Orang yang berpenyakit hipertensi dan diabetik, misalnya, sepanjang hidupnya harus mengonsumsi obat tertentu untuk mempertahankan kualitas hidupnya. Dengan dosis, indikasi, dan waktu yang tepat, obat dapat menjadi farmakoterapi efektif untuk mencegah atau mengobati penyakit. Sebaliknya, obat bisa menjadi racun berbahaya apabila digunakan secara salah.
Masalah-masalah yang terkait dengan obat ini dikenal dengan istilah drug related problems (DRP). Di Amerika Serikat, kasus DRP ini selain menelan korban berupa kematian, juga menimbulkan kerugian finansial yang sangat besar.
Di Indonesia tidak ada penelitian yang melaporkan kasus DRP secara nasional. Namun, dapat diprediksi kasus DRP jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di Amerika Serikat. Penelitian di Rumah Sakit Sardjito, misalnya, terjadi kasus interaksi obat 59 persen untuk pasien rawat inap dan 69 persen untuk pasien rawat jalan (Rachmawati et al, 2006). Dengan pola peresepan yang polifarmasi (menggunakan banyak jenis obat) dan banyaknya anggota masyarakat yang mengobati diri sendiri (swamedikasi), dapat dipastikan kasus DRP di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan dengan fenomena di RS Sardjito.
Mengingat obat seperti pedang bermata dua, perlu pengawasan sangat ketat dan simultan, mulai dari bahan obat, proses produksi, distribusi dan pelayanan obat, hingga promosi. Tujuan utama pengawasan adalah mencegah kerugian dan risiko yang dapat membahayakan masyarakat.
Tidak efektif
Sepuluh tahun terakhir, sistem pengawasan obat di Indonesia tidak berjalan efektif sehingga tidak dapat memberikan perlindungan maksimal kepada masyarakat luas. Pengawasan obat pada dasarnya mencakup dua aspek yang harus berlangsung terintegrasi, yakni pengawasan premarket (sebelum produk diizinkan beredar) danpostmarket (setelah produk beredar). Pengawasan premarket di Indonesia menjadi tanggung jawab Badan POM yang memiliki Komite Nasional, terutama untuk mengevaluasi obat-obat inovasi baru. Prosedur atau tata cara evaluasi obat sebelum diizinkan beredar umumnya sudah menggunakan standar internasional. Namun, masalah yang sangat krusial terutama adalah waktu evaluasi.
Untuk obat baru evaluasi bisa 2-3 tahun, untuk obat copy 1-2 tahun. Lamanya proses evaluasi ini bagi industri menjadi masalah besar karena mereka dapat kehilangan momentum pasar.
Untuk obat-obat inovasi baru, apa yang ditempuh Singapura sangat berbeda. Apabila obat inovasi baru sudah diizinkan beredar oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA), oleh Therapeutic Good Administration (TGA) Australia, dan Otoritas Regulatori Obat Uni Eropa, produk baru tersebut oleh Pemerintah Singapura akan diizinkan beredar dalam proses waktu evaluasi 1-3 bulan. Dampak birokrasi yang panjang di Badan POM adalah rakyat Indonesia harus menunggu sampai 3 tahun untuk menggunakan obat baru, sedangkan Singapura hanya 3 bulan.
Perbaiki semua lini
Dalam kaitan dengan pengawasan sebelum dipasarkan (premarket), terutama pengawasan sarana dan fasilitas produksi, Badan POM mengawasi superketat, termasuk di dalamnya sertifikasi/resertifikasi cara-cara pembuatan obat yang baik. Namun, pengawasan sarana dan fasilitas produksi ini menjadi kurang bermakna apabila pengawasan pada seluruh mata rantai distribusi tidak ketat dan efektif. Kita bisa melihat ada lubang dan kebocoran bersifat masif yang menyebabkan sarana distribusi dan pelayanan obat berhubungan langsung dengan masyarakat dan berisiko pada masyarakat luas.
Pengawasan pasca pemasaran (postmarket), terutama pada mata rantai distribusi sampai pelayanan obat, kenyataannya dilakukan oleh banyak institusi yang terserak dan tidak terkoordinasi. Institusi yang bertugas mengawasi obat pada postmarket cukup banyak, mulai dari Kementerian Kesehatan cq Direktorat Jenderal Bina Farmasi, Badan POM, sampai dinas kesehatan provinsi dan dinas kesehatan kabupaten/kota. Institusi pengawasan tersebut bergerak sendiri-sendiri dan tidak ada prosedur tetap dalam operasi pengawasan.
Di tingkat pusat sering terjadi benturan dan friksi antara Badan POM dan Direktorat Jenderal Bina Farmasi Kemenkes yang memperebutkan lahan otoritas. Badan POM memeriksa dan mengaudit sarana produksi (industri farmasi) dan sarana distribusi (pedagang besar farmasi) sebagai rekomendasi untuk pemberian izin oleh Menteri Kesehatan cq Direktur Jenderal Bina Farmasi.
Pemangkasan wewenang
Pertikaian dua lembaga ini ditandai dengan pemangkasan kewenangan Badan POM sehingga lembaga ini kehilangan legalitas operasional dalam mengawasi dan memeriksa apotek, rumah sakit, ataupun gudang farmasi kabupaten/kota. Akibatnya, di seluruh mata rantai distribusi ini, Badan POM hanya menjadi semacam pengamat. Dalam konteks ini, sangat jarang ada sanksi kepada pihak-pihak yang melanggar. Dengan kata lain, terjadi pembiaran yang akibatnya adalah distorsi kumulatif dan terus membesar seperti bola salju.
Dalam pengawasan terhadap produk obat ilegal, ada dua undang-undang berbeda sebagai dasar tindakan hukum. Menurut Pasal 386 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, obat palsu adalah ranah pidana umum dan yang mempunyai kewenangan legal adalah polisi. Sementara, menurut Undang-Undang Nomor 36 tentang Kesehatan, obat yang tidak memiliki izin edar menjadi ranah Badan POM. Aturan hukum yang terfragmentasi ini bisa menyebabkan operasi pengawasan menjadi tidak efektif.
Dalam pelayanan obat, terutama di apotek, apoteker mempunyai peran vital, terutama dalam melindungi pasien terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan obat (DRP). Sayangnya, apoteker di Indonesia belum dapat melaksanakan fungsi utamanya dengan baik.
Kerja apoteker
Di Jakarta, apoteker yang bekerja penuh waktu di apotek hanya 24 persen, sebagian besar apotek BUMN. Selebihnya bekerja paruh waktu. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No 51/2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, tanpa kehadiran apoteker, seharusnya apotek tidak dapat memberikan layanan obat keras kepada pasien, no pharmacist no services.
Akibat lemahnya praktik profesi apoteker di apotek, apotek tidak lebih hanya sebagai pedagang ritel yang tidak memberikan perlindungan kepada konsumen. Seharusnya setiap apotek dengan apotekernya bermitra dengan dokter yang berpraktik di zona lokasi apotek. Penguatan peran apoteker akan memberikan kontribusi besar pada penertiban peredaran obat di Indonesia.
Bagaimana menertibkan distribusi dan pelayanan obat yang karut-marut ini? Langkah utama adalah memperkuat legal base, yakni perlunya Undang-Undang tentang Pengawasan Obat dan Makanan. Namun, pembuatan UU tersebut memerlukan proses dan waktu panjang. Sebagai langkah antara, dapat diberlakukan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Penguatan Pengawasan Obat dan Makanan yang merevitalisasi peran, wewenang, dan tanggung jawab Badan POM dalam pengawasan dari hulu sampai ke hilir.
Bersamaan dengan itu, perlu dibangun jejaring pengawasan obat yang melibatkan kerja sama lintas sektor dengan prosedur standar operasi (SOP) yang mengintegrasikan pengawasan di tingkat pusat dan daerah. Ini bisa ditindaklanjuti dengan membentuk satuan tugas lintas sektor dengan tugas dan kewenangan yang jelas untuk pengawasan di lapangan.
SAMPURNO
Kepala Badan POM 2001-2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar