Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 23 Juli 2016

Putusan Arbitrase LTS (HUALA ADOLF)

Pada 12 Juli lalu Mahkamah Permanen Arbitrase di Den Haag, Belanda, mengeluarkan putusan arbitrase mengenai Laut Tiongkok Selatan.

Banyak pihak dan pengamat menantikan putusan ini. Putusan arbitrase Laut Tiongkok Selatan (LTS) diharapkan dapat memberi sumbangan penting terhadap situasi keamanan di sekitar LTS yang kian menegangkan akhir- akhir ini.

Mahkamah Permanen Arbitrase (MPA) mengeluarkan putusan atas permohonan Filipina terkait dengan status perairan LTS, termasuk keberadaan pulau-pulau di sana dan kekayaan alamnya. Permohonan ini Filipina ajukan kepada MPA menyusul sulitnya solusi negosiasi damai mengenai klaim Tiongkok atas perairan dan sumber daya alam di LTS.

Dalam permohonannya, Filipina mengajukan 15 masalah hukum yang MPA harus putuskan. Dari ke-15 masalah hukum, pendapat MPA yang penting dapat digolongkan ke dalam tiga masalah hukum utama. Pertama, peran hak historis dan klaim kepemilikan Tiongkok atas LTS. Kedua, status beberapa bentuk kepulauan dan klaim kepemilikan maritim yang timbul darinya. Ketiga,keabsahan beberapa tindakan Tiongkok yang oleh Filipina diklaim sebagai pelanggaran terhadap Konvensi Hukum Laut 1982.

Pelanggaran

Posisi Filipina dalam mengajukan gugatannya berpendapat bahwa tindakan-tindakan Tiongkok yang mengklaim perairan dan sumber daya alam, termasuk membangun pulau-pulau buatan, adalah pelanggaran Konvensi Hukum Laut Internasional. Tindakan-tindakan klaim Tiongkok ini juga diduga telah membahayakan kedaulatan Filipina, membahayakan kesehatan dan keselamatan warganya, serta merusak lingkungan.

Sejak semula Tiongkok tidak menghadiri sidang arbitrase. Negeri ini juga sejak awal sudah menyatakan tidak melihat adanya kewenangan (yurisdiksi) MPA. Karena itu, secara formal, Tiongkok tidak mengajukan pendapatnya atau pembelaannya di hadapan sidang arbitrase.

Karena itu, dalam memeriksa gugatan Filipina, MPA antara lain menguji kebenaran gugatan Filipina dan argumentasi hukum yang diajukannya. Dalam putusannya, MPA memberi putusan dan pertimbangan hukum yang penting dan menentukan.

Pertama-tama MPA menolak gugatan atau klaim Tiongkok atas LTS. Dalam putusannya mengenai hak-hak historis dan sembilan garis putus-putus yang Tiongkok klaim, MPA terlebih dahulu menetapkan kewenangannya untuk memeriksa sengketa. MPA memutuskan bahwa ia memiliki yurisdiksi untuk menangani sengketa terkait hak-hak historis dan klaim terhadap hak atas wilayah maritim di LTS.

Dalam putusannya, MPA menyimpulkan bahwa Konvensi Hukum Laut 1982 telah secara komprehensif mengatur hak-hak atas wilayah maritim dan bahwa perlindungan atas hak-hak yang ada sebelumnya atas sumber- sumber dipertimbangkan, tetapi tidak disahkan oleh konvensi. Karena itu, MPA menyimpulkan bahwa sepanjang hak-hak historis atas sumber daya alam di perairan LTS,hak-hak tersebut dihilangkan sepanjang klaim atas hak-hak tersebut tidak sesuai dengan ketentuan Zona Ekonomi Eksklusif dalam Konvensi Hukum Laut 1982.

MPA juga berpendapat bahwa meskipun nelayan dan pelaut Tiongkok secara historis memanfaatkan pulau-pulau di LTS, MPA melihat tidak adanya bukti bahwa Tiongkok secara historis telah melaksanakan pengawasan eksklusif atas perairan atau kekayaan alamnya. MPA menyimpulkan bahwa Tiongkok tidak memiliki landasan hukum untuk mengklaim hak-hak historis atas sumber daya alam di atas wilayah yang masuk ke dalam sembilan garis putus-putus yang diklaimnya.

Signifikansi putusan

Putusan MPA memiliki arti penting bagi status LTS di masa depan.

Pertama, MPA telah memberikan prinsip-prinsip hukum apa yang harus ada mengenai klaim, berupa hak-hak sejarah atas suatu wilayah beserta sumber kekayaan alamnya. Pertimbangan MPA yang menggunakan prinsip pengawasan efektif terhadap suatu wilayah merupakan sumbangan penting MPA terhadap LTS.

Prinsip pengawasan eksklusif (efektif) dapat digunakan negara-negara di kawasan atau yang berbatasan dengan LTS untuk menghadapi klaim-klaim negara lain atas wilayah perairan LTS beserta kekayaan alam yang dikandungnya.

Putusan MPA menegaskan adanya pengawasan eksklusif atas perairan dan sumber daya alam. Klaim Tiongkok sekarang ini atas wilayah LTS yang berbatasan dengan Vietnam, Malaysia, dan Thailand secara tidak langsung juga telah mematahkan posisi Tiongkok.

Kedua, MPA telah menggunakan ketentuan hukum laut internasional yang termuat dalam Konvensi Hukum Laut 1982 sebagai dasar hukum dalam putusannya. Pertimbangan MPA yang menyandarkan pada Konvensi Hukum Laut 1982 adalah suatu kebijakan hukum yang tepat. MPA berupaya menggiring kedua negara bahwa klaim atas wilayah laut harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan hukum yang telah diterima masyarakat internasional yang tertuang dalam Konvensi Hukum Laut 1982.

Secara khusus, putusan ini teramat penting karena di dalamnya MPA memberi prinsip-prinsip hukum mengenai klaim atas suatu wilayah dan sumber daya alamnya. Prinsip yang penting ini tampaknya juga akan bermanfaat bagi Tiongkok di dalam mengoreksi posisinya selama ini. Putusan ini diharapkan memberi pencerahan kepada negeri ini di dalam melaksanakan langkah- langkah selanjutnya.

Sebaliknya dapat saja skenario yang kurang baik terjadi. Setelah putusan ini, yang tidak kita harapkan adalah sikap Tiongkok yang tidak akan mematuhi putusan arbitrase Mahkamah. Kalau tindakan ini yang diambil, apa yang dilakukannya adalah suatu tindakan yang seharusnya tidak boleh dilakukannya.

Tiongkok telah mengikatkan diri terhadap Konvensi Hukum Laut. Negeri ini menyatakan keterikatannya pada Konvensi sejak 1996. Masyarakat internasional berharap bahwa Tiongkok akan konsekuen dan menghormati putusan arbitrase itu.

HUALA ADOLF, GURU BESAR HUKUM INTERNASIONAL PADA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Juli 2016, di halaman 7 dengan judul "Putusan Arbitrase LTS".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger