Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 25 Agustus 2016

Bangun Bangsa Pancasila (EMIL SALIM)

Sudah 71 tahun Indonesia merdeka berdasarkan Pancasila.  Mungkin berguna kita bandingkan hasil pembangunan Indonesia yang dicapai dengan tolok ukur yang tersedia, dalam menilai prestasi pembangunan negara-negara di tingkat internasional dalam mencapai cita-cita yang memantulkan semangat Pancasila.

Karena mayoritas masyarakat kita beragama Islam, kita pakai indikator yang diberlakukan di forum internasional dalam mengukur seberapa jauh umatnya melaksanakan  pembangunan nasional yang islami. Tolok ukur yang dipakai bisa dijadikan proxy sila Ketuhanan yang Maha Esa.

Berdasarkan pemahaman tentang surat-surat Al Quran dan hadis, Prof Scheherazade S Rahmandan Prof Hassen Askafri meneliti dan mengukur pelaksanaan pembangunan negara-negara di dunia menurut Economic Islamicity Index (EII) dan mengumumkan hasil penelitian mereka dalam Global Economic Journal, volume 10, Berkeley Electronis Press, 2010.

Masih mencemaskan 

Mereka menyimpulkan bahwa sasaran sistem ekonomi Islam adalah: (1) tercapainya keadilan ekonomi dengan pembangunan berkelanjutan; (2) kesejahteraan beserta kesempatan kerja yang luas; (3) penerapan praktik ekonomi dan finansial yang islami berdasarkan Al Quran dan hadis. Sasaran "sistem ekonomi Islam" yang mereka kaji ditopang oleh 12 prinsip perilaku kehidupan ekonomi Islam yang diukur perwujudannya dalam EII di negara-negara dunia sejagat, baik yang didominasi penduduk Muslim maupun non-Muslim.

Dari 208 negara yang dikaji, nilai EII rata-rata adalah 104,96. Irlandiameraih EII terbaik, yakni 60,27. Sementara Indonesiameraih EII sebesar 104,5, sedikit di atas EII rata-rata sedunia.  Artinya, kita sedikit lebih baik daripada rata-rata 208 negara dalam menjalankan pembangunan menurut tolok ukur EII.

Sudah lama para cendekiawan risau dengan konsep pembangunan menaikkan produk domestik bruto (PDB) karena mengabaikan dimensi "nonekonomi" dalam pembangunan. Karena itu, tokoh-tokoh pembangunan, seperti Michael E Porter, Herman de Soto, dan Michael Green, meneliti pembangunan negara-negara menurut tolok ukur Social Progress Index (SPI)yangmencakup tiga dimensi pembangunan manusia dan masyarakat.

Pertama, kebutuhan pokok manusia, yang memuat nutrisi dan perawatan kesehatan dasar, air dan sanitasi, perumahan dan keselamatan pribadi. Kedua, fondasi bagi kesejahteraan, mencakup akses ke pengetahuan dasar, akses ke informasi dan komunikasi, kesehatan, serta keberlanjutan ekosistem. Ketiga, kesempatan (oportunitas), mencakup hak personal, kebebasan pribadi dan kebebasan memilih, toleransi dan inklusi, serta akses ke pendidikan maju sehingga tampil dalam SPI berdimensi manusiawi: wajah "kemanusiaan yang adil dan beradab.

Hasil kajian Social Progress Index 2014yang mencakup 132 negara mengungkapkan bahwa  Selandia Barudengan PDB per jiwa sebesar 25.857 dollar AS meraih posisi tertinggi dengan skor 88,24. Chad, Afrikadengan PDB per jiwa sebesar 1.870 dollar AS di posisi terakhir dengan skor 32,60. Adapun Indonesiadengan PDB per jiwa sebesar 4.272 dollar AS di posisi nomor 88 dengan skor 68.

Bangsa Indonesia bukan bangsa yang secara genetika terbentuk dari peleburan satu suku dan ras. Ciri bangsa Indonesia adalah kebinekaan yang perlu terus-menerus dikembangkan secara alamiah ketunggalannya. Tersebarnya anak bangsa dalam ribuan  pulau dalam jarak "dari London ke Teheran" memerlukan pola pembangunan yang secara jiwa dan badan menyatukan bangsa.

Namun, fakta menunjukkan bahwa kondisi ini belum terwujud sehingga pendapatan dan kemajuan penduduk Indonesia belum merata, baik antarpulau maupun di dalam satu pulau. Pulau Jawa menghasilkan 57 persen PDB nasional dengan DKI Jakarta saja menghasilkan 16 persen PDB nasional. Sementara Papua dan Papua Barat menghasilkan 1,9 persen PDB nasional (2012). Ini artinya, dalam kebijakan pembangunan perlu dikembangkan secara sadar sila Persatuan Indonesiaantar-anak bangsa.

Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan,tecermin antara lain pada perkembangan Indeks Demokrasi Indonesiasebagai hasil pembangunan politik, yang mengungkapkan indikator-indikator: (1) kebebasan sipil; (2) hak-hak politik; dan (3) lembaga demokrasi.

Perkembangan Indeks Demokrasi Indonesia 2009-2015 secara umum meningkat dari 67,30 (2009) ke 72,82 (2015). Baik indeks "hak-hak politik sipil" maupun indeks "lembaga demokrasi" mengalami kenaikan. Namun , indeks "kebebasan sipil" menurun  dari  86,97 (2009) ke 80,30 (2015). Indeks "kebebasan sipil" mencakup: (a) kebebasan berkumpul dan berserikat; (b) kebebasan berpendapat; (c) kebebasan berkeyakinan; dan (d) kebebasan dari diskriminasi.

Yang mencolok naik adalah indeks "hak-hak politik": dari 54.60 (2009) ke 70,63 (2015). Hak politik mencakup: (a) hak memilih dan dipilih; (b) partisipasi politik dalam pengambilan keputusan dan pengawasan.

Hak politik ini diwujudkan oleh partai politik. Indonesia memiliki 73 partai politik dan hanya 10 partai berhasil masuk DPR. Sungguh pun begitu, hasrat membentuk partai-partai baru masih kuat dan agaknya mencerminkan bahwa "mendirikan partai" adalah "usaha menguntungkan".

Pola partai kita belum sehat karena tidak terbagi atas ideologi politik yang prinsipiil berbeda satu dengan lain. Fakta bahwa yang ditangkap Komisi Pemberantas Korupsi kebanyakan adalah politisi partai menunjukkan bahwa kualitas tokoh-tokoh partai sebagai unsur soko guru Negara Pancasila masih tidak memuaskan, bahkan sangat mencemaskan.

Perlu kerja keras

Adalah dalam sila "Keadilan Sosial"yang Indonesia kini masih perlu bekerja keras. Rasio gini  sebagai tolok ukur ketidakadilan sosial meningkat dari 0,36 (2007) menjadi 0,41 (2015). Petani Indonesia sebagai soko guru ekonomi rakyat menderita indeks "nilai tukar petani" (NTP) antara 101-104 dalam tahun-tahun 2009-2016, sementara yang dibutuhkan petani untuk hidup layak adalah NTP sebesar 130. Jadi, tidak mengherankan jika anak-anak muda cenderung meninggalkan medan pertanian dan pindah ke kota.

Sementara itu, pembangunan yang gencar dilaksanakan sering dituntut "pembebasan tanah" yang kerap merugikan pemilik tanah, termasuk kelompok adat. Akan mungkinkah pemilik tanah ikut memiliki saham sebagai bagian nilai pengganti tanah dalam proyek pembangunan?

Apabila gambaran pelaksanaan setiap sila kita gabungkan dalam kesatuan semangat pembangunan Pancasila yang utuh, tampaklah masih banyak hal yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan agar Indonesia bisa mencapai hasil pembangunan yang sungguh-sungguh bernapaskan semangat Pancasila yang  bebas dari retorika bombastis.

EMIL SALIM

Dosen Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 Agustus 2016, di halaman 7 dengan judul "Bangun Bangsa Pancasila".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger