Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 27 Agustus 2016

Demokrasi Mereka (BONI HARGENS)

Kenapa selalu ada "kita-mereka" dalam politik?

Kalau Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) adalah simbol pilihan rakyat, lantas siapa mereka yang bergabung dalam "koalisi keluarga"? Demokrasi hanya mengenal "kita". Karena "kita" adalah rakyat. Istilah "kita" dan "mereka" sudah biasa dalam politik. Pendekatan konflik biasanya membelah entitas sosial atas dikotomi "kita-mereka".

Tulisan J Peter Scoblic (2008) berjudul "Amerika Versus Mereka" adalah kritik terhadap politik konservatif Amerika sejak separuh abad lalu yang telah mereduksi realitas global dalam dua kutub: Amerika dan "mereka" atau "yang sisanya" dalam istilah Fareed Zakaria (2008). Maka, bagi Zakaria, terorisme adalah sinyal kebangkitan "yang sisanya" itu. Dulu, pada zaman kolonial,  "kekitaan" dan "kemerekaan" itu betul-betul dirancang dengan sengaja oleh rezim kolonial untuk memberhasilkan politik devide et impera. Di masa pos kolonial, pembelahan sosial itu digunakan rezim anti demokratik untuk melanggengkan status quo.

Pada paruh kedua abad ke-20, bersamaan dengan meluasnya gelombang demokratisasi Huntingtonian, pendekatan konflik mulai ditinggalkan dan digantikan pendekatan integrasi. Ada keyakinan di kalangan agensi sosial dan politik bahwa kekitaan adalah syarat mutlak membangun komunitas bangsa dan dunia yang demokratis. Maka, membangun kekitaan adalah sebuah upaya sengaja yang menuntut kesadaran dari tiap komponen sosial dan politik untuk mewujudkan integrasi.

Dalam konteks ini, konsep imagined communities dari Benedict Anderson (1983) menjadi relevan. Sebagai seorang konstruktivis, Anderson tentu yakin bahwa bangsa adalah entitas yang dibangun dengan sadar. Mereka yang mengakui diri sebagai bagian darinya harus turut dan terus membayangkan diri sebagai satu bangsa yang utuh. Namun, apakah proses membangsa adalah sebuah gerak linear seperti dibayangkan Anderson?

Jajak pendapat yang dilakukan LitbangKompas, 3-5 Agustus 2016, memberi jawaban yang penting tentang ini.  Survei itu merekam pendapat publik tentang apa saja yang kurang dalam masyarakat kita. Hasilnya, 18,9 persen menyebut faktor ekonomi, 16,7 persen kepedulian terhadap sesama, 14,5 persen kesadaran berbuat baik, 12,7 persen toleransi, 5,6 persen semangat kebersatuan, 4,9 persen akhlak, etika, dan moral (Kompas, 8/8).  

Jajak pendapat tentu tak mengulas Anderson. Namun, (1) kondisi ekonomi, (2) kepedulian terhadap sesama, (3) kesadaran berbuat baik, (4) toleransi, dan (5) semangat kebersatuan contoh anasir penting, setidaknya dalam tafsiran saya,  yang harus dipenuhi dalam proses pembayangan-dengan asumsi Anderson berpikir dalam bingkai kartesian!

Tak ada bangsa yang bisa bertahan kalau ekonominya hancur, kalau semua orang di dalamnya tak saling peduli, kalau kebaikan jadi barang langka, atau semangat kebersatuan melemah. Sedihnya, itu semua terjadi dan mengancam masa depan keindonesiaan kita. Kenapa? Harian ini membuat sintesis yang menarik terkait jajak pendapat itu. Bahwa perilaku masyarakat yang buruk dipengaruhi teladan buruk pemimpin yang tak negarawan (Kompas, 9/8). Sintesis ini seakan mengajukan kritik terhadap Anderson bahwa membangsa bukan hanya urusan semua orang berimajinasi sebagai satu entitas, melainkan juga soal rekayasa sosial dan politik untuk mempertahankan imajinasi tersebut. Di titik itulah, kepemimpinan menjadi kriterium yang signifikan.

Dan persis pada kurik itu pula, saya menemukan kritik terhadap tesis Anderson. Kalau "membayangkan" diletakkan dalam kerangka kartesian (x, y) sebagai gerak linear pada garis lurus (+x), maka sebuah bangsa hanya bisa bertahan sejauh kemampuan tiap elemen di dalamnya untuk berimajinasi sebagai komunitas.

Dalam konteks Indonesia, Anderson lupa bahwa pada saat semua orang diasumsikan selalu membayangkan keindonesiaan yang tunggal, selalu ada fakta ini: (1) ada kelompok yang membayangkan diri sebagai "bukan Indonesia" atau sebagai "Indonesia yang lain" (separatis, fundamentalis, teroris, dan sebagainya), dan (2) ada praktik kepemimpinan politik yang melemahkan semangat untuk membayangkan diri sebagai bangsa.

Kalau dua fakta ini diletakkan dalam grafik kartesian, maka nilainya mesti minus (-x). Lantas, bobot keindonesiaan kita adalah selisih antara kekuatan imajinasi positif Andersonian (+x) dan zigma dua imajinasi negatif tadi (-x). Berpikir dengan cara ini, tampaknya keindonesiaan kita terancam.  Maka, dibutuhkan praksis politik yang sarat negarawan seperti ditegaskan Kompas(9/8).

"Koalisi keluarga" yang dirancang untuk menghadapi Pilkada DKI 2017 adalah bagian dari praksis politik yang dalam padanya, keindonesiaan kita pun dipertaruhkan. Kalau koalisi ini dibentuk hanya untuk melumpuhkan Ahok, maka demokrasi ini tengah melawan rakyatnya sendiri. Meraih elektabilitas tertinggi dalam berbagai jajak pendapat independen membantu kita mengerti bahwa Ahok memang pilihan rakyat.

"Rakyat" di sini bukan sekadar istilah dalam ensiklopedia politik. Rakyat adalah entitas tunggal yang mengacu pada yang empunya kekuasaan (demos). Demokrasi yang sesungguhnya adalah demokrasi rakyat. Maka, kalau ada yang berpolitik di luar kehendak kita sebagai rakyat, itu "demokrasi mereka" bukan "demokrasi kita".

 BONI HARGENS

Direktur Lembaga Pemilih Indonesia

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Agustus 2016, di halaman 6 dengan judul "Demokrasi Mereka".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger