Tidak berlebih bahwa mimpi itu sebenarnya sudah dirumuskan oleh pendiri bangsa ini, sebagaimana termaktub di dalam Pembukaan UUD 1945. Meskipun telah dirumuskan sejak tahun 1945, kini, setelah 71 tahun merdeka, mimpi itu ternyata masih relevan. Hal ini terbukti ketika UUD 1945 mengalami perubahan pada tahun 2002, Pembukaan UUD 1945 disepakati tetap tidak berubah. Namun, kalau kita bersedia jujur, mimpi itu masih harus kita wujudkan.
Jalan panjang
Mewujudkan mimpi sebuah bangsa memang diperlukan waktu yang panjang. Jalan mewujudkan mimpi itu sering tidak lurus dan bahkan berkelok. Konstitusi Amerika, yang mencita-citakan bahwamen are created equal, bahwa manusia itu diciptakan sama, belum mampu terwujud sampai awal tahun 1960-an.
Kalau tak ada pejuang hak-hal sipil, yang dipelopori seorang pendeta kulit hitam, Dr Marthin Luther King, diskriminasi warna kulit masih menjadi hambatan dalam proses demokrasi di Amerika Serikat. Dalam pidatonya yang terkenal di depan masa pendukungnya, yang berjudul I have a dream, ia memimpikan bahwa suatu saat diskriminasi itu akan hilang. Meskipun ia akhirnya mati terbunuh demi memperjuangkan hak-hal sipil, Marthin Luther King mungkin akan sangat bahagia ketika Barack Hussein Obama terpih sebagai Presiden AS pada tahun 2004. s eandainya kondisi masih ada diskriminasi-terlepas bahwa akhir-akhir ini percikan diskriminasi itu terkadang masih dijumpai-Obama tak mungkin terpilih. Bahkan, menjadi calon presiden pun ia akan terhambat.
Karena itu, bagi kita bangsa Indonesia, tidak perlu berkecil hati kalau perjalanan kita masih panjang. Bahkan, berkat kemajuan teknologi, kita bisa berharap mimpi itu dapat semakin didekati. Lalu, apa yang harus kita lakukan sebagai anak bangsa?
Mungkin kita bisa beranjak dari seruan Bung Karno agar kita belajar sejarah. Sejarah bangsa ini, selama 70 tahun setelah kemerdekaan, mengesankan sering terulang kembali, ketika kita hendak menemukan sistem ketatanegaraan yang sesuai dengan UUD 1945. Perhatikan perjalanan bangsa ini pada era Orde Lama, Orde Baru, dan kemudian pada era Reformasi. Muncul kesan adanya inkonsistensi, meskipun juga ada kemajuan.
Kemajuan yang signifikan adalah di bidang ideologi, di mana kita semua sudah sepakat bahwa Pancasila sebagai ideologi bangsa sudah final. Tentu ini terlepas dari kenyataan bahwa pengamalan Pancasila itu sendiri masih harus terus ditingkatkan.
Hal ini penting karena pertentangan ideologi di negeri ini pernah sangat tajam, bahkan berdampak pada instabilitas politik yang hampir menggoyahkan eksistensi negeri ini. Demikian juga kita sudah sepakat bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia alias NKRI adalah final.
Sementara dalam kebinekaan, kita masih harus lebih menumbuhkan ke-"tunggalika"-annya agar kondisi bangsa yang plural ini tidak menimbulkan eksklusivisme, apalagi radikalisme dan intoleransi di bidang SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Adapun dalam sistem politik, ekonomi, dan ketatanegaraan lainnya, kita masih harus mencari bentuknya yang mantap.
Sistem ketatanegaraan
Meskipun tidak bersifat ideologis, merumuskan sistem ketatanegaraan kita ternyata tidak mudah. Ambillah contoh, penyelenggaraan pemilihan umum, yang merupakan pilarnya penyelenggaraan prinsip kedaulatan rakyat, sebagai langkah awal kehidupan yang demokratis. Sistem pemilihan umum yang berlaku semasa era Reformasi selalu berubah setiap lima tahun. Dari proporsional tertutup menjadi proporsional terbuka dan kini ada pikiran kembali ke sistem proporsional tertutup.
Berbagai perubahan itu tentunya dengan mencermati kelemahan pemilu yang kita selenggarakan. Salah satu di antaranya adalah merebaknya politik uang, sehingga lembaga perwakilan yang terbentuk terkadang dinilai tidak aspiratif, bahkan tidak mencerminkan kepentingan rakyat.
Pemilihan seperti apa yang merupakan cita "kedaulatan rakyat" sebagaimana termaktub di dalam Pembukaan UUD 1945? Dalam hal ini kita harus menyadari mengapa istilah "demokrasi" tidak terdapat di dalam Pembukaan UUD 1945 sehingga demokrasi yang kita cita-citakan sesungguhnya memang demokrasi khas Indonesia, yaitu implementasi gagasan "permusyawaratan/perwakilan". Sebuah gagasan mengenai bentuk demokrasi yang lebih mengedepankan konsensus, bukan voting, meskipun tidak menutup kemungkinan voting di dalam bermusyawarah.
Mengapa belum dipertimbangkan "sistem distrik" murni, yang tentunya dapat lebih mereprentasikan perwakilan daerah pemilu? Demikian juga penyelenggaraan pemilu presiden/kepala daerah (gubernur/bupati/ wali kota) melalui pilkada dan kelak pilkada serentak, yang mendasarkan pada suara rakyat langsung, tanpa melalui lembaga perwakilan rakyat, apakah sejalan dengan demokrasi berdasar "permusyawaratan/perwakilan"?
Semua itu perlu direnungkan ketika kita menyaksikan lebih dari 3.000 peraturan daerah yang ternyata harus dikoreksi atau dibatalkan. Demikian juga sistem politik kita, ketika kita menggagas sistem presidensial, ternyata tak mungkin lepas dari sistem parlementer, mengingat begitu banyak partai yang ada, yang kecenderungannya makin banyak.
Dalam kondisi seperti sekarang, sering terkesan sangat sulitnya manajemen negara sehingga konsistensi kebijaksanaan nasional sulit diwujudkan. Siapa pun yang akan memimpin bangsa ini, akan menghadapi kenyataan yang sangat tidak mudah dari aspek manajemen penyelenggaraan pemerintahan. Risikonya, penyelenggaraan negara tidak mudah, bahkan tidak efisien, meskipun masalah efisiensi selalu diingatkan. Hal ini disebabkan adanya keharusan mengakomodasi berbagai kepentingan partai politik yang berkoalisi mendukung pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah, yang sering berbeda.
Harapan
Meski demikian, kita sepakat bahwa optimisme harus tetap kita jaga. Perjalanan panjang memang harus kita lalui. Seolah-olah konsep trial and error memang diperlukan. Semua itu semoga akan menambah kebijakan kita untuk perbaikan, tentunya dengan selalu merujuk pada cita-cita buat apa negara ini didirikan, sebagaimana termaktub di dalam Pembukaan UUD 1945.
Karena itu, kita harus mampu menerjemahkan Pembukaan UUD 1945 dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kemudian secara bertahap mengimplementasikannya dalam sistem ekonomi, politik, dan kesejahteraan. Apa pun yang terjadi di masa lalu adalah proses pembelajaran yang sangat berharga. Sebagaimana Amerika yang perlu ratusan tahun untuk menemukan bentuk demokrasinya seperti sekarang, Indonesia juga memerlukan jalan yang panjang.
Namun, apa yang diingatkan oleh Bung Karno agar kita belajar sejarah, ajakan ini merupakan modal agar kita tetap menjaga semangat buat apa negara ini didirikan, sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Bangsa ini akan merugi kalau kondisi hari ini lebih buruk daripada kemarin, dan esok tidak lebih baik daripada hari ini.
SULASTOMO
ANGGOTA LEMBAGA PENGKAJIAN MPR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar