Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 25 Agustus 2016

Waswas Amnesti Pajak (YUSTINUS PRASTOWO)

Sudah hampir dua bulan sejak Undang-Undang No 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak disahkan, pelaksanaannya masih tertatih dengan capaian realisasi yang mengkhawatirkan. Baik jumlah peserta amnesti, harta deklarasi, dana repatriasi, maupun uang tebusan belum menunjukkan kenaikan signifikan. Di sisi lain antusiasme masyarakat cukup tinggi, terbukti selalu membeludaknya peserta sosialisasi, seminar, dan ramainya helpdesk dikunjungi wajib pajak.

Pemerintah harus segera melakukan evaluasi menyeluruh dan mencari sumber penyebab pencapaian yang belum sesuai harapan. Waktu terus berjalan, ruang semakin sempit, dan langkah-langkah terobosan amat ditunggu. Menimbang pertaruhan besar program amnesti pajak bagi masa depan perpajakan Indonesia, tak ada kata lain kecuali harus sukses.

Identifikasi masalah

Permasalahan bermula dari pembahasan RUU Pengampunan Pajak yang berlarut-larut dan sempat diombang-ambing ketidakpastian. Pembahasan yang eksklusif dan elitis sebagai upaya menjaga kelancaran berakibat minimnya partisipasi dan pemahaman publik. Pada saat disetujui DPR pada 28 Juni 2016 dan disahkan Presiden 1 Juli 2016, UU ini berlaku tanpa transisi. Akibatnya aturan pelaksanaan belum tersedia, sistem administrasi sedang disiapkan, dan sebagian besar aparatur pajak sebagai pelaksana utama di lapangan belum memahami seluk-beluk amnesti pajak. Sosialisasi pun harus dijalankan berbarengan: sambil belajar sekaligus mengajar.

Ketika peraturan pelaksanaan terbit, permasalahan di lapangan bertambah. Peraturan menteri keuangan (permenkeu) sebagai peraturan pelaksanaan undang- undang memberikan pedoman teknis di lapangan meski dalam beberapa hal kurang sejalan dan mempersempit maksud UU. Dalam beberapa hal peraturan teknis juga tidak mudah diimplementasikan dan justru memunculkan perbedaan pemahaman di lapangan. Salah satu penyebabnya adalah pembahasan yang tidak melibatkan para pelaku agar mendapatkan tilikan-tilikan praktis dan teknis, terutama tentang instrumen investasi, prosedur repatriasi, dan pengawasannya. Keterlambatan beberapa peraturan juga menambah ketidakpastian pelaksanaan amnesti.

Namun terbitnya Permenkeu No 122/PMK/2016 yang memperluas instrumen investasi sektor nonkeuangan patut disambut baik, termasuk rencana terbitnya permenkeu tentang special purpose vehicle (SPV) yang ditunggu-tunggu.

Kesenjangan pemahaman antara pusat dan lapangan tentang konsep, filosofi, dan tujuan amnesti pajak tak segera teratasi. Sebagai konsekuensi terlambatnya proses internalisasi di Direktorat Jenderal Pajak dan terbitnya beberapa peraturan teknis, amnesti pajak menjadi semakin kompleks. Apa yang awalnya mudah dan pasti menjadi rumit, administratif, dan terlalu teknis, misalnya formulir surat pernyataan harta dan lampirannya.

Narasi amnesti yang sejatinya sebagai ikhtiar membangun jembatan menuju reformasi pajak melalui rekonsiliasi jatuh menjadi kalkulasi matematis yang tak mudah. Bahkan, beberapa hal mendasar, seperti subyek pengampunan, cakupan harta, definisi nilai wajar, penghapusan kewajiban dan hak, perhitungan tunggakan, penggunaan dana untuk biaya hidup-menjadi hal yang kabur dan tidak pasti di lapangan. Bahkan, belakangan amnesti malah terkesan menyasar wajib pajak menengah yang belum melaporkan beberapa jenis harta, seperti warisan, hibah, tabungan, deposito, dan reksa dana di surat pemberitahuan tahunan (SPT) karena ketidaktahuan, bukan yang nyata-nyata tidak atau kurang membayar pajak. Jika dibiarkan berlarut-larut, gairah dan antusiasme yang membuncahkan harapan dapat meredup dan anti klimaks.

Jalan keluar

Hulu aneka permasalahan yang menyeruak ini adalah problem kepemimpinan. Ada kesan menggampangkan implementasi amnesti dengan jargon dan obral angka bombastis. Bahkan, dirjen pajak tampak kedodoran dalam menata dan menggerakkan pasukan. Hadirnya Sri Mulyani Indrawati dengan kompetensi unggul, integritas tinggi, dan pemahaman akan lika-liku perpajakan Indonesia sangat membantu. Sri Mulyani mengisi kekosongan dan kebutuhan akan perencanaan yang matang dan pengawasan yang ketat. Kini ia berjibaku menyelamatkan amnesti pajak dengan koordinasi dan konsolidasi. Namun, ia tak dapat menyelesaikan seorang diri. Justru di sinilah peran seorang presiden sangat dinanti dan dibutuhkan. Beberapa tilikan berikut membantu mencari jalan keluar.

Pertama, Presiden segera membentuk Tim Khusus atau Satgas Amnesti Pajak yang tugasnya melakukan supervisi, mencari terobosan (breakthrough), dan mengurai hambatan yang menjadi penyebab macetnya program (debottlenecking). Cukup ironis, program sebesar dan sepenting ini dijalankan tanpa kendali monev (monitoring dan evaluasi) yang memadai. Beberapa hal krusial yang tak bisa diselesaikan dengan cepat di tingkat Kemenkeu dapat segera ditangani dan dicarikan jalan keluar. Beban Kementerian Keuangan dan Direktorat Jenderal Pajak sebagai pelaksana lapangan selayaknya dikurangi. Tim ini juga membantu koordinasi kelembagaan dan komunikasi politik, termasuk kesiapan menghadapi uji materi UU di Mahkamah Konstitusi.

Kedua, Presiden menerbitkan peraturan presiden untuk menambal lubang yang ditinggalkan UU dan tak bisa diatur permenkeu. Gesture Presiden yang all out mendukung amnesti pajak dan menjamin dukungan semua institusi penegak hukum di bawah kendalinya dapat diejawantahkan secara formal dalam perpres. Pula jaminan kepastian hukum, reformasi hukum dan bisnis, serta kenyamanan bagi peserta amnesti di masa mendatang.

Ketiga, Presiden menyudahi sosialisasi akbar yang gegap gempita dan memulai gerakan sosialisasi dengan target dan segmen yang jelas, inklusif, dengan target terukur. Sosialisasi yang mengedepankan pentingnya ikut amnesti lengkap dengan manfaat dan konsekuensinya.

Setidaknya ada empat kelompok besar yang harus didekati secara berbeda: pengusaha besar, UKM, profesional dan karyawan, serta pejabat negara dan PNS. Keempatnya punya problem dan kebutuhan insentif berbeda, maka harus dikelola secara berbeda. Model ini diturunkan dari pusat sampai ke level kantor pelayanan dan melibatkan pihak-pihak terkait yang relevan: pemda, tokoh masyarakat, praktisi, organisasi keagamaan, kampus, dan asosiasi usaha. Data akurat yang dimiliki harus digunakan untuk memaksa wajib pajak bermasalah ikut amnesti.

Keempat, inisiatif Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan frequently asked questions (FAQ) patut diapresiasi. Seyogianya FAQ ini terus dikembangkan sesuai dinamika di lapangan, dijawab dengan lugas dan tegas, mudah diakses, dan dipedomani semua pihak. Di samping itu perlu dibuat prosedur standar operasi (SOP) yang baku dan jelas terkait tata laksana amnesti pajak, termasuk pengaduan dan penanganan kasus. Interpretasi, pemahaman, dan perlakuan jajaran Direktorat Jenderal Pajak yang tunggal dan selaras merupakan kunci keberhasilan partisipasi amnesti.

Kelima, sesuai tujuan utama amnesti, yaitu repatriasi, semua aturan terkait repatriasi dan investasi sebaiknya dikaji ulang dan disempurnakan bersama para pemangku kepentingan agar efektif dan mudah diterapkan. Beberapa skema dipangkas agar lebih sederhana, pengembalian imbal hasil dipercepat, dan instrumen investasi segera dikonkretkan, terutama sektor BUMN dan proyek pemerintah. Insentif bagigateway juga patut dipertimbangkan agar pelaksanaan dan pengawasan menjadi lebih baik.

Keenam, pemerintah menyiapkan skenario alternatif apabila target amnesti tak sesuai harapan, agar tidak mengganggu APBN 2016 dan keberlanjutan sistem perpajakan ke depan. Melakukan revisi target agar lebih realistis dan menyiapkan strategi penggalian potensi pasca amnesti merupakan langkah bijaksana dan harus digarap bersamaan. Peta jalan reformasi pajak yang jelas dengan penegakan hukum yang keras di masa mendatang merupakan insentif bagi wajib pajak agar ikut amnesti.

Pelaksanaan amnesti pajak seperti peristiwa Julius Caesar menyeberangi sungai Rubicon saat penaklukan, maju tanpa pernah berpikir kembali (poin of no return). Di hadapan kita terbentang peluang besar sekaligus tantangan yang tak kalah berat. Justru di titik inilah kita diuji. Hanya ada satu tekad: harus sukses. Meski waktu semakin sempit, rasanya belum terlambat mengambil langkah besar yang radikal. Dukungan penuh Presiden, kualitas personal menkeu, aparatur pajak yang berkemampuan teknis baik dan dukungan sistem yang memadai, serta gairah publik yang membuncah merupakan modal besar. Di ujung semua ini, kita butuh keteladanan, terutama para pembesar yang sudi mengawali keikutsertaan dalam amnesti. Demi masa depan gemilang, berpartisipasi dalam amnesti bukanlah aib, tetapi jawaban atas panggilan Ibu Pertiwi sebagai benih keutamaan.

YUSTINUS PRASTOWO

Direktur Eksekutif CITA (Center for Indonesia Taxation Analysis) Jakarta

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 Agustus 2016, di halaman 6 dengan judul "Waswas Amnesti Pajak".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger