Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 06 Agustus 2016

Lukisan Diponegoro//Tiket Hangus (Surat Pembaca Kompas)

Lukisan Diponegoro

Sungguh bahagia hati saya saat Istana Negara mulai memamerkan karya seni koleksinya. Memang belum bisa dipamerkan semuanya mengingat ribuan jumlahnya, namun sangat diharapkan pilihan diutamakan pada karya yang memiliki muatan sejarah. Dengan demikian, pameran semakin memperkaya nilai kultural bangsa.

Salah satu lukisan yang bersejarah adalah "Penangkapan Pangeran Diponegoro", yang semula tersimpan di Museum Volkenkunde Leiden, Belanda. Reproduksinya ada di Museum Sejarah Jakarta atau Museum Fatahillah. Lukisan ini merupakan karya pelukis Raden Saleh, dibuat tahun 1857.

Tahun 1976, saya selaku Pj Kepala Seksi Seni Rupa Museum Sejarah Jakarta dan Rahmat Ali selaku Direktur Museum mengajukan surat permohonan kepada Duta Besar Belanda di Jakarta. Meminta kiranya karya Raden Saleh, "Penangkapan Pangeran Diponegoro", bisa dikembalikan ke Indonesia untuk menggantikan reproduksi yang dipajang di Ruang Diponegoro museum di atas. Alasan penting lainnya, Pangeran Diponegoro waktu itu disekap di Stadhuis van Batavia, yang kini adalah Museum Sejarah Jakarta.

Atas keinginan kami, para ahli museum dari Belanda meneliti sistem penyimpanan koleksi di Museum Sejarah Jakarta, apakah sudah memadai atau belum. Para ahli tersebut, antara lain Stanley Bremen, Pieter Ter Keurs, dan Van Wieringen, menegarai bahwa Museum Sejarah Jakarta sudah mampu menyimpan lukisan kuno dengan sistem yang benar secara museologis.

Tata caranya sama dengan pengembalian patung batu "Pradnya Paramita" (Ken Dedes) dari Kerajaan Singasari abad ke-9, yang kini menjadi kebanggaan Museum Nasional. Juga koleksi "Wayang Revolusi", yang dahulu atas prakarsa saya, bisa kembali ke Indonesia dan menjadi koleksi Museum Wayang.

Kembali pada koleksi lukisan "Penangkapan Diponegoro", diplomasi pemulangannya berlangsunggovernment to government (G to G), ditangani oleh pemerintah pusat di Jakarta dan diwakili oleh Kementerian Pendidikan dan Pariwisata, pada waktu itu Menteri Pariwisata Joop Ave.

Dari diplomasi tersebut, lukisan "Penangkapan Pangeran Diponegoro" mulus kembali ke Indonesia dan kini menjadi koleksi Istana Negara. Museum Sejarah Jakarta selaku pengusul tetap hanya memasang reproduksinya di Ruang Diponegoro. Ruang itu terletak di lantai II museum, tempat Sang Pangeran pernah disekap oleh Belanda.

SRI WARSO WAHONO

Kemanggisan Indah III RT 006 RW 001, Jakarta 11480

Tiket Hangus

Senin, 25 Juli 2016, ibu saya Ny Masiyati (72), dalam keadaan sakit naik pesawat Garuda GA-7307 rute Jember-Surabaya. Ia didampingi keponakan saya, Andhita Selasari (27).

Seharusnya boarding pukul 10.00, tetapi pesawat datang terlambat karena alasan operasional. Akhirnya, boarding baru berlangsung pukul 11.15.

Kira-kira lima menit sebelum mendarat, ada pengumuman pesawat akan mendarat di Surabaya, tetapi ternyata tidak jadi. Pesawat berputar-putar lagi sekitar 20 menit lalu ada pengumuman Pesawat GA-7307 akan mendarat di Bandara Ngurah Rai, Denpasar. Penumpang diminta tetap di pesawat karena ada pengisian bahan bakar. Anehnya, 4-5 penumpang turun.

Ibu dan keponakan khawatir tidak bisa mengejar pesawat lanjutan Citilink QG-180 dari Surabaya-Jakarta pukul 13.50. Sampai pukul 13.15, pesawat masih di Bandara Ngurah Rai. Akhirnya, pesawat mendarat di Terminal 2 Bandara Juanda pukul 14.30. Diumumkan bahwa keterlambatan terjadi karena ada penerbangan VIP.

Di Bandara Juanda tidak ada petugas Garuda yang membantu atau bertanya apakah ada penumpang yang akan melanjutkan perjalanan dengan penerbangan berikutnya. Petugas layanan pelanggan Garuda hanya menjelaskan bahwa tiket hangus karena keterlambatan yang terkait maskapai penerbangan lain bukan masalah Garuda. Faktanya, keterlambatan terjadi pada penerbangan pesawat Garuda.

Beberapa penumpang, termasuk ibu dan keponakan saya, diminta mengurus sendiri dengan pihak Citilink di Terminal 1 Bandara Juanda. Mengingat kondisi kesehatan ibu, akhirnya kami beli tiket Batik Air ID-6579 rute Surabaya–Jakarta,boarding pukul 17.00 dengan harga tertinggi.

BAMBANG EKO

Jalan Mokosuli, Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 6 Agustus 2016, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger