Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 20 Agustus 2016

Memperkuat Otonomi (IRFAN RIDWAN MAKSUM)

Tantangan desentralisasi di Indonesia adalah soal kualitas layanan publik yang mampu disediakan negara apakah mencerminkan kepuasan dari masyarakat atau justru sebaliknya timbul permasalahan publik.

Munculnya sederet kasus lain di tengah-tengah diyakininya desentralisasi berbagai urusan pemerintahan ke daerah semakin besar, mulai dari vaksin palsu hingga persoalan tata ruang DKI terkait reklamasi, menimbulkan pertanyaan serius mengenai tata kelola kebijakan desentralisasi di Indonesia. Oleh karena itu layak dikaji.

Efektivitas otonomi

 Diskursus sepanjang abad ini meyakini hubungan pusat-daerah di berbagai negara seperti zero sum game, bahkan beberapa pakar menggambarkan polanya bak pendulum pergeseran antara sentralisasi dan desentralisasi. Dalam konteks tersebut, dapat dikatakan bahwa jika sentralisasi menguat, otonomi melemah atau sebaliknya.

Setali dengan keyakinan di atas, negara sendiri dapat efektif-apa pun kondisi hubungan pusat- daerahnya-jika tujuan-tujuan negara mampu diraih dengan baik. Dalam kondisi itu, dapat dikatakan negara kuat. Dengan demikian, semakin efektif dalam hubungan pusat-daerah, dapat dikatakan negara semakin menguat. Sebaliknya, jika tidak efektif, negara semakin melemah. Mengikuti pemikiran di atas, negara dapat lemah dalam kondisi hubungan pusat-daerah yang tidak efektif.

Dalam hubungan pusat-daerah yang tidak efektif, terdapat kemungkinan otonomi yang lemah ataupun yang kuat. Sementara itu, pola hubungan pusat- daerah ditentukan dua hal berikut: (1) besar-kecilnya urusan; dan (2) efektivitas tata kelola urusan tersebut. Dengan demikian, terdapat empat sel kemungkinan akibat pertemuan aspek negara dan otonomi akibat dari pola hubungan pusat-daerah, yakni (1) negara kuat, otonomi kuat; (2) negara kuat, otonomi lemah; (3) negara lemah, otonomi kuat; dan (4) negara lemah, otonomi lemah.

Dilihat dari jumlah urusan yang diserahkan ke daerah, baik menurut UU No 23/2014 maupun PP No 38/2007 merinci urusan yang dapat dikelola daerah yang tergolong besar, yakni lebih kurang 34 jenis. Amerika Serikat saja, sebagai negara demokratis terbesar di dunia, penyelenggaraan urusan yang diserahkan kepada daerah otonom di masing-masing negara bagian paling banyak sembilan urusan. Dengan demikian, di Indonesia, potensi kuat-tidaknya otonomi tinggal ditentukan efektivitas tata kelola urusan tersebut.

Namun, kasus vaksin palsu dan melemahnya berbagai sektor dapat dipastikan otonomi yang lemah terjadi dan jadi penanda lemahnya hubungan pusat-daerah di Indonesia, lebih khusus dalam pembagian urusan antarpemerintahan. Urusan tertentu didesentralisasikan, tetapi pemerintah pusat masih ikut ambil bagian dalam pendanaan melalui dana dekonsentrasi. Di samping itu, pemerintah pusat juga masih ambil bagian melalui dana tugas perbantuan meski dalam berbagai materi urusan yang didesentralisasikan. Dan, yang paling celaka, pemerintah pusat masih mengatur rincian tugas tersebut sampai detail sehingga daerah tidak mampu mengatur dirinya sendiri.

Selanjutnya, dalam urusan tertentu, terjadi pelibatan daerah yang sejatinya harus dilakukan aparatus pusat di daerah melalui instansi vertikal, tidak melalui tugas perbantuan. Instansi vertikal sangat terbatas di berbagai bidang yang sesungguhnya masih secara teknis operasional lebih masuk akal dikerjakan oleh pusat, yang dalam hal ini memang tanggung jawab pemerintah pusat.

Rekayasa sistematis

Pucuk dicinta ulam tiba, begitu kata pepatah. Elemen-elemen pusat ditolak keberadaannya di daerah sehingga instansi vertikal pun enggan didorong berdiri mendekati masyarakat. Padahal, sejumlah urusan itu merupakan tanggung jawab pusat.

Upaya desentralisasi pun menambah kompak kondisi tersebut. Daerah pun ternyata hanya menginginkan kucuran uang sehingga meski tidak ada instansi vertikal di bawah, kementerian/ lembaga di Jakarta masih memegang proyek-proyek lama tetap dibiarkan. Dengan dalih tak ada kaki-tangan di bawah, mereka mengajak daerah. Daerah pun senang menyambutnya, padahal menyalahi konsep pengembangan instrumen pemerintahan.

Maka, bangsa Indonesia tengah meyakini otonomi kuat tetapi sebenarnya lemah. Bahkan, ihwal tidak munculnya aparatus pusat di daerah telah menyebabkan terjadinya fenomena negara melemah. Kondisi tersebut harus diubah ke kondisi ideal, yakni negara menguat, otonomi kuat atau minimal dua sel yang lain.

Kondisi tersebut tidak dirasakan dengan jelas oleh masyarakat awam. Namun, dampaknya pelan tetapi pasti kelak akan dirasakan kemudian oleh masyarakat. Yang terjadi dapat membawa chaosdikarenakan negara lemah adalah negara yang tidak efektif meraih tujuan-tujuannya alias negara gagal.

Bangsa Indonesia harus sadar betul dalam meracik dan mengelola sistem dan instrumen pemerintahan dalam negara-bangsa ini secara teratur, tertib, dan berkelanjutan. Tak didasari oleh kepentingan-kepentingan sesaat yang bersifat sektoral dan terpragmentasi. Distribusi urusan antarpemerintahan harus dibuat secara rasional dan dikelola secara konsekuen dan komitmen yang tinggi di dalam menegakkannya. Semoga!

IRFAN RIDWAN MAKSUM

Guru Besar Tetap dan Ketua Program Pascasarjana, Fakultas Ilmu Administrasi-UI

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Agustus 2016, di halaman 6 dengan judul "Memperkuat Otonomi".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger