Dari ketiga pilar itu, kebijakan fiskal merupakan instrumen utama pemerintah dan dalam kuasa pemerintah secara penuh. Apabila pilar utama ini lemah, kepercayaan terhadap pemerintah untuk pengelolaan ekonomi akan lemah. Inilah barometer kepercayaan dunia usaha dan investor dalam menilai perekonomian suatu negara.
Mengapa kepercayaan terhadap pengelolaan fiskal sempat hilang?
Tahun 2015 (APBN-P 2015) target penerimaan pajak naik 30% (Rp 342 triliun) dibandingkan realisasi penerimaan tahun 2014 saat pertumbuhan ekonomi melambat 10%. Ini berlawanan dengan prinsip ekonomi dasar, yaitu fungsi fiskal sebagaiautomatic stabilizer. Di kala ekonomi melambat, yaitu penghasilan masyarakat atau perusahaan menurun, pajak penghasilan akan turun. Penurunan pajak penghasilan akan menaikkan pendapatan bruto yang berujung pada peningkatan daya beli yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Bagaimana mungkin penerimaan pajak PPH dan PPN naik 30% sementara keuntungan dan aktivitas ekonomi yang menjadi sumber PPH dan PPN hanya bertumbuh 10%? Mungkin, tetapi pemerintah harus menaikkan tarif PPh dan tarif PPN secara signifikan. Padahal, jika tarif pajak dinaikkan akan kontra produktif terhadap ekonomi yang melambat.
Akhir 2015 kita melihat angka penerimaan pajak jauh lebih rendah dari target, meleset Rp 249 triliun, atau hanya 83% dari target APBN-P. Tahun 2015 penerimaan ekstra dari praktik ijon sudah terjadi, baik PPH badan maupun cukai. Bahkan, beberapa perusahaan terpaksa meminjam dari bank untuk memenuhi permintaan ijon oleh DJP. Bukan tidak mungkin praktik ini dilakukan lagi tahun 2016 jika tidak ada rasionalisasi APBN-P 2016.
Ironisnya, transfer ke daerah meningkat signifikan sejalan dengan kenaikan target penerimaan. Saat terjadi kekurangan penerimaan pajak, transfer ke daerah tetap. Padahal, belanja pemerintah pusat dikurangi dalam jumlah besar.
Kita juga melihat defisit primer meningkat yang berarti pendapatan pemerintah tidak cukup untuk operasional. Akhirnya pemerintah menambah utang.
Kesalahan pembuatan APBN 2015 ternyata masih berlanjut 2016. Pada APBN-P 2016, target kenaikan penerimaan pajak masih 24% (Rp 300 triliun) dibandingkan realisasi 2015. Rumus dasarnya adalah target kenaikan pajak APBN-P 2016 masih jauh lebih tinggi daripada pertumbuhan nominal ekonomi. Kenyataannya, sampai paruh I-2016, realisasi penerimaan pajak baru mencapai 34% dari target 2016.
Kesalahan mendasar ini jika tidak dikoreksi akan menjadi sumber persoalan besar bagi perekonomian Indonesia, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Untuk itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengambil langkah drastis.
Ia mengakui, tahun 2014 penerimaan pajak di bawah target Rp 100 triliun. Tahun 2015 sebesar Rp 248 triliun. Penerimaan di bawah target ini sudah termasuk ijon PPH dan cukai. Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi 10%, Menkeu memperkirakan penerimaan pajak tahun ini di bawah target APBN-P 2016 (shortfall) Rp 219 triliun. Itu pun sudah memperhitungkan penerimaan tax amnesty Rp 165 triliun.
Dengan perhitungan sementara di atas, Menkeu baru memotong pengeluaran pemerintah Rp 132 triliun, terdiri dari pengeluaran pemerintah pusat Rp 65 triliun dan transfer ke daerah Rp 67 triliun. Dari perhitungan ini, secara implisit pemerintah memperkirakan realisasi belanja KL mencapai 90%.
Apabila penerimaan tax amnesty jauh dari target, ada dua kemungkinan yang dilakukan pemerintah: memotong lagi belanja pemerintah atau menambah utang hingga maksimum 3%. Kedua opsi ini harus diputuskan paling lambat awal Oktober begitu hasil tax amnesty dilihat jauh dari harapan. Jika tidak, pemerintah bisa kesulitan likuiditas.
Secara umum asumsi dasar lebih realistik. Pertumbuhan ekonomi 5,3%, suku bunga SPN 5,3%, inflasi 4%, nilai tukar Rp 13.300, lifting minyak 780.000 barrel per hari. Asumsi tersebut cukup masuk akal mengingat situasi perekonomian dunia yang belum kondusif.
Penerimaan pemerintah RAPBN 2017 adalah Rp 1.727,6 triliun, turun sedikit dibandingkan APBN-P 2016, Rp 1.784,2 triliun. Pengeluaran turun sedikit dari Rp 2.082,9 triliun pada APBN-P 2016, menjadi Rp 2.070,5 triliun pada RAPBN 2017.
Target penerimaan pajak tahun 2017 naik 10% dari proyeksi realistis penerimaan pajak tahun 2016. Penerimaan bukan pajak diasumsikan tidak berubah.
Dengan asumsi dasar dan penerimaan pajak yang lebih realistis, belanja pun lebih realistis karena dikunci dengan tambahan maksimum defisit 3% PDB sebagaimana amanat undang-undang.
Pemerintah merekomendasikan rasio defisit/PDB naik sedikit dari 2,35% PDB (Rp 299 triliun) pada APBN-P 2016 menjadi 2,41% PDB (Rp 333 triliun) pada RAPBN 2017. Secara postur RAPBN 2017 mengisyaratkan, apabila belanja pembangunan tetap meningkat, belanja rutin dan operasional harus lebih efisien dan lebih tajam prioritasnya. Namun, karena defisit primer masih ada, berarti penerimaan belum menutup belanja operasional.
Pemulihan kepercayaan
Apa kaitan RAPBN 2017 dengan pemulihan kepercayaan? Dari sisi belanja pemerintah, pada RAPBN 2017 tidak terjadi kenaikan signifikan, jauh di bawah kenaikan pada RAPBN 2015 dan RAPBN 2016. Namun, apabila dibandingkan proyeksi realisasi APBN 2016, masih ada ekspansi. Dengan angka APBN yang lebih realistis, diharapkan tak perlu terjadi penyesuaian dan pemotongan anggaran, dan tak perlu terjadi ijon sehingga kepercayaan terhadap pengelolaan APBN bisa pulih.
Dengan APBN yang lebih kredibel, dunia usaha tenang dan tak terganggu kemungkinan pemotongan anggaran, atau ijon pajak atau cukai. Ketidakpastian berkurang.
Kepastian dan kepercayaan adalah nilai yang paling berharga. Jika kepercayaan pulih, dunia usaha akan yakin berinvestasi dan berekspansi, yang selanjutnya menggerakkan ekonomi. Demikian pula investor luar negeri akan lebih percaya tentang kesinambungan kebijakan fiskal sehingga investasi dari luar negeri akan masuk.
RAPBN 2017 juga akan memaksa belanja kementerian, lembaga, dan daerah lebih efisien dan punya prioritas. Harapan kita tentu belanja pembangunan tidak terpengaruh, bahkan masih bisa naik, apabila ada penajaman dan prioritas.
Jelas sekali RAPBN 2017 akan menjadi titik balik pengelolaan fiskal yang lebih kredibel dan berkesinambungan.
Namun, reformasi APBN jangka menengah masih perlu dilakukan. Kerangka APBN jangka menengah dan panjang yang berkesinambungan perlu dibuat, kemudian menjadi rujukan APBN tahunan.
Reformasi perpajakan dan penerimaan pemerintah ini juga menyangkut perbaikan administrasi, sistem informasi, peningkatan kepatuhan, kapasitas audit, penyederhanaan tata cara pembayaran dan pelaporan pajak, penguatan kelembagaan, peningkatan kapasitas personel pajak, serta penyiapan KUP yang baru.
Reformasi belanja pemerintah juga perlu dilakukan menyangkut peningkatan efektivitas pengeluaran sosial (kesehatan, pendidikan, bantuan dana desa, dan lain lain), rasionalisasi subsidi minyak, pupuk, dan seterusnya. Tidak kalah penting adalah reformasi birokrasi dikaitkan dengan efisiensi dan efektivitas belanja rutin.
Usaha lain adalah mencari alternatif sumber pendanaan pemerintah dan negara untuk pembangunan serta restrukturisasi/pengelolaan secara produktif aset negara (termasuk BUMN). Termasuk program mobilisasi dana pembangunan dari dana pensiun, asuransi, ataupun yang di bawah bantal rumah tangga.
RAPBN 2017 memberikan harapan dan jadi titik balik pengelolaan fiskal kredibel, tetapi pekerjaan rumah masih banyak.
RADEN PARDEDEKETUA YAYASAN INDONESIA FORUM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar