Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 23 Juli 2016

Menjaga Jarak Polri dan Politik (FAROUK MUHAMMAD)

Setiap kali terjadi pergantian Kapolri, publik selalu saja mengaitkan proses tersebut dengan politik.

Hal ini tidak dapat dihindari karena dua hal: Pertama, penentuan calon Kapolri adalah hak prerogatif Presiden. Bagaimanapun pasti ada intensi politik dari Presiden sebagai kepala negara/ kepala pemerintah yang notabene juga orang politik.

Kedua, calon Kapolri pilihan Presiden harus dimintakan persetujuan DPR. Sudah pasti proses di DPR adalah proses politik dengan seluruh kontestasi dan tarik-menarik kepentingan partai- partai di Senayan. Hal tersebut sejatinya terkait kedudukan Polri pasca reformasi yang memang menempatkan—dan tidak dapat dihindari—kepolisian di bawah "pengaruh" politik.

Dilema kedudukan Polri

Capaian penting reformasi Polri sebagaimana amanat Tap MPR Nomor VI/MPR/2000 adalah pemisahan Polri-TNI yang sebelumnya tergabung dalam ABRI. Polri diletakkan sebagai alat negara untuk memelihara keamanan (dan ketertiban masyarakat), sementara TNI sebagai alat negara dalam melaksanakan pertahanan negara.

Secara konstitusional, Perubahan UUD 1945 mengatur kedudukan Polri sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, bertugas melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat, serta menegakkan hukum. Amanat UUD tersebut selanjutnya ditegaskan kembali dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Vide: Pasal 5 Ayat (1)).

UU Polri meletakkan kedudukan Polri di bawah presiden. Polri bertanggung jawab kepada presiden sesuai perundang-undangan yang berlaku (Pasal 8 UU Polri) dengan kedudukan Komisi Kepolisian Nasional sebagai pemberi pertimbangan bagi presiden dalam menetapkan arah kebijakan Polri. Sementara itu, pengangkatan dan pemberhentian Kapolri dilakukan oleh Presiden setelah menerima pertimbangan Komisi dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Di lain pihak, UU memberikan kewenangan kepada Kapolri mulai dari pembuatan kebijakan (penggunaan sumber daya dan teknis operasional), perencanaan strategis serta pengawasan sampai dengan tahap evaluasi pelaksanaan tugas dan program. Karena itu, peranan Kapolri sangat dominan menentukan hitam putihnya Polri.

Sejalan dengan itu, Kapolri juga berada di bawah bayang-bayang politik, baik dari Presiden yang mengangkatnya maupun DPR (Komisi III) yang menyetujui pengangkatannya. Posisi Kapolri yang demikian membawa konsekuensi adanya intensi polisi (oknum) untuk membangun kedekatan dengan para politisi untuk promosi karier dari bawah hingga level Kapolri.

Sebaliknya, politisi bisa saja memanfaatkan posisinya untuk intervensi, baik dalam proses pembinaan karier personel Polri maupun penanganan perkara yang berhubungan secara langsung atau tidak langsung dengan kepentingan pribadinya.

Sebagai catatan, sebenarnya ketika Polri menyiapkan RUU menindaklanjuti Tap MPR Nomor VII Tahun 2000 telah mengemuka dua versi RUU Polri: Pertama, versi perubahan yang reformis dan fundamental, termasuk di dalamnya gagasan yang lebih menjamin independensi dan profesionalitas Polri—di mana penulis ikut memprakarsai. Kedua, versi yang relatif status quokecuali mempertegas posisi Polri yang bukan lagi bagian integral dari ABRI saat itu.

Jalan keluar

Sebagai jalan keluar problematika di atas, penulis memfokuskan solusi pada dua hal, yaitu: (1) rekonstruksi kedudukan Polri yang semata-mata alat negara, (2) memperjelas kedudukan Polri di bawah Presiden bersamaan dengan rekonstruksi tugas dan wewenang Komisi Kepolisian. Keduanya memerlukan revisi UU Polri yang saat ini sudah masuk Prolegnas.

Pertama, perlu mendudukkan Polri sebagai institusi yang independen berorientasi pada kepentingan masyarakat. Memaknai Polri semata-mata sebagai alat negara sebagaimana tertulis dalam UUD menyebabkan jajaran Polri cenderung berorientasi ke atas, karena sukar dihindari bahwa personifikasi dari negara adalah kepala negara dan secara berjenjang mengalir ke bawah sampai atasan langsungnya.

Kondisi demikian akan berdampak keberpihakan para pejabat Polri untuk lebih patuh dan taat kepada atasannya daripada kepada rakyat—dari siapa mereka menerima dan mempertanggungjawabkan amanah.

Frasa "Kepolisian Negara Republik Indonesia" yang termaktub di dalam Konstitusi hendaknya dapat ditafsirkan sedemikian rupa untuk memberikan titik tekan bahwa kepolisian adalah institusi masyarakat sehingga orientasinya kepada pelayanan masyarakat bisa lebih kuat.

Dalam literatur kepolisian ada yang disebut state police—seperti di Rusia dan Afrika Selatan—di mana dominasi negara melekat padanya (kepolisian sebagai alat negara) sehingga lebih rentan intervensi oleh penguasa negara; ada juga yang disebut public police yang kemudian melahirkan konsep civil police, kepolisian sebagai pelayan masyarakat sehingga lebih kuat akuntabilitasnya kepada masyarakat.

Peran Polri

Revisi UU perlu mempertegas peran Polri untuk melayani (to serve) dan melindungi (to protect) masyarakat daripada sekadar sebagai alat negara—ada satu peran lagi yakni "mengayomi" yang lebih bersifat subyektif dan tidak bisa diukur.

Kedua, perlu memperjelas kedudukan Polri di bawah presiden. Di banyak negara dipisahkan antara kepolisian sebagai pembina keamanan dan sebagai penegak hukum (investigasi), sementara Indonesia menggabungkan peran ini. Inilah yang menjadi salah satu alasan Panitia Ad Hoc I pada amandemen kedua UUD 1945 tahun 2000 meletakkan Polri di bawah Presiden karena mengemban dua amanat tersebut.

Meskipun berkedudukan di bawah presiden, pengangkatan dan pemberhentian Kapolri ke depan, menurut hemat penulis, mesti dilakukan suatu Komisi Kepolisian yang independen dan diajukan kepada Presiden untuk secara administratif ditetapkan sesuai peraturan perundang-undangan.

Selain mengangkat dan memberhentikan Kapolri, Komisi berwenang sebagai perumus kebijakan (policy making board) dan pengawas atas pelaksanaan kebijakan yang dibuatnya (policy control board). Di bidang operasional misalnya kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy): penahanan/penangguhan penahanan yang dalam undang- undang sangat tidak terukur dan subyektif.

Di bidang pembinaan misalnya, dalam pembinaan karier cenderung bias dan tidak fair/obyektif. Sementara itu, kedudukan Polri di bawah presiden bersifat administratif, yaitu dalam kaitan penyediaan dukungan administratif dan logistik sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, selanjutnya Polri memberikan pertanggungjawaban sesuai hukum/ketentuan peraturan perundang-undangan.

"Instrument of law"

Komisi dimaksud bisa saja merujuk pada Kompolnas dengan kewenangan diperkuat. Berkenaan dengan peran dan kedudukan Kompolnas ini, terdapat sejumlah model yang bisa dirujuk dan dipertimbangkan dari beberapa negara, seperti Inggris, Swedia, Filipina, Korea, dan Jepang (Muhammad, 2000).

Dapat dinalar, guna merumuskan aturan main yang tidak bias kepentingan serta selaras dengan kaidah check and balances, aturan main itu, semestinya disusun oleh sebuah komisi yang beranggotakan orang-orang yang relatif lebih dapat dipertanggungjawabkan obyektivitas kerjanya. Kepala kepolisian, kendati pada dasarnya dapat saja ditetapkan sebagai formulator guiding principles itu, berisiko memunculkan problem akuntabilitas.

Pemerintah ataupun kepala pemerintahan, yang tidak steril dari kepentingan politik, jika hanya sepihak berperan sebagai perumus guiding principles, dikhawatirkan akan mengooptasi institusi kepolisian dengan menjadikannya sebagai alat kekuasaan. Lembaga kepolisian adalah "instrument of law" bukan "instrument of policy"(Muhammad, 2000). Apabila ini yang terjadi, kepolisian yang pada hakikatnya juga berkedudukan sebagai formal social control agency tak pelak akan terkebiri semata-mata menjadi state agency.

Mengingat komisi ini memiliki peran dan kedudukan yang strategis, maka persyaratan anggota Komisi harus menjamin integritas dan kredibilitas para komisioner serta terhindar dari bias baik kepentingan politik maupun kepentingan institusional Polri.

FAROUK MUHAMMAD, WAKIL KETUA DPD RI/GURU BESAR PTIK

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Juli 2016, di halaman 7 dengan judul "Menjaga Jarak Polri dan Politik".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger