Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 27 Agustus 2016

Manuver Politik Golkar (SYAMSUDDIN HARIS)

Pemilihan umum masih sekitar tiga tahun lagi. Namun, Partai Golkar di bawah kepemimpinan Setya Novanto secara prematur telah mencalonkan kembali Joko Widodo sebagai Presiden RI 2019-2024.

Ada apa? Bagaimana kita membaca manuver politik Golkar? Deklarasi dukungan pencalonan kembali Jokowi pada penutupan rapimnas Golkar itu tak hanya membuat kerongkongan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri sedikit tercekat. Segenap jagat politik Tanah Air pun dibuat terheran-heran dengan manuver politik Novanto mengingat Jokowi kader PDI-P, rival bebuyutan Golkar sejak Pemilu 1999. Oleh sebagian kalangan, deklarasi dukungan yang dinyatakan hanya selang sehari setelah Presiden mengumumkan formasi baru Kabinet Kerja itu dicurigai sebagai siasat baru Golkar menjerat Jokowi agar parpol warisan Orde Baru ini bisa jadi kendaraan politik Jokowi di pemilu mendatang.

Benarkah demikian? Persoalannya, sekitar sebulan sebelumnya, Partai Golkar "menyalib" di tikungan kegamangan politik partai banteng, yakni antara pilihan mendukung dan menggembosi pencalonan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai gubernur DKI Jakarta. Secara resmi Golkar akhirnya tak hanya mendukung pencalonan Ahok bersama-sama dengan Partai Nasdem dan Partai Hanura, tetapi juga berhasil membujuk mantan Bupati Belitung Timur itu untuk maju dalam Pilkada 2017 melalui jalur parpol. Meski sedikit kecewa, relawan "Teman Ahok" akhirnya dapat memahami dan menerima pilihan Ahok yang sebelumnya hendak maju melalui calon perseorangan.

Empat faktor

Deklarasi prematur Golkar dapat dipandang sebagai ungkapan terima kasih "Partai Beringin" atas kursi kabinet yang diperoleh kader Golkar, Airlangga Hartarto. Namun, paling kurang ada empat faktor lain melatarbelakangi, mengapa Golkar merasa perlu mendukung Jokowi sebagai capres 2019, padahal sebelumnya sudah mendeklarasikan sebagai partai pendukung pemerintahan Jokowi-JK.

Pertama, seperti secara umum dilansir media, Golkar mendukung Jokowi karena merasa  sejalan dengan haluan pembangunan yang diletakkan Jokowi-JK yang berorientasi pemenuhan kebutuhan dasar rakyat melalui sejumlah paket kebijakan percepatan pembangunan ekonomi dan sejumlah proyek infrastruktur skala besar yang tersebar di berbagai penjuru Tanah Air. Sebagai partai kekaryaan warisan Soeharto yang sejak awal berideologi "pembangunan", Golkar hendak turut serta dalam karya dan kerja besar pemerintahan Jokowi-JK mengatasi kemiskinan, mengurangi pengangguran, dan meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat bangsa kita.

Terlepas dari soal apakah semua itu tulus atau tidak, deklarasi dukungan bagi Jokowi untuk capres 2019 bertolak dari rasionalitas yang sama. Artinya, jika sejumlah indikator makroekonomi, seperti tingkat inflasi yang relatif rendah, pertumbuhan ekonomi cukup menjanjikan, dan stabilitas politik terjaga, tidak ada alasan bagi Golkar tak mendukung pencalonan kembali Jokowi dalam pilpres mendatang ketika secara obyektif Partai Beringin tak memiliki figur yang menjanjikan untuk jabatan presiden. Setelah generasi Jusuf Kalla, Akbar Tandjung, dan Aburizal Bakrie purnabakti, serta Wiranto, Prabowo Subianto, dan Surya Paloh  memilih membentuk partai sendiri, relatif belum muncul figur mumpuni yang mampu menjadi jangkar kepemimpinan politik, baik internal maupun eksternal Golkar.

Kedua, deklarasi prematur Golkar bisa pula dilihat sebagai cara Golkar membangun simpati publik dalam rangka meraih dukungan elektoral dengan memanfaatkan popularitas Jokowi sehingga Golkar berharap dapat meraih elektabilitas signifikan dalam pemilu legislatif yang akan datang. Golkar ingin memperoleh kredit dari keberhasilan Jokowi-JK sehingga bisa berjaya kembali dalam meraih kursi DPR pada pemilu serentak mendatang. Dengan memberi dukungan lebih awal bagi Jokowi, Golkar tak hanya memberi persekot politik kepada mantan Gubernur DKI ini, melainkan juga berharap dapat turut mengapitalisasi persepsi positif publik terhadap Jokowi bagi kepentingan politik Golkar.

Ketiga, deklarasi dukungan terhadap Jokowi merupakan cara Golkar membujuk Jokowi agar calon wakil presiden pendamping Jokowi dalam pilpres mendatang berasal dari Golkar. Kegagalan beruntun Golkar dalam pilpres-pilpres sejak 2004 melatarbelakangi ini. Pada Pilpres 2004 Golkar gagal mengantar kandidat hasil konvensi Golkar, Wiranto (berpasangan dengan Salahuddin Wahid), menjadi presiden. Golkar bahkan "digembosi" jajaran struktural partai menyusul kekalahan Akbar Tandjung dalam kompetisi internal merebut tiket menjadi capres. Meski demikian, Golkar bersama sejumlah partai  pendukung Susilo Bambang Yudhoyono- Jusuf Kalla masuk ke dalam Kabinet Indonesia Bersatu dan menjadi bagian koalisi besar pendukung SBY-JK.

Pada Pilpres 2009, Ketua Umum Golkar Jusuf Kalla yang "diceraikan" SBY mencoba peruntungan menjadi capres berpasangan dengan Wiranto. Akan tetapi, Golkar kembali gagal meraih kursi presiden, dikalahkan SBY yang mengambil pasangan baru, Boediono,  sebagai wapres. Puncak kegagalan  Golkar terjadi pada 2014. Partai bersimbol warna kuning ini tak hanya gagal mengajukan capres dan wapres sendiri, tetapi juga gagal memenangkan pasangan Prabowo-Hatta Radjasa yang turut diusungnya bersama-sama dengan partai-partai Koalisi Merah Putih. Jadi, Golkar yang secara internal tengah mengalami krisis figur layak jual berharap dapat mendampingi Jokowi sebagai cawapres pada Pilpres 2019.

Keempat, sudah menjadi rahasia umum bahwa Presiden Jokowi sebagai  kader PDI-P memiliki relasi kurang harmonis dengan internal partai yang menjadi basis politik mantan Wali Kota Solo ini. Identifikasi dan penyebutan Jokowi sebagai "petugas partai" jelas mencerminkan hal itu. Terlepas dari aturan baku di internal bagi kader PDI-P, secara faktual Jokowi adalah presiden yang memperoleh mandat rakyat dan karena itu hanya tunduk kepada konstitusi. Sebagai presiden pilihan rakyat, semestinya jajaran elite PDI-P lebih menghormati dan membanggakan Jokowi ketimbang kalangan non-Golkar.

Singkatnya, Jokowi  bukan hanya merasa tidak nyaman di internal partainya sendiri, melainkan juga cenderung disia-siakan jajaran elite PDI-P. Karena itu, bisa dipahami jika Jokowi menyambut gembira setiap parpol baru yang menyatakan dukungan terhadap pemerintahannya. Bagi Jokowi, dukungan partai-partai mantan Koalisi Merah Putih tersebut tak hanya memperkuat basis politiknya di parlemen, tetapi juga meningkatkan kepercayaan dirinya sehingga Jokowi bisa lebih "independen" dari tekanan PDI-P dan Megawati.

Dalam kaitan ini, deklarasi Golkar mendukung Jokowi sebagai capres  2019 harus dibaca sebagai siasat Golkar memanfaatkan kegagalan PDI-P merawat dan mengawal kepresidenan Jokowi. Jadi, di tengah kelangkaan figur yang mumpuni, Golkar memanfaatkan pengalaman politik mereka untuk mengendalikan arah dan formasi politik nasional yang pada akhirnya lebih menguntungkan elite Golkar sendiri ketimbang siapa pun di luar Partai Beringin.

Langkah kuda

Sementara itu, deklarasi dukungan Golkar bagi pencalonan kembali Ahok sebagai gubernur DKI dapat diibaratkan sebagai "langkah kuda" Partai Beringin dalam menelikung PDI-P yang tampak terus gamang menyikapi Ahok dan pilkada DKI 2017. Golkar bukan hanya tak memiliki kader layak jual sebagai calon gubernur DKI, melainkan juga menghitung potensi melimpahnya simpati elektoral terhadap Golkar jika Golkar mendukung Ahok.

Kelihaian Golkar menangkap peluang inilah yang tidak dimiliki elite PDI-P. Partai kaum Soekarnois ini sering kali tergagap dalam merespons isu politik kontemporer karena para elitenya hanya sibuk merawat dan memperbarui kultus mereka terhadap sang ketua umum, Megawati, di satu pihak, dan memburu rente bagi diri sendiri di lain pihak. Akhirnya, Jokowi dan Ahok pun memilih berteduh di bawah rindangnya pohon beringin.

Namun, perlu segera dicatat, Jokowi dan Ahok bukanlah bidak-bidak politik yang mudah tunduk begitu saja pada "langkah kuda" para elite Golkar. Karena itu, kita amat berharap agar Jokowi dan Ahok tetap berdiri tegak di atas konstitusi dan memegang teguh mandat politik untuk benar-benar menyejahterakan rakyat dan menyelamatkan masa depan bangsa kita. Terlalu besar biaya politik yang harus ditanggung bangsa ini jika figur visioner seperti Jokowi dan Ahok turut terpenjara oleh tarik-menarik kepentingan jangka pendek elite partai yang saling jegal-menjegal dalam pemilu dan pilkada.

SYAMSUDDIN HARIS

Profesor Riset LIPI

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Agustus 2016, di halaman 6 dengan judul "Manuver Politik Golkar".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger