Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 19 Agustus 2016

Ketika Guru Harus Berhadapan dengan Hukum (RETNO LISTYARTI)

Belum selesai keterkejutan publik terhadap para guru yang dikriminalkan orangtua siswa karena dinilai telah melakukan kekerasan terhadap anak mereka, kini kita dikejutkan oleh kasus Dasrul. Guru Arsitektur di SMKN 2 Makassar, Sulawesi Selatan, yang dianiaya orangtua murid karena diduga menampar anaknya. Baik Dasrul maupun orangtua siswa yang menganiaya kemudian saling membuat pelaporan ke polisi.

 Banyaknya kasus guru yang "dikriminalkan" orangtua menunjukkan bahwa hubungan antara sekolah dan orangtua tidak harmonis. Ketidakharmonisan itu membuat sejumlah persoalan di sekolah sulit diselesaikan secara damai.

Kasus di Sidoarjo, Jawa Timur, yang menimpa Samhudi-guru olahraga di SMP Raden Rahmat, Balongbendo-yang telah divonis bersalah  dengan hukuman tiga bulan penjara oleh PN Sidoarjo; kasus di Bantaeng, Sulawesi Selatan, yang menimpa Nurmayani-guru Biologi SMP Negeri 1 Bantaeng-yang sempat masuk rumah tahanan karena mencubit muridnya; dan kasus di Makassar ini justru menambah lebar ketidakharmonisan hubungan antara sekolah dan orangtua siswa.

 Sejak lahirnya UU No 35/2014 tentang Perlindungan Anak (UU PA) dan diperkuat Permendikbud No 82/2015 tentang Sekolah yang Aman dan Nyaman, kekerasan di pendidikan dalam bentuk dan tujuan apa pun tidak diperkenankan lagi. Kita semua sepakat menolak segala bentuk kekerasan di pendidikan. Akan tetapi, melaporkan guru ke polisi, apalagi menganiaya guru, adalah tindakan berlebihan dan tak patut dilakukan orangtua siswa.

Guru juga harus memahami UU PA dan menyadari bahwa zaman sudah berubah. Kekerasan dalam bentuk dan tujuan apa pun dalam UU PA masuk dalam pelanggaran pidana. Makna kekerasan dalam UU PA itu luas, bahkan memaki pun termasuk kekerasan verbal.

Sejatinya, kalau anak tidak dapat  dididik  oleh guru meski pihak sekolah sudah melakukan pembinaan berkali-kali, gunakan mekanisme sesuai peraturan sekolah: kembalikan ke orangtuanya, bukan memukulnya, mencubitnya, menampar, menjewer, dan bentuk kekerasan lainnya.

Dasar hukum perlindungan

Dasar hukum perlindungan guru dan tenaga kependidikan di Indonesia terdapat dalam UU No 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Penjabaran pelaksanaan perlindungan hukum bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya telah dituangkan dalam PP No 38/1992 tentang Tenaga Kependidikan.

Di dalam peraturan pemerintah ini, perlindungan terhadap tenaga kependidikan dimaksud meliputi perlindungan untuk rasa aman, perlindungan terhadap pemutusan hubungan kerja, dan perlindungan terhadap keselamatan dan kesehatan kerja.

 Berkaitan dengan perlindungan guru, secara tegas dalam UU Sisdiknas terbaru (UU No 20/ 2003) pada Pasal 40 Ayat 1  Huruf d disebutkan"Pendidik dan tenaga kependidikan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan hak atas hasil kekayaan intelektual".  

Sejalan dengan itu, Pasal 39 Ayat 1 UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen menyatakan, "Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas."  Lebih lanjut, Pasal 40 Ayat 1 PP No 74/2008 tentang Guru menyebutkan, "Guru berhak mendapat perlindungan dalam melaksanakan tugas dalam bentuk rasa aman dan jaminan keselamatan dari pemerintah, pemerintah daerah, satuan pendidikan, organisasi profesi guru, dan/atau masyarakat sesuai dengan kewenangan masing-masing."

Semua ketentuan dalam peraturan perundangan tersebut dengan gamblang memberikan perlindungan terhadap keprofesian guru saat menjalankan tugas pokok dan fungsi (tupoksi)-nya. Namun, dua tahun terakhir ini, banyak guru mengalami kriminalisasi.  Sejumlah guru yang mengalami kriminalisasi di antaranya Nurmayani, guru Biologi SMP Negeri 1 Bantaeng, dibui di Rumah Tahanan Klas II Bantaeng karena diduga melakukan tindak kekerasan dengan mencubit siswanya. Juga kasus Samhudi,   guru Olahraga di SMP Raden Rahmat, Balongbendo. Ratusan guru PGRI Jawa Timur berunjuk rasa di pengadilan, meminta pihak pengadilan membatalkan sidang dan hukuman yang menjerat Samhudi karena kasus dugaan penganiayaan dengan mencubit siswanya lantaran siswa tak ikut agenda shalat Duha dan ketahuan sedang bermain di sungai.

Ada juga kasus Purnawan, guru SDN di Purbalingga, Jawa Tengah, yang saat ini kasusnya sedang bergulir di PN Purbalingga. Purnawan disangka melakukan kekerasan kepada siswanya saat sedang melakukan kegiatan kerja bakti di sekolah, yaitu kakinya mengenai perut seorang siswa saat sedang menginjak-injak sampah di tempat pembuangan sampah sekolah. Meski tidak memiliki luka berarti dan tidak pula disengaja, orangtua siswa tetap melapor ke polisi, padahal mereka ternyata bertetangga.  Pemberitaan kasus ini hanya di koran lokal Purbalingga.

Kasus teranyar adalah Dasrul, guru Arsitektur yang mengusir siswa dari kelasnya karena yang bersangkutan tidak membawa alat gambar. Siswa sempat mengeluarkan kata-kata kasar dan menendang pintu kelas, dan sang guru kemudian diduga menamparnya. Tidak terima perlakuan gurunya, si anak kemudian menelepon orangtuanya. Satu jam kemudian, orangtua si anak datang ke sekolah, menemui si guru, dan terjadilah penganiayaan terhadap guru yang dilakukan orangtua dan anaknya.

Mendekatkan orangtua

dengan sekolah

Orangtua siswa mengkriminalkan guru seharusnya tidak terjadi andaikan hubungan di antara keduanya berjalan baik dan harmonis. Untuk itu diperlukan langkah-langkah berikut:

Pertama, sekolah harus membangun hubungan baik dengan orangtua siswa terkait perkembangan anaknya, bisa melalui kelas-kelas parenting. Orangtua sudah seharusnya terlibat aktif dalam pendidikan anak-anak mereka karena sekolah adalah rumah kedua seorang anak, bukan tempat penitipan anak.

Gerakan mengantar anak pada hari pertama sekolah  patut diapresiasi, tapi  jangan hanya simbolis belaka. Jika orangtua tidak pernah hadir menemani belajar anaknya sepulang sekolah, tidak pernah berkomunikasi dengan wali kelasnya untuk menanyakan perkembangan dan permasalahan anaknya, dan sebagainya, bagaimana gerakan mengantar anak ke sekolah akan bermakna bagi proses perkembangannya.  Di masa sekarang ini , banyak orangtua yang anaknya dititipkan kepada sekolah, asisten rumah tangga, dan media sosial. Artinya, jangan hanya simbolis yang nihil makna, seolah-olah satu hari menuntaskan kewajiban orangtua kepada anaknya. 

Kedua, setelah anak diantar, orangtua sekalian berkenalan dengan guru kelas atau wali kelas anaknya, akan sarat makna jika seminggu setelah itu sekolah menyelenggarakan parent info day, yaitu orangtua dikumpulkan dan diberi penjelasan tentang program, kebijakan, dan kurikulum sekolah selama tahun ajaran tersebut.

Dengan demikian, diharapkan orangtua akan lebih terlibat aktif dalam pendidikan dan pengasuhan anak-anak mereka sehingga tercipta sinergi yang baik antara orangtua dan sekolah. Acara bisa terbagi dua: penjelasan umum program sekolah oleh kepala sekolah di aula, selanjutnya, para orangtua bersama wali kelas  menuju kelas anaknya untuk mendapatkan penjelasan manajemen kelas dan pola pengasuhan peserta didik.

Ketiga, guru dan orangtua harus memahami UU PA. Selain itu, guru juga harus paham UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Semua UU itu harus disosialisasi dan didesiminasi oleh dinas-dinas pendidikan dan kementerian terkait (baca: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian PA dan Perempuan) serta KPAI.

Upaya-upaya membangun harmoni orangtua dengan pihak sekolah diharapkan dapat menghilangkan kriminalisasi terhadap guru karena  sejatinya penyelesaian melalui jalur hukum merupakan langkah terakhir setelah semua dialog dan mediasi menemui jalan buntu. Mengapa kita tidak mengedepankan dialog di "Meja Coklat" ketimbang berseteru di "Meja Hijau"? Guru yang terbukti melakukan kesalahan dapat dibina dan dihukum secara kepegawaian oleh atasannya serta organisasi profesi yang menaunginya sesuai aturan perundangan yang berlaku di negeri ini.

Banyak isu strategis yang dapat dikembangkan menjadi terobosan bersama antarlembaga pemerintah dalam menangani persoalan hukum yang dihadapi oleh para guru dan tenaga kependidikan. Setidaknya ada lembaga- lembaga yang dapat saling menguatkan, mengevaluasi, dan membangun karakter dunia Kependidikan kita secara komprehensif. Sebutlah di antaranya Komnas HAM, KPAI, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Asosiasi Profesi Guru, dan Kementerian Pendidikan, di mana publik sering membenturkan antara aturan-aturan hukum yang dianggap tumpang tindih antarlembaga sehingga justru banyak merugikan berbagai pihak.

Kita semua menginginkan terjadinya sinergitas dalam penegakan hukum pada dunia pendidikan, terutama yang menyangkut upaya pelindungan keprofesian guru.

RETNO LISTYARTI

Praktisi Pendidikan dan Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 Agustus 2016, di halaman 6 dengan judul "Ketika Guru Harus Berhadapan dengan Hukum".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger