Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 18 Agustus 2016

Harapan Guru//Keberagaman//Sehari Penuh (Surat Pembaca Kompas)

Harapan Guru

Tahun 2016 saya mengikuti sertifikasi guru dan sudah berusia 50 tahun lebih. Saya Golongan IVA, masa kerja lebih dari 20 tahun. SK CPNS saya 1 Desember 1994 dan saat ini mengajar di SMP Negeri 2 Ungaran.

Namun, harapan mendapatkan sertifikasi ternyata sia-sia karena ada aturan sertifikasi guru tahun 2016. Syaratnya adalah kualifikasi guru harus S-1. Mengapa sebelum tahun 2015, guru dengan kriteria seperti saya mendapat kesempatan ikut proses sertifikasi, kemudian tahun 2016 kebijakan itu dihilangkan?

Mungkin tidak hanya saya yang menjadi korban aturan baru ini, tetapi juga masih banyak guru di wilayah lain. Kualifikasi pendidikan saya adalah D-3.

Kepada Bapak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru, saya ingin bertanya apakah guru seperti saya ini memang dianggap tidak layak untuk ikut sertifikasi? Lalu, bagaimana nasib kami tanpa sertifikat?

Guru tentu saja butuh pengakuan keprofesionalan. Dengan memegang sertifikat pendidik, seorang guru juga punya kelayakan untuk mengajar. Jika tidak mendapat sertifikat pendidik karena hasil tes dalam proses sertifikasi jelek, saya dapat menerima dengan legawaAkan tetapi, jika hanya karena kualifikasi pendidikan belum S-1, saya merasa hal ini tidak adil.

Mohon Bapak Mendikbud menindaklanjuti masalah yang saya alami ini.

YOGO DWI WASONO

Jalan Karanganyar, Ungaran

Keberagaman

Pertama-tama, saya mengucapkan selamat kepada Prof Muhadjir Effendy, yang diangkat menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Selanjutnya, saya ingin berbagi soal perlindungan bagi siswa beragama Adven di lembaga pendidikan negeri.

Tahun 1988 saya mendapat pengalaman buruk ketika bersekolah di SMAN 1 Pandaan, Pasuruan. Saya dipaksa pindah sekolah karena agama, sekalipun agama Adven diakui negara. Ini karena aturan pemerintah menyatakan bahwa hari Sabtu adalah hari sekolah, terutama di sekolah negeri. Akibatnya, pelajar Adven harus memilih: menjalankan kewajiban agama atau mengikuti proses belajar.

Untuk itu, saya mohon petunjuk Bapak sebagai Menteri, agar praktik di lapangan berjalan sesuai Ketentuan Sisdiknas dan Hak Asasi Manusia yang tertuang dalam konstitusi. Sampai saat ini, Petunjuk Teknis Pemerintah Republik Indonesia melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah masih mengacu pada Surat Edaran Nomor 15338/CT 64, tertanggal 29 Oktober 1984.

Disebutkan apabila ada sekolah yang semua siswa, guru, kepala sekolah, tenaga tata usaha dan lain-lain adalah penganut agama Adven, pada Hari Sabtu kegiatan belajar-mengajar dapat ditiadakan dan diusahakan hari lain sebagai penggantinya.

Apabila pada satu sekolah hanya ada sebagian siswa/guru yang menjadi pemeluk agama Adven, untuk guru dapat diatur jadwal mengajarnya, sedangkan untuk siswa mengikuti jadwal yang berlaku.

Semoga kehadiran Bapak sebagai Mendikbud dapat mengefektifkan sistem pendidikan yang berketuhanan tanpa diskriminasi.

EKA SEMBIRING

Mahasiswa Program Doktor Universitas Muhammadiyah Malang, Angkatan 2011

Sehari Penuh

Ide, gagasan, wacana, full day schoolatau sekolah sehari penuh yang dilontarkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, perlu dipertimbangkan kembali.

Memang seperti kata Menteri, di sekolah sehari penuh ini nantinya tidak akan ada beban mata pelajaran, tetapi justru diberi kegiatan yang sifatnya kreatif. Daripada di rumah jenuh tidak ada kegiatan yang terarah.

Namun, di sisi lain, bisa juga anak-anak yang menjadi jenuh terlalu lama di sekolah. Belajar setengah hari saja rasanya sudah cukup menguras stamina.

Menurut saya, anak-anak perlu istirahat di rumah, bersantai dengan keluarga, dan tidur siang. Malamnya sebelum tidur belajar dan mengerjakan PR, agar esok kembali segar di sekolah.

Jika sekolah sehari penuh, kapan waktu bagi anak-anak ini bersosialisasi dengan teman-teman sebaya di kampung? Sosialisasi adalah fondasi untuk bekal hidup di masyarakat luas.

Saya setuju pendapat para pendidik dan kalangan DPR, yang menyarankan agar gagasan ini dikaji ulang dan didiskusikan, termasuk dengan melibatkan orangtua anak didik.

P HENDRANTO

Kampung Baru, Pesanggrahan, Jakarta Selatan

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Agustus 2016, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger