Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 06 Agustus 2016

Siapakah Penonton Film Indonesia? (GUNAWAN RAHARJA)

Sebuah berita yang menggembirakan bagi perfilman Indonesia, yakni meningkatnya minat jumlah penonton film Indonesia.

Ada tujuh film yang masing- masing ditonton oleh lebih dari 1 juta penonton. Sementara total jumlah penonton film Indonesia yang diputar di Cinema 21 hingga Juli 2016 mencapai 16 juta orang. Melebihi jumlah penonton tahunan selama kurun waktu lima tahun terakhir (Kompas, 26/7).

Meningkatnya minat penonton film Indonesia secara kuantitas memang iklim yang menggembirakan, khususnya bagi pelaku industri film nasional. Pada sisi lain, kenyataan ini juga membuktikan bahwa penonton film saat ini sudah mulai tertarik mengamati dan kemudian menyaksikan tontonan film Indonesia, di samping film Hollywood dan film asing lainnya. Tren ini tak serta-merta mewakili adanya peningkatan kualitas film Indonesia, yang sulit untuk dinilai secara acak, tetapi setidaknya menumbuhkan semangat bagi pelaku industri film: bahwa mereka memang bisa bersaing dari beberapa sisi dengan industri film asing.

Dari sebuah riset oleh Lembaga Penelitian, Pengembangan, dan Pengabdian Masyarakat Fakultas Film dan TV Institut Kesenian Jakarta (LPPM FFTV IKJ) terungkap, dari 1.100 responden,   46 persen penonton menyatakan datang ke gedung bioskop karena faktor cerita. Disusul 24 persen karena alasan genre, sedangkan faktor aktor atau aktris 12 persen. Penonton yang hadir ke bioskop setelah melihattrailer yang menarik sebanyak 12 persen dan hanya 1 persen faktor sutradara.

Ada tujuh film yang menarik jumlah penonton lebih dari satu juta, yakni Ada Apa dengan Cinta, My Stupid Boss, Comic 8: Casino Kings Part 2, Koala Kumal, Rudy Habibie, I Love You from 38.000 Feet, danLondon Love Story. Dari tujuh film tersebut, empat film dengan tema cerita romantis dan tiga sisanya komedi.

Riset LPPM FFTV IKJ tersebut di satu sisi memperlihatkan bahwa tema film (romantis) jadi acuan calon penonton sebelum masuk ke bioskop. Namun, seperti layaknya sebuah penelitian, validitas kebenarannya masih bisa dipertanyakan. Di sisi lain, banyak kriteria yang menyebabkan sebuah film diminati penonton. Artinya, banyak (calon) penonton memang sudah menunggu sebuah film yang menarik minat mereka.

Ada banyak hal yang dilakukan oleh para pelaku industri film Indonesia untuk menarik calon penonton. Mulai dari promosi di beberapa media massa konvensional dan media sosial, memasang artis papan atas yang sedang populer, hingga berusaha membuat berita sensasional yang berkaitan dengan produksi film yang sedang dibuatnya.

Gerombolan

Salah satu ciri masyarakat kita adalah semangat paguyuban (gemeinschaft). Menurut Ferdinand Tonnies, masyarakat paguyuban ini dicirikan dengan setiap anggotanya memiliki ikatan batin yang kuat, kekal dan alamiah, serta sifatnya informal. Dalam ikatan ini, proses saling memengaruhi, ewuh pakewuh, dan senioritas pun dominan.

Karakter ini ada pada masyarakat penonton film Indonesia. Penonton film Indonesia adalah sebuah gerombolan tanpa asal muasal, yang dengan mudah mampu melakukan aksi dan reaksi. Sebagai contoh, para pekerja kantor akan dengan mudah berbondong-bondong datang ke gedung bioskop hanya karena sekadar menunggu jalanan macet usai. Mereka bahkan tak merasa perlu tahu apa judul filmnya.

Efek persebaran dari kelompok ini adalah jika dari sekian anggota gerombolan ini kemudian menyadari bahwa film yang ditontonnya memang layak tonton. Secara beruntun, dengan berbagai macam cara, ia akan mengatakan bahwa film yang ditontonnya "secara tidak sengaja" itu menarik. Maka, terjadilah promosi dari mulut ke mulut, dengan tingkat kepercayaan yang tinggi, hanya dengan mengatakan bahwa film X kata A bagus. Idiom sederhana itu ternyata tidak bisa diremehkan begitu saja.

Gerombolan seperti ini tidak hanya ada pada para pekerja kantor yang notabene lebih melek media, juga mahasiswa, bahkan ibu-ibu yang menunggu anak- anaknya sekolah. Justru pada kalangan ini ditambah dengan gosip bahwa pada film A sang aktris ternyata jatuh cinta dengan aktor B. Maka, kombinasi antara gosip dan bisik-bisik ala gerombolan ini akan menjadikan sebuah film membeludak penontonnya.

Yang paling menentukan dari gerombolan ini adalah pembentuk opini. Kemampuannya adalah melakukan perubahan perilaku, dari yang awalnya merasa tidak mau atau tidak penting menjadi sebuah keharusan. Bisa jadi karena faktor senioritas atau ewuh pakewuh saja.

Belum ada riset yang menyentuh komunitas gerombolan ini karena memang karakteristiknya yang tidak dapat diprediksi. Namun, sebenarnya gerombolan inilah yang menjadi salah satu dari kontributor semakin maraknya jumlah penonton film Indonesia.

Faktor lain yang menjadikan gerombolan punya kekuatan adalah ketika mereka sudah berada di bioskop. Di sebuah bioskop yang terletak di mal, beberapa penonton menunggu untuk antre membeli tiket. Tiba-tiba datanglah serombongan calon penonton yang kasak-kusuk untuk menyaksikan sebuah film. Entah merasa terprovokasi atau apa, calon penonton lain tiba-tiba memutuskan menonton film yang akan disaksikan oleh serombongan gerombolan tersebut.

Faktor "follower"

Beberapa kreator film mulai memanfaatkan para follower-nya di akun media sosial sebagai calon penonton film potensial, khususnya mereka yang memiliki basis penggemar banyak.

Keberhasilan film Comic 8 dan sekuelnya, juga film-film karya sutradara Raditya Dika, tidak terlepas dari aktivitas mereka di media sosial. Karakteristik media sosial adalah hampir meniadakan jarak. Sebuah berita atau isu tentang seseorang akan dapat direspons dalam waktu yang hampir bersamaan.

Itulah yang dilakukan oleh Raditya Dika yang rajin meng-update setiap proses produksi filmnya di akun media sosialnya hampir setiap hari. Ia akan melaporkan kepada follower-nya apa-apa saja yang terjadi di lokasi sehingga mereka seperti sudah dipersiapkan untuk menyaksikan film yang sedang diproduksi tersebut.

Keakraban bisa sampai pada tahapan usulan adegan atau scene dari parafollower-nya. Apakah diterima atau tidak, itu urusan lain. Namun, kedekatan maya itu telah membuat ikatan nonformal yang menjadikan sebuah proses kreatif film ternyata tidak berdiri sendiri. Bukan hanya menjadi domain sutradara, atau produser, melainkan juga sudah menjadi wilayah turunan dari follower atau calon penonton.

Jika merujuk pada apa yang telah dilakukan oleh Raditya Dika, kini tercipta komunitas baru bagi penonton film Indonesia. Ia tidak menempatkan calon penonton filmnya (follower) hanya sebagai penonton yang pasif, yakni hanya datang ke gedung bioskop kemudian pulang, tetapi ia melakukan komunikasi yang intensif dari awal. Inilah yang menjadikan film-film Raditya Dika ditunggu penonton. Forum ini seharusnya juga akan menjadikan film-filmnya tidak hanya sukses secara komersial saja, tetapi juga ada muatan kualitas secara estetika.

Peningkatan jumlah penonton film Indonesia patut untuk diapresiasi: bahwa film Indonesia memang layak untuk dinikmati. Bahwa film Indonesia kini tidak lagi sekadar menjadi pendamping bagi film Hollywood dan film asing lainnya di bioskop.

GUNAWAN RAHARJA

BURUH FILM

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 6 Agustus 2016, di halaman 7 dengan judul "Siapakah Penonton Film Indonesia?".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger