Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 02 Juli 2016

Mudik Lebaran dan Kekerasan (DEDDY MULYANA)

Mudik Lebaran di Indonesia merupakan fenomena paling kolosal di dunia meski mudik juga dilakukan banyak bangsa lain saat merayakan liburan besar, seperti Natal di Amerika Serikat dan perayaan Imlek di Tiongkok. Namun, perayaan mudik Lebaran begitu khas, dan tampaknya akan  langgeng karena sesuai dengan fitrah manusia sebagai makhluk sosial.

Mudik Lebaran yang ditandai dengan silaturahim, halalbihalal, dan ziarah kubur berfungsi melestarikan jati diri sebagai anggota komunitas atau suku tertentu, terutama sebagai Muslim. Prosesi mudik pada gilirannya akan menyegarkan romantisisme akan kenang-kenangan masa kecil mereka, saat mereka sering mengumpulkan makanan untuk berbuka, main petasan dan kembang api, ngabuburit, tarawih bareng kawan, dan terutama buka bersama keluarga tercinta.

Manusia tak pernah hidup dalam vakum-sosial. Bagi pendatang di perkotaan khususnya, budaya urban  tak pernah menjadi serpihan utuh dari biografi mereka. Mereka tetap ingin merawat budaya mereka, seperti adat istiadat, bahasa, cara bergaul, cara makan, serta jenis makanan, kesenian, dan permainan. Mudik Lebaran menjadi sarana untuk menghidupkan jati diri mereka dan sebagai pemenuhan atas hasrat bernostalgia.

Benarlah peribahasa-peribahasa yang mengatakan bahwa lupa berarti mati; aku mengenang, karena itu aku ada; siapa yang tidak ada dalam kenangan tidak ada sama sekali. Tanpa mudik Lebaran, warga kota cenderung merasa terasing dengan lingkungan yang keras dan tidak ramah.

Hikmah terpenting dari mudik Lebaran adalah merekat tali persaudaraan dan persahabatan yang telah putus atau longgar akibat mobilitas geografis dan mobilitas sosial. Mudik Lebaran merupakan sarana untuk mengefektifkan kembali komunikasi kita dengan manusia lain, khususnya sesama Muslim. Mengapa kita perlu memperbaiki kualitas komunikasi kita?

Komunikasi sering dikaitkan dengan kesehatan fisik dan usia panjang. Berdasarkan penelitian longitudinal selama 22 tahun dengan sampel 750 orang kulit putih dari kelas menengah, Michael Babyak dari Universitas Duke dan beberapa sejawatnya dari beberapa universitas lain di Amerika Serikat menemukan bahwa orang-orang yang tidak suka berteman , memusuhi orang lain dan mendominasi pembicaraan, berpeluang 60 persen lebih tinggi menemui ajal pada usia dini dibandingkan orang-orang yang berperilaku sebaliknya: ramah, suka berteman, dan berbicara tenang. Temuan itu telah diperteguh oleh banyak penelitian kontemporer yang dilakukan para ahli.

Disebutkan, misalnya, orang yang kekurangan hubungan akrab mempunyai dua hingga tiga kali risiko kematian dini, terlepas dari apakah mereka merokok, minum alkohol, atau olahraga teratur; kanker terminal menyerang orang yang terisolasi secara sosial daripada mereka yang memiliki hubungan pribadi yang dekat. Orang yang terisolasi secara sosial empat kali lebih rentan terserang flu daripada yang memiliki jaringan sosial yang aktif (Ronald B Adler dan George Rodman, 2000). 

Penyakit modernitas

Jauh sebelum itu, korelasi antara keterasingan dan keberingasan manusia terlihat pada percobaan pembunuhan atas para presiden atau kandidat presiden AS, yang ternyata dilakukan orang-orang yang kesepian. Ada ciri serupa pada 137 orang yang mengancam membunuh para presiden atau kandidat presiden AS dalam periode 20 tahun. Mereka secara sosial terisolasi. Tahun 1972,  pria yang dituduh mencoba membunuh kandidat presiden George Wallace secara luas digambarkan sebagai orang yang senantiasa kesepian sejak kanak-kanak dan tidak berhubungan dengan orang lain. Ibu kandungnya yang yatim piatu sejak lahir dilukiskan sebagai perempuan yang jarang menyapa orang lain.

Saya yakin berbagai kerusuhan, penganiayaan, dan kekerasan seksual yang sering berujung pada pembunuhan di negara kita selama ini, bahkan dengan memutilasi korbannya, antara lain disebabkan oleh ketiadaan hubungan yang akrab antara pelakunya dan orang lain. Manusia-manusia era global adalah manusia-manusia mekanis, robot-robot, yang tanpa lelah menghambakan diri pada uang dan pekerjaan.

Mereka seperti sekrup tanpa jiwa dari suatu mesin raksasa. Namun, mereka bersaing dengan sesama dan saling memangsa.  Jangan-jangan para pengguna media sosial yang kerap berhubungan dengan sesama anggotanya sedikit banyak menderita kecenderungan ini karena mereka lebih jarang berhubungan dengan orang lain di dunia nyata.

Dibutuhkan terapi menyeluruh untuk mengatasi penyakit modernitas ini, yang melibatkan seluruh komponen bangsa, mulai dari keluarga, (tokoh) masyarakat, lembaga pendidikan, hingga pemerintah.

DEDDY MULYANA

PENGAJAR DI FIKOM UNPAD

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 Juli 2016, di halaman 6 dengan judul "Mudik Lebaran dan Kekerasan".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger