Infrastruktur menciptakan konektivitas, tidak hanya mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah sendiri, tetapi juga menggeliatkan ekonomi di daerah lain. Dengan demikian, upaya pemerataan pembangunan infrastruktur antardaerah menjadi bagian penting dalam meningkatkan kegiatan perekonomian.
Butuh anggaran besar
Berbagai argumentasi di atas sepertinya menjadi alasan pemerintahan Jokowi-Kalla membuat berbagai kebijakan untuk mempercepat pembangunan Infrastruktur. Namun, perlu diingat, di satu sisi mempercepat pembangunan infrastruktur merupakan kebutuhan mendesak bagi bangsa untuk mencapai pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, di sisi lain, percepatan pembangunan infrastruktur memiliki tantangan dari aspek penyediaan pembiayaan.
Pada masa pemerintahan Jokowi-Kalla terdapat terobosan yang cukup mencolok, yakni menggeser pos anggaran yang selama ini untuk subsidi yang bersifat konsumtif jadi anggaran yang bersifat produktif seperti membangun infrastruktur. Pada tahun pertama pemerintahan, rasio anggaran infrastruktur terhadap produk domestik bruto (PDB) melonjak jadi 3,2 persen dari yang sebelumnya 2 persen.
Meskipun terdapat peningkatan rasio anggaran belanja terhadap PDB, hal itu ternyata masih jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan Tiongkok. Di negeri ini, anggaran infrastruktur terhadap PDB sudah mencapai 11 persen. Sementara India dan Malaysia 7 persen. Hal ini dapat dipahami karena anggaran negara memiliki keterbatasan, terlebih jika pendapatan negara belum optimal.
Lebih lanjut, berdasarkan RPJMN 2105-2019, pembiayaan infrastruktur yang bersumber dari APBN selama 2015-2019 berkontribusi Rp 2.215 triliun. Sementara pemerintah memutuskan memborong proyek infrastruktur yang kebutuhan nilai investasinya mencapai Rp 5.519 triliun. Ini menunjukkan adanya kekurangan (gap) Rp 3.304 triliun atau 59,86 persen dari total investasi.
Jika dirata-ratakan per tahun, Indonesia membutuhkan anggaran infrastruktur Rp 1.100 triliun, dengan rasio anggaran infrastruktur terhadap PDB menjadi 12 persen. Akibat lompatan rasio anggaran yang signifikan itu, dari 3 persen menjadi 12 persen, apakah kebijakan percepatan pembangunan infrastruktur ini cukup realistis atau hanya ambisius?
Konsekuensi dari target pemerintah memborong proyek infrastruktur ialah kebutuhan anggaran yang semakin besar sehingga berpotensi menciptakan defisit yang semakin lebar. Defisit anggaran terhadap PDB pada APBNP 2016 ditetapkan 2,35 persen. Itu pun dengan asumsi target penerimaan 100 persen tercapai. Perlu ditekankan pula bahwa defisit anggaran dibiayai utang negara. Dengan demikian, semakin besar defisit anggaran, semakin besar beban untuk membayar utang berikut bunganya.
Agresifnya pembangunan infrastruktur saat ini ternyata cukup berisiko karena dibiayai dengan utang luar negeri yang sifatnya jangka pendek dan menengah. Padahal pembangunan infrastruktur merupakan investasi jangka panjang. Jika penerimaan negara mengalami shortfalldalam jumlah besar dan berlangsung terus-menerus-sementara di sisi lain pemerintah terus menggenjot belanja infrastruktur yang berasal dari utang-maka dalam jangka panjang Indonesia akan mengalami kesulitan likuiditas keuangan yang pada akhirnya akan menciptakan kesulitan ekonomi.
Keterbatasan anggaran negara untuk membangun infrastruktur di saat pemerintah berambisi mengatasi ketertinggalan membuat peluang intervensi asing semakin terbuka. Modal asing dapat mengalir masuk, baik melalui pemerintah dengan pinjaman lunak atau komersial (G to G) maupun melalui BUMN dan sektor swasta dengan pinjaman komersial (B to B). Namun, keterlibatan pihak asing dalam pembangunan infrastruktur perlu dicermati agar tidak terjadi intervensi berlebihan, dominasi asing, maupun eksploitasi. Berbagai bentuk kerja sama internasional tersebut harus mengedepankan kepentingan nasional dan menguntungkan bagi bangsa.
Proyek infrastruktur yang melibatkan dana asing sebenarnya sudah berlangsung sejak Orde Baru, khususnya melalui pinjaman lunak bilateral dan multilateral. Dari rekam jejak pembangunan infrastruktur yang dibiayai pihak asing, umumnya negara lender(pemberi pinjaman) mensyaratkan berbagai ketentuan yang intinya mempersempit kesempatan pelaku usaha dan industri lokal mendapat kesempatan berpartisipasi dalam membangun infrastruktur.
Optimalisasi pembiayaan
Selain dari utang luar negeri, alternatif sumber dan skema pembiayaan infrastruktur sebenarnya cukup beragam. Salah satunya adalah pembiayaan dari lembaga keuangan nonbank, seperti industri asuransi, dana pensiun, dan BJPS Ketenagakerjaan. Peluang perusahaan asuransi nasional berpartisipasi dalam pembiayaan infrastruktur sangat terbuka. Merujuk pada data Otoritas Jasa Keuangan (2015), total investasi industri asuransi nasional Rp 527,929 triliun, alokasi prioritas masih terarah pada deposito bank dan surat berharga. Peluang dalam pembiayaan infrastruktur justru diambil oleh perusahaan pembiayaan asing, sementara asuransi nasional masih sebatas subkontraktor.
Perusahaan asuransi nasional seharusnya dapat menutup kebutuhan anggaran pembangunan infrastruktur. Apalagi, proyek infrastruktur terhitung berjangka panjang dan lebih berisiko. Sektor perbankan akan menimbang risiko proyek seperti ini.
Dengan belum hadirnya bank infrastruktur di Indonesia, terbuka kesempatan bagi lembaga-lembaga pembiayaan, termasuk asuransi untuk berpartisipasi. Industri asuransi nasional pun harus berani meminta pemerintah membiayai infrastruktur. Salah satu tujuannya agar pembiayaan tidak jatuh ke perusahaan asing sebagai akibat dari pinjaman luar negeri pemerintah.
Mengapa? Pinjaman luar negeri bisa berujung pada tekanan negara kreditur agar memprioritaskan perusahaan asal negaranya dalam proyek pembangunan sehingga akhirnya menekan penggunaan konten lokal. Efek lanjutannya adalah biaya proyek akan lebih tinggi dan meningkatnya impor dari negara kreditur yang berujung pada defisit perdagangan.
Dalam menyikapi peluang pembiayaan dari lembaga keuangan asing, Indonesia harus selektif mengajukan dan menerima pembiayaan asing untuk proyek infrastruktur. Indonesia memang butuh pembiayaan dalam jumlah besar, tetapi tetap harus dipertimbangkan antara biaya yang didapat dan beban yang akan ditanggung.
Indonesia jangan hanya menjadi obyek pihak asing untuk melanggengkan tujuan besar mereka. Pemerintah harus memiliki posisi tawar yang baik. Semua kerja sama harus berdasarkan prinsip kesetaraan, keadilan, saling menguntungkan, tanpa intervensi dan eksploitasi.
AHMAD HERI FIRDAUS
PENELITI INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar