Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 06 Agustus 2016

Pekerjaan Rumah Mendikbud (DONI KOESOEMA A)

Jabatan menteri pendidikan dan kebudayaan apabila diibaratkan adalah seperti pelari estafet. Ia bisa berganti, tetapi tongkat estafet harus terus melaju dengan pelari baru. Di ujung arena, tiga pekerjaan rumah besar telah menanti.

Tiga persoalan besar yang menjadi tantangan mendikbud baru adalah persoalan akses, kualitas pendidikan, dan pembentukan karakter bangsa.

Janji kampanye

Akses pendidikan, terutama Wajib Belajar 12 Tahun, adalah janji kampanye Presiden Jokowi. Mendikbud lama, Anies Baswedan, telah mengadakan banyak dialog dan diskusi dengan publik serta membuat pemetaan analisis dan mencari strategi bagaimana meningkatkan akses pendidikan sampai usia 12 tahun.  Namun, pendalaman persoalan dan pilihan strategis tentang hal ini belum disikapi lebih lanjut.

Ada beberapa persoalan terkait Wajib Belajar 12 Tahun yang masih menjadi pekerjaan rumah. Pertama, persoalan aturan hukum. Publik pernah mengajukan uji materi atas Pasal 6 Ayat 1 UU Sisdiknas Tahun 2003. Hasilnya, Mahkamah Konstitusi menolak tuntutan pemohon dan menyatakan bahwa hal terkait penentuan usia wajib belajar adalah wewenang pembuat hukum. Karena itu, kunci penting kebijakan Wajib Belajar 12 Tahun sekarang ada di pemerintah dan legislatif.

Tanpa mengubah UU Sisdiknas 2003 tentang usia wajib belajar, realisasi kebijakan Wajib Belajar 12 Tahun hanya akan menjadi kampanye kosong. Peraturan Pemerintah (PP) No 47/2008 tentang Wajib  Belajar juga hanya menjadi macan ompong karena PP ini tak mengikat.

Kedua, terkait kemampuan anggaran pemerintah menyediakan infrastruktur sekolah yang dibutuhkan untuk Wajib Belajar 12 Tahun. Sampai saat ini saja masih ada sekitar 10.000 desa yang tidak memiliki sekolah. Sementara wajib belajar mengandaikan ada sekolah menengah untuk menampung siswa sekolah menengah pertama dan ketersediaan guru mencukupi.

Anies Baswedan pernah membuat semacam proyeksi biaya yang dibutuhkan untuk penyediaan infrastruktur sampai tahun 2020 dan ini perlu anggaran sekitar Rp 69 triliun (sekitar 15 triliun per tahun) hanya untuk penyediaan infrastruktur. Anggaran dari mana? Tahun ini saja Kemdikbud justru harus menghemat Rp 6 triliun karena kegagalan target perolehan pajak. Mendikbud perlu berpikir, dari mana memenuhi dana untuk penyediaan infrastruktur ini?

Ketiga, riset tentang out of school children, misalnya, menyatakan bahwa persoalan angka putus sekolah ternyata bervariasi di setiap daerah. Ada yang karena alasan budaya, ada yang karena alasan ekonomis, tetapi ada juga yang karena alasan infrastruktur, jarak antara rumah dan sekolah jauh, serta tidak ada sarana transportasi yang memadai. Karena itu, kalau toh semua infrastruktur telah terpenuhi, tak ada jaminan bahwa anak yang putus sekolah akan dengan mudah kembali ke sekolah.

Keempat, hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. PP tentang wajib belajar tak efektif karena pemerintah daerah memiliki otonomi tersendiri dalam mengelola pendidikan. Beberapa daerah yang memiliki perda tentang wajib belajar ternyata juga tidak efektif, bahkan malah menurunkan kualitas pendidikan, karena peraturan daerah tentang wajib belajar lebih banyak sekadar menjadi jualan politik menjelang pemilihan. Adanya perda tentang wajib belajar tidak menjadi jaminan keberhasilan pendidikan.

 Kelima, Kartu Indonesia Pintar (KIP). KIP tak dapat menjamin terpenuhinya hak pendidikan warga negara karena angka putus sekolah terjadi bukan karena masalah ekonomi, melainkan ada masalah sosial, budaya, dan infrastruktur. Bagaimana mendikbud baru mengefektifkan KIP bagi terbukanya akses pendidikan bermutu bagi warga negara yang kurang beruntung secara ekonomi, sosial, dan budaya?

Kualitas pendidikan

 Mendikbud baru juga memiliki pekerjaan rumah untuk meningkatkan kualitas pendidikan melalui program pengembangan profesional guru yang berkelanjutan, revisi kurikulum yang belum tuntas, termasuk kebijakan tentang evaluasi dan penilaian, seperti ujian nasional yang selalu menimbulkan polemik.

Guru adalah kunci peningkatan kualitas pendidikan. Sampai sekarang belum terlihat dengan jelas bagaimana strategi pemerintah dalam meningkatkan kualitas guru selain dengan melakukan pendekatan yang bersifat teknis-linear, seperti melakukan uji kompetensi guru. Selain itu, sertifikasi selalu bermasalah dan menuai ketidakadilan karena aturan-aturan yang justru mengurangi hak guru yang sudah melaksanakan kewajibannya.

 Kemdikbud era Anies Baswedan telah berusaha sekuat tenaga merevisi Kurikulum 2013 melalui berbagai macam cara. Namun, proses dan niat baik yang sudah dilakukan belum membuahkan hasil memuaskan. Kompetensi dasar untuk kompetensi inti spiritual pada mata pelajaran PKn masih terdengar lucu dan menggelikan. Revisi sudah memperbaiki struktur kompetensi inti dan kompetensi dasar dan cara penilaian.

Namun, standar isi dan proses tidak berubah. Permendikbud baru tentang revisi kurikulum memang sudah ada yang baru, tetapi isinya ternyata sama dengan permendikbud lama yang dinonaktifkan. Permendikbud No 21 dan No 22 Tahun 2016 isinya sama dengan Permendikbud No 64 dan No 65 Tahun 2013. Di mana revisinya kalau demikian?

Ujian nasional, meskipun telah dilepaskan sebagai syarat kelulusan, masih dipasung dengan tujuan melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi sehingga tetap memiliki rasa high stakes testing. Lebih dari itu, kebijakan penentuan nilai kriteria ketuntasan minimal (KKM) yang salah kaprah telah mendorong sekolah menginflasi nilai melalui jor-joran KKM agar siswa sekolah mereka dengan mudah tanpa tes lolos ke perguruan tinggi negeri yang kuotanya masih sangat tinggi, yaitu 40 persen. Sistem ini perlu segera dievaluasi mendikbud yang baru berkolaborasi dengan menristek dikti agar tidak semakin merugikan pendidikan tinggi di masa depan.

Pendidikan karakter

Isu tentang nasionalisme dan kebangsaan telah mendorong Mendikbud Anies Baswedan mengeluarkan Permendikbud tentang Penumbuhan Budi Pekerti dan mendorong gerakan publik terlibat dalam peningkatan kualitas pendidikan, seperti gerakan hari pertama orangtua mengantar anak masuk sekolah, masa perkenalan lingkungan sekolah yang anti kekerasan, serta mendorong gerakan membaca 15 menit untuk memperkaya wawasan dan menumbuhkan minat baca anak Indonesia.

Isu kebangsaan menjadi pokok persoalan pendidikan kita mengingat sejak tahun 2010 Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) telah menengarai bahwa gerakan radikalisme anti NKRI telah merasuki sekolah-sekolah menengah kita. Mendikbud baru memiliki tugas berat untuk mengembalikan semangat dan roh keragaman di sekolah negeri sebagai penebar benih persatuan dan kebinekaan.

Bangsa kita mudah tercabik dengan isu-isu sektarian keagamaan yang telah menelan banyak korban dan merugikan kekokohan kita sebagai sebuah bangsa yang berdaulat dan bermartabat. Pendidikan karakter yang memperkokoh nilai-nilai moral di kalangan pendidik, siswa, dan para pemangku kepentingan pendidikan kiranya menjadi agenda yang tidak boleh dilewatkan mendikbud baru.

Akses, kualitas, dan pembentukan karakter merupakan tiga pekerjaan rumah besar yang perlu segera ditindaklanjuti mendikbud baru. Estafet telah diberikan. Hal baik yang telah dimulai Anies Baswedan perlu dilanjutkan oleh mendikbud baru. Pekerjaan rumah yang masih tersisa perlu segera diselesaikan dengan kejernihan hati dan visi demi masa depan negeri.

Selamat mengerjakan pekerjaan rumah Mendikbud Muhadjir Effendy.

 DONI KOESOEMA A

Pemerhati Pendidikan, Pengajar di Universitas Multimedia Nusantara, Serpong

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 6 Agustus 2016, di halaman 6 dengan judul "Pekerjaan Rumah Mendikbud".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger