Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 06 Agustus 2016

Transformasi Sikap Tiongkok (YEREMIA LALISANG)

Pertemuan para menteri luar negeri negara anggota ASEAN yang berlangsung minggu lalu sedikit meredakan ketegangan seusai terbitnya putusan Mahkamah Arbitrase Permanen terkait gugatan Filipina atas klaim Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan.  

ASEAN mendapat pujian karena berhasil menghasilkan sebuah pernyataan bersama. Beijing menyampaikan komitmennya pada perdamaian dan stabilitas Asia Tenggara. Manuver diplomatik Amerika Serikat pun berkontribusi positif. Dalam lawatannya ke Manila, Menteri Luar Negeri AS John Kerry mendorong Pemerintah Filipina memulai pembicaraan bilateral dengan Pemerintah Tiongkok.

Menarik mempertanyakan apakah situasi demikian hanya merupakan masa peralihan yang sifatnya sementara? Langkah lanjutan apa yang akan diambil Tiongkok? Bagaimana negara-negara di kawasan, termasuk Indonesia, dapat berperan mempertahankan stabilitas kawasan?

Persepsi para pengambil kebijakan luar negeri terhadap situasi lingkungan internasional memainkan peran penting dalam membentuk perilaku negara tersebut. Paling tidak, terdapat dua kemungkinan model persepsi para pemimpin di Beijing yang dapat berkontribusi pada suatu keputusan untuk menggunakan kekuatan militer dalam sengketa.

Pertama, Tiongkok, yang lebih kuat, memandang negara-negara di kawasan bukan hanya lebih lemah, juga terpecah-belah. Organisasi regional dipandang tidak berfungsi dengan baik dalam mengoordinasi respons terhadap Tiongkok. Selain itu, terjadi penurunan signifikan dari pengaruh negara-negara besar lain di kawasan. Negara-negara tersebut tak memberikan dukungan pada negara-negara di kawasan. Situasi ini, dengan demikian, perlu dimanfaatkan. Kekuatan militer dipergunakan untuk segera mengubah status-quo kawasan. Hal itu dinilai mampu memberi keuntungan maksimum pada usaha Tiongkok melayani kepentingan nasionalnya terkait sengketa di Laut Tiongkok Selatan.

Dalam model kedua, Beijing memandang negara-negara di kawasan berhasil menyatukan suara. Mereka juga mendapat sokongan signifikan dari negara besar lainnya. Hal ini dianggap sebagai ancaman terhadap posisi dan pengaruh Tiongkok di kawasan. Dengan demikian, kekuatan bersenjata digunakan sebagai usaha mencegah Tiongkok kehilangan posisi dan pengaruhnya lebih jauh di kawasan.

Respons kawasan

Apakah salah satu model persepsi di atas menggambarkan secara tepat dinamika terkini di Tiongkok? Jika benar demikian, kita dapat mengambil kesimpulan: kemungkinan besar Tiongkok, pada akhirnya, akan menggunakan kekuatan bersenjatanya dalam merespons sengketa di Laut Tiongkok Selatan. Beijing dapat dipahami hanya sedang mengulur waktu dengan memanfaatkan sedikit meredanya ketegangan.

Kesimpulan ini jelas dapat diperdebatkan. Para ahli Tiongkok, pengamat hubungan internasional, dan para pembuat kebijakan luar negeri dapat menyampaikan argumen baik yang menolak atau mendukung kesimpulan ini. Di tengah ketiadaan kesatuan argumen, diplomasi lebih baik diarahkan untuk mentransformasi perilaku Tiongkok. Tindakan ini dibutuhkan sehingga komitmen Tiongkok pada stabilitas dan perdamaian di kawasan menjadi semakin kuat. Sinyal dan pesan yang tepat, dengan demikian, harus dikirimkan ke Tiongkok.

Model persepsi yang pertama menyarankan bahwa kredibilitas negara-negara di kawasan harus ditonjolkan. Asia Tenggara tidak boleh terlihat terpecah-belah dan memiliki peranan yang tidak relevan dalam penyelesaian sengketa. Dalam hal ini, langkah diplomatik yang diambil Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi dalam pertemuan para menteri luar negeri negara anggota ASEAN sudah sangat tepat.

Namun, sebagaimana model kedua, harus dipastikan bahwa ASEAN yang mampu mempertahankan persatuannya bukanlah ancaman bagi Tiongkok. Sinyal yang jelas perlu disampaikan pada Beijing bahwa hubungan Tiongkok-ASEAN menghadirkan lebih banyak kesempatan untuk bekerja sama sehingga menguntungkan tiap pihak. ASEAN yang bersatu harus mampu menunjukkan ia bukanlah alat dari negara-negara besar lainnya untuk menekan atau mengesampingkan Tiongkok.

Beijing harus didorong untuk yakin bahwa penyelesaian sengketa secara damai, terutama dalam kerangka ASEAN-Tiongkok, adalah solusi terbaik. Keyakinan itu makin diperlukan mengingat putusan Mahkamah Arbitrase Permanen sama sekali tak menguntungkan Tiongkok. Putusan mahkamah juga dipandang memojokkan Tiongkok sebagai pihak yang dipandang kalah telak.

Namun, terdapat batasan dalam tindakan-tindakan ini, yaitu apakah Beijing bersedia merespons positif usaha tersebut. Pada akhirnya, Beijing yang menginterpretasikan pesan yang dikirim oleh negara-negara di kawasan.

Dengan demikian, komunikasi dan interaksi perlu terus-menerus dijalin demi menjamin pesan terkirim dan diinterpretasikan sesuai dengan maksudnya. Kesempatan ini dapat digunakan Indonesia untuk meningkatkan peran strategisnya di kawasan, sekaligus menunjukkan komitmen yang tidak berubah terhadap perdamaian dan stabilitas Asia Tenggara.

Selain itu, dalam konteks inilah Indonesia dan Tiongkok dapat mewujudnyatakan kesepakatan bersama dalam meningkatkan kemitraan strategis keduanya menjadi "Kemitraan Strategis Komprehensif" sejak 2013. Stabilitas kawasan dibutuhkan keduanya untuk mengembangkan lagi kerja sama dan pertukaran ekonomi yang saling menguntungkan sehingga berkontribusi positif pada komitmen masing-masing dalam membangun perekonomian nasionalnya.

Apabila segala usaha telah dilakukan tetapi tetap tidak menuai respons positif, tentu kita patut balik mempertanyakan komitmen Tiongkok terhadap stabilitas dan kemakmuran di kawasan. Pertanyaannya kemudian, sampai sejauh apa dan sampai kapan Indonesia-dan negara- negara di kawasan-akan terus berusaha? Kepentingan nasional Indonesia harus menjadi dasar untuk menjawab pertanyaan ini. 

YEREMIA LALISANG

PENGAJAR HUBUNGAN INTERNASIONAL FISIP UI; MAHASISWA DOKTOR XIAMEN UNIVERSITY, XIAMEN

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 6 Agustus 2016, di halaman 7 dengan judul 


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger