Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 06 Agustus 2016

Pola Mutasi Perwira TNI (EVAN A LAKSMANA)

Mengikuti Buku Putih Pertahanan yang diluncurkan Mei lalu, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengusulkan perlunya badan intelijen pertahanan.

Selain itu, Kementerian Pertahanan (Kemhan) belakangan juga berencana mengambil alih fungsi penugasan atase pertahanan dan mendirikan kantor wilayah atau perwakilan di sejumlah daerah di Indonesia. Ada dugaan, salah satu logika di balik wacana ini adalah "mandeknya" gerbong promosi perwira TNI beberapa tahun belakangan.

Penelitian yang tengah dilakukan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) mengungkapkan beberapa pola mutasi perwira tinggi (pati) TNI selama satu dekade terakhir. Pertama, secara umum, dalam kurun 2005-2015, sebanyak 3.956 pati mutasi 135 kali. Meskipun ini artinya rata-rata sekitar 360 pati dimutasi per tahun, lompatan besar sebenarnya terjadi setelah era kedua Presiden SBY: dari 177 pati per tahun (2004-2009) hingga 511 pati per tahun (2010-2015).

Kedua, dari hampir 4.000 pati yang dimutasi tersebut, hanya 752 pati yang dipensiunkan dan 883 mengalami mutasi dua kali atau lebih dalam satu tahun. Artinya, pergerakan gerbong mutasi lebih cenderung bersifat lateral daripada vertikal.

Tepatnya, dalam kurun 11 tahun-dari 2005-2015-kenaikan pangkat atau jabatan (vertikal) hanya 34 persen. Lebih dari setengah (52 persen) mutasi bersifat horizontal: mutasi jabatan dengan pangkat yang kurang lebih setara atau jabatan diisi dengan pati dari angkatan kelulusan akademi yang sama.

Ketiga, mayoritas yang dimutasi pati AD (51%), diikuti AL (27%) dan AU (22%). Lebih jauh, dari total 7.121 jabatan atau pos yang terpengaruh mutasi dalam periode 2005-2015, hampir setengah terkait dengan Mabes TNI dan fungsi Angkatan Darat (Kostrad, Kopassus, Territorial, dan Mabes AD) serta pendidikan dan pelatihan.

Selain itu, gerbong mutasi juga menyentuh lembaga negara dan kementerian lain selain organisasi TNI. Sebanyak 1.121 pati dimutasi dari atau menuju ke Kemhan, Kemenko Polhukam, BIN, Basarnas, Bakorkamla, Sekretariat Negara, serta beberapa kementerian dan lembaga negara lain.

Secara struktural, percepatan gerbong mutasi setelah 2009 bukan semata-mata terkait politik hubungan sipil-militer menjelang berakhirnya kepresidenan SBY. Tekanan struktural akibat membeludaknya perwira lulusan akademi militer (Akmil, AAL, dan AAU) tahun 1987 dan 1988 (masing-masing 439 dan 864 perwira) juga jadi faktor penentu. Padahal, sejak angkatan 1973 (termasuk di dalamnya Presiden SBY), ketiga akademi militer itu hanya meluluskan rata-rata 266 perwira per tahun hingga 1986.

Jadi, jika kita asumsikan jenjang karier perwira dari akademi hingga pensiun hanya 35-37 tahun, dan posisi strategis di dalam TNI makin mengerucut pasca reformasi, maka gerbong promosi perwira angkatan 1987 dan 1988 akan tersumbat pada tahun 2000-an. Dalam hal ini, akselerasi gerbong mutasi di era Presiden SBY diharapkan dapat memberi ruang jabatan dan pangkat untuk mengurangi kemungkinan terjadinya penyumbatan tersebut.

Namun, nyatanya, hingga 2016 hanya tercatat kurang dari dua lusin pati dari angkatan 1987 yang mendapat bintang pertamanya baru pada tahun 2013. Jumlah jenderal dari angkatan 1988 lebih sedikit lagi. Artinya, pada tahun 2016 masih banyak perwira dari kedua angkatan tersebut yang masih menjabat letnan kolonel (letkol) dan kolonel setelah sekitar tiga dekade mengabdi dan masih punya waktu lebih kurang 5-6 tahun lagi hingga wajib pensiun di usia 58 tahun. Sebaliknya, masih banyak jenderal dari angkatan 1982-1986 yang baru pensiun pada tahun 2018-2020, termasuk di dalamnya Panglima TNI sekarang.

Hal ini menunjukkan proses regenerasi korps perwira belum berjalan efektif, efisien, dan tepat guna. Penyumbatan promosi TNI ini, terutama bagi perwira angkatan 1987 dan 1988, masih terjadi juga karena selama satu dekade terakhir mayoritas mutasi bersifat lateral dan minimnya jumlah perwira yang pensiun.

Selain mandeknya gerbong promosi pati, minimnya transparansi kebijakan personel dan mutasi di tubuh TNI sendiri memperparah ketidakpastian proses validasi organisasi yang sudah berlangsung sejak era Presiden SBY dan ketidakjelasan proses transformasi pertahanan. Akibatnya, tidak heran jika pati yang dimutasikan melalui berbagai instansi di luar TNI makin meningkat. Tidak mengherankan juga jika muncul wacana menambah jabatan militer baru, termasuk melalui "perpanjangan tangan" Kemhan atau perluasan komando teritorial.

Di tengah makin memanasnya lingkungan strategis Indonesia, terutama terkait kebangkitan militer Tiongkok dan sengketa Laut Tiongkok Selatan, para pembuat dan pemangku kebijakan pertahanan perlu memikirkan proses perombakan kebijakan personel TNI secara lebih sistematis dan strategis. Apalagi sejarah militer Indonesia menunjukkan bahwa minimnya pelembagaan, profesionalisme, dan transparansi internal kebijakan personel ABRI/ TNI sering kali berdampak negatif pada kesatuan organisasi dan hubungan sipil-militer.

EVAN A LAKSMANA

Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Indonesia

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 6 Agustus 2016, di halaman 6 dengan judul "Pola Mutasi Perwira TNI".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger