiap pihak, tanpa terkecuali, untuk menghormati hukum internasional, merupakan hal yang sangat perlu dilakukan. Khusus mengenai UNCLOS 1982, Indonesia mempunyai kepentingan agar pasal-pasal UNCLOS, dan mekanismenya, dihormati secara penuh. UNCLOS sudah menjadi bagian dari jati diri bangsa Indonesia.

Negara kepulauan Indonesia hadir dari Deklarasi Juanda tahun 1957. Perjuangan panjang Indonesia, bersama-sama negara yang sepaham (like-minded countries), telah membuahkan hasil diterimanya prinsip-prinsip negara kepulauan dalam UNCLOS 1982. Eksistensi NKRI sebagai negara kepulauan dilindungi dengan adanya Konvensi Hukum Laut tersebut.

UNCLOS telah menjadi bagian dari sistem hukum Indonesia. Ratifikasi UNCLOS telah dilakukan oleh Indonesia melalui UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS. Upaya pemagaran konsep ini secara yuridis terus dilakukan oleh para pakar hukum internasional dan diplomat Indonesia.

Menjadi tugas kita semua, termasuk para diplomat Indonesia, untuk terus menjaga agar prinsip-prinsip dalam UNCLOS 1982 dihormati oleh semua pihak. Prinsip-prinsip UNCLOS-lah yang dijadikan dasar oleh Indonesia untuk menuntaskan batas wilayah maritim dengan negara lain.

Indonesia memiliki batas maritim dengan 10 negara, yaitu Australia, Filipina, India, Malaysia, Papua Niugini, Palau, Singapura, Thailand, Timor-Leste, dan Vietnam. Kesepuluh negara tersebut merupakan para pihak dalam UNCLOS.

Indonesia telah bertekad untuk segera menyelesaikan pagar maritimnya. Sekalipun belum tuntas seluruhnya, semua negara tetangga sudah dan sedang duduk bersama Indonesia di meja perundingan. Negosiasi yang sempat terhenti dihidupkan kembali dan dijadikan prioritas kerja politik luar negeri.

Satu hal yang perlu ditekankan adalah bahwa zona maritim harus ditarik dari garis pangkal (baseline) yang sah sesuai UNCLOS, dan bukan ditarik dari dasar yang tidak diakui oleh UNCLOS 1982. Lebar maksimal zona maritim dari garis pangkal juga sudah diatur oleh UNCLOS.

Menahan diri untuk perdamaian dan stabilitas

Roh lain yang terdapat dalam posisi Indonesia terhadap keputusan Tribunal adalah desakan bagi negara-negara di kawasan untuk menahan diri sehingga perdamaian dan stabilitas kawasan dapat tercipta.

Reaksi yang berlebihan dalam bentuk pengerahan kekuatan oleh satu pihak akan memancing reaksi yang sama dari pihak lain. Peningkatan kekuatan militer satu negara akan mendorong negara lain untuk juga meningkatkan kekuatan militernya. Inilah yang disebut security dilemma. Apabila hal ini terjadi, potensi konflik terbuka akan meningkat.

Indonesia tidak menginginkan security dilemma terjadi di kawasan Asia Tenggara dan sekitarnya. ASEAN, sejak awal berdirinya di era perang dingin, telah bertekad menjadikan kawasan Asia Tenggara menjadi kawasan damai dan stabil.

Untuk itulah, ASEAN melahirkan Deklarasi ZOPFAN (Zone of Peace, Freedom and Neutrality)pada tahun 1971. ASEAN melahirkan Treaty of Amity and Cooperation (TAC) pada tahun 1976. Inisiatif ASEAN ini disambut baik oleh bangsa-bangsa di kawasan sehingga yang menjadi pihak dalam TAC bukan hanya para anggota ASEAN, melainkan juga para mitranya, termasuk Amerika Serikat, Tiongkok, dan Rusia.

Pada era selanjutnya, untukmenjawab dinamika yang berkembang di Laut Tiongkok Selatan, ASEAN dan Tiongkok mendorong lahirnya Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea pada tahun 2002.

Perjuangan untuk menjadikan kawasan Asia Tenggara dan sekitarnya sebagai kawasan damai dan stabil dapat terwujud apabila ASEAN dapat mempertahankan sentralitas dan kesatuannya. Indonesia merupakan negara yang selalu berada di garis depan untuk menjaga sentralitas dan kesatuan ASEAN tersebut. Dukungan Indonesia terhadap prinsip sentralitas dan kesatuan ASEAN terakhir kali disampaikan dalam Pertemuan Para Menteri Luar Negeri ASEAN dan Tiongkok di Kunming, 14 Juni 2016.

Sentralitas dan kesatuan ASEAN merupakan kunci bagi ASEAN untuk menjaga relevansinya. Harus diingat bahwa sentralitas dan kesatuan ASEAN ini bukanlah suatu kebijakancontainment terhadap negara lain, apalagi terhadap kekuatan besar tertentu di kawasan. Sebaliknya, sentralitas dan kesatuan merupakan fondasi yang kokoh yang dapat digunakan negara-negara anggota ASEAN untuk membina kerja sama baik antara sesama negara anggota ASEAN maupun dengan para mitranya.

Posisi tegas untuk melindungi kepentingan nasional telah diambil. Dengan menekankan pentingnya penghormatan terhadap hukum internasional serta menjaga sentralitas dan kesatuan ASEAN, Indonesia berharap bahwa stabilitas dan keamanan Asia Tenggara akan senantiasa terjaga.

RETNO LP MARSUDI, MENTERI LUAR NEGERI RI

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 Juli 2016, di halaman 6 dengan judul "Hukum Internasional dan Stabilitas Kawasan".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger