Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 20 Agustus 2016

Delusi Ambang Batas (ARIFUDDIN HAMID)

Salah satu delusi dalam praktik demokrasi elektoral adalah perihal penentuan ambang batas parlemen. Wacana ini telah menjadi faktor melekat yang mengiringi setiap rencana revisi undang-undang kepemilihanumuman.

Hari ini ruang publik kembali disuguhi perdebatan yang tidak saja delusif, tapi juga kontraproduktif dan ahistoris. Kalau penentuan ambang batas ini didaku mampu menyederhanakan jumlah partai, pikiran demikian jelas suatu inkonsistensi logis. Karena hal ini pulalah debat parlementarian kita tidak pernah substantif dan menyentuh akar persoalan perihal sistem kepartaian yang ideal. Perdebatan ambang batas sesungguhnya manifes watak kepurbaan aktor politik yang semata-mata mengejar kekuasaan. Tidak ada relasi kausal antara ambang batas yang tinggi dan penyederhanaan jumlah partai.

Faktanya, partai politik di Indonesia tidak ada yang pantas disebut partai kuat. Semuanya kalau tidak sama-sama kuat, lebih tepat disebut sama-sama lemah.

Sepanjang dasawarsa reformasi tidak ada satu partai pun yang mampu menembus angka 30 persen suara sah atau kursi DPR. Apalagi mampu menjadi mayoritas mutlak dengan perolehan di atas 50 persen. Maka itu, lagi-lagi, mendebat ambang batas adalah membincang kesia-siaan. Bahkan, selain kesia-siaannya, perihal ambang batas juga berimplikasi konstitusionalistis.

Sebagai hak yang dijamin oleh konstitusi, setiap warga negara berhak mendapatkan kesempatan yang sama dalam pemerintahan (Pasal 28D Ayat 3 UUD 1945). Konsekuensi logis dari klausul ini adalah hak untuk mewakili dan diwakili dalam kehidupan ketatanegaraan. Ambang batas telah menjadi sandungan yang nyata dan faktual terhadap hak konstitusional yang sejatinya bersifat azali.

Jika mengacu pada pelaksanaan Pemilu 2009 yang menerapkan besaran ambang batas 2,5 persen dan  Pemilu 2014 sebesar 3,5 persen, sesungguhnya tidak ada implikasi apa-apa yang dihasilkan oleh pengaturan ini, selain penyelundupan struktural suara rakyat.

Kezaliman legalistis

Besarnya suara yang dihilangkan paksa adalah bentuk kezaliman legalistis yang tidak sejalan dengan prinsip demokrasi. Kalau konsisten dengan napas demokrasi, seharusnya kepada setiap aspirasi politik diberikan ruang yang paripurna untuk menyapih gagasan dan program. Politik kuantifikasi yang tengah berlangsung dan kini hendak dipertegas adalah bentuk peminggiran hak-hak sosial politik yang vulgar dan tidak bertanggung jawab.

Selain itu, praktik politik yang terjadi di Senayan kian menegasi maksud yang selalu diketengahkan oleh kalangan politikus sendiri. Kalau memang tujuannya hendak meningkatkan keefektifan pengambilan keputusan politik, maka sejatinya, praktik dan preseden koalisi kepartaian jelas-jelas perilaku yang eksesif. Faktanya, sepanjang pemberlakuan sistem ambang batas, sepanjang itu pula ritual berkoalisi ini dipraktikkan.

Pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, kita melihat poros besar yang bernama Sekretariat Gabungan. Sekarang pada masa Presiden Joko Widodo, kita kembali disuguhi kartelisasi partai dalam format Partai-Partai Pendukung Pemerintah (P4).

Lalu, apa yang tersisa dari tujuan penentuan ambang batas ini?

Demarkasi politik

Padahal, ketimbang ambang batas, akan jauh lebih berguna jika lokus perdebatannya digeser kepada mekanisme lain yang tidak saja konstitusional, tapi juga realistis. Penegasan demarkasi politik, misalnya. Parlemen dapat dipisahkan secara tegas ke dalam dua sumbu kepentingan politik yang sama sekali berbeda. Praktik ini lazim ditemui di negara-negara demokrasi.

Di Amerika Serikat, jangan dikira hanya ada dua partai yang bertarung dalam setiap perhelatan pemilu legislatif dan presiden. Ada banyak partai politik, tetapi dunia hanya mengenal dua kekuatan besar, yang kerap kali memiliki kepentingan yang secara diametral berbeda.

Amerika Serikat juga tidak mengenal sistem ambang batas. Setiap partai politik yang telah memenuhi syarat disilakan ikut dalam pemilihan umum. Yang kita temukan justru bukan pada debat tidak berguna seperti bagi-bagi kursi dan tetek bengek mendukung pemerintahan berkuasa. Perdebatan yang kita lihat adalah seni berdemokrasi yang berciri artikulatif, substantif, serta dipenuhi percaturan alot seputar cara memajukan negara.

Polarisasi politik

Di sana polarisasi politik adalah keniscayaan dan bukanlah tertuduh bagi degradasi kehidupan bernegara. Dengan polarisasi politik ini, Amerika Serikat justru menemukan berkah demokrasi.

Keith Poole (2008) dalam kajian bertajuk "The Roots of the Polarization of Modern US Politics" menjelaskan bahwa polarisasi politik yang telah terjadi selama berabad-abad justru menjejak implikasi asimetrisnya terhadap kemajuan perekonomian. Prinsip seperti demokrasi perwakilan, pemilu yang pluralistis, keterwakilan geografis, dan penegasan hak kepemilikan pribadi adalah warisan kolonial yang membentuk dunia perpolitikan Amerika Serikat saat ini.

Apalagi, meskipun partai politik minor sangat jarang memperoleh kemenangan elektoral, mereka memainkan peran yang sangat vital dalam imaji politik. Faktanya, berbagai legislasi penting justru banyak yang merupakan gagasan dari partai minor ini, seperti legislasi di bidang buruh anak, keamanan sosial, kompensasi bagi pengangguran, juga pengakuan akan hak-hak sipil (Richard Hardy, 2012, The Paradoxes of Political Parties in American Constitutional Development).

Karena itu, selain merupakan mandat konstitusi, ruang aktualisasi bagi setiap partai politik yang memang berhak dan memenuhi syarat mengikuti pemilu untuk juga hadir memperjuangkan programnya di parlemen adalah inovasi demokrasi yang perlu dipertahankan bersama.

Pada titik ini pulalah rencana penaikan ambang batas parlemen tidak saja kehilangan pijak yuridisnya, tetapi juga tidak relevan dihadirkan di ruang demokrasi yang berkeadaban.

ARIFUDDIN HAMID

Direktur Partnership for Strategic Initiatives; Alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Agustus 2016, di halaman 7 dengan judul "Delusi Ambang Batas".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger