Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 18 Agustus 2016

Memaknai Kemerdekaan Ekonomi (A PRASETYANTOKO)

Pada ulang tahun kemerdekaan ke-71 ini, satu pertanyaan penting yang patut dikemukakan adalah apa yang sudah dicapai bangsa ini dan bagaimana mempertahankannya. Selanjutnya, tantangan apa saja yang patut diperhatikan di masa depan.

Khusus di bidang perekonomian, kemajuan demi kemajuan telah dilalui, tetapi tantangan berat masih menanti. Agenda pokoknya, bagaimana perekonomian kita bisa keluar dari jebakan eksternal, pola pertumbuhan rendah, serta risiko ketidakpastian global yang terus meningkat. Tujuannya, agar program pembangunan bangsa bisa diwujudkan seutuhnya, khususnya fokus pada manusia Indonesia.

Presiden Joko Widodo mengusung Nawacita yang berisi prinsip kemandirian bangsa, baik di bidang politik, ekonomi, maupun kebudayaan. Kesembilan agenda kerja Presiden tersebut sejatinya tak bisa dipisahkan karena merupakan satu kesatuan yang utuh. Selain turunan programnya yang terkadang kabur, keutuhannya juga sering luput dari perhatian.

Ada kaitan lugas antara kualitas manusia, produktivitas serta kemandirian dan daya saing bangsa. Ketiganya saling menopang satu sama lain. Dan jika diupayakan simultan, dipastikan akan mengungkit kemajuan bangsa secara signifikan.

Posisi daya saing

Di antara berbagai kriteria pencapaian kemajuan, salah satu yang patut diperhatikan adalah ukuran daya saing. Rilis tahunan World Competitiveness Report 2016 terbitan Forum Ekonomi Dunia menempatkan Indonesia pada posisi ke-37 dari 140 negara yang disurvei. Dibandingkan tahun sebelumnya (posisi ke-34), tahun ini kita mengalami penurunan peringkat.

Dalam hal apa kita merosot? Pilar persyaratan dasar (basic requirement) mengalami penurunan cukup besar dari peringkat ke-46 pada 2015 menjadi peringkat ke-49 tahun ini. Di antara pilar persyaratan dasar, variabel yang paling banyak merosot adalah kesehatan dan pendidikan dasar, dari peringkat ke-74 menjadi peringkat ke-80. Padahal, jika dilihat lebih rinci, justru ada beberapa perbaikan yang dilakukan. Karena sifatnya peringkat global, bisa disimpulkan bahwa bangsa lain lebih progresif.

Dalam suasana kemerdekaan ini, dua masalah dasar tersebut tampaknya perlu mendapat perhatian lebih besar. Kesehatan masyarakat dan pendidikan dasar akan sangat menentukan produktivitas dan akhirnya daya saing bangsa. Tanpa perhatian yang memadai, kita sebagai bangsa tak akan mampu meningkatkan peran dalam mata rantai produksi global yang lebih baik.

Aneka perbaikan infrastruktur serta paket deregulasi yang lebih mendukung dunia usaha tak akan memberi efek maksimal jika manusia Indonesia sendiri tak pernah berkembang secara utuh. Bisa jadi, justru lebih banyak memberi keuntungan bagi pelaku asing yang lebih siap menikmati peningkatan akses investasi dan perdagangan.

Dari sisi kompetensi manusianya, posisi kita memang sangat memprihatinkan. Sebuah laporan tahun 2012 oleh Program for International Student Assessment (PISA), bagian dari Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), menyebutkan, tingkat penguasaan matematika, ilmu pengetahuan, dan kemampuan membaca kita berada dalam kluster paling rendah di seluruh dunia.

Kita memiliki skor 376, hanya lebih baik daripada Peru dengan skor 368. Beberapa negara yang skornya persis di atas kita adalah Qatar, Kolombia, dan Jordania.

Sebagai perbandingan, kelompok negara maju memiliki rerata skor 494, sementara Singapura 573 dan Korea 554. Kita bisa melihat betapa pekerjaan rumah kita dalam membangun kompetensi dasar manusia Indonesia masih begitu besar. Tema ini patut diketengahkan dalam ulang tahun kemerdekaan ke-71 ini.

Tantangan global

Pemerintah tentu memiliki tanggung jawab sangat besar memastikan manusia Indonesia bisa berkembang sebagaimana mestinya dalam peradaban dunia. Tanggung jawab tersebut harus diturunkan dalam perangkat kebijakan serta komitmen anggaran. Namun, hal yang juga tak kalah penting adalah membangun kelembagaannya.

Fokus pada pengembangan manusia sering kali terabaikan, paling kurang karena dua hal. Pertama, kebutuhan mengejar pembangunan fisik masih begitu masif sehingga konsentrasi pada manusia sangat mudah terabaikan. Kedua, situasi ekonomi (global) yang penuh ketidakpastian membuat energi tersedot pada upaya memadamkan persoalan ketimbang membangun hal yang tak kelihatan.

Dalam situasi perekonomian global yang semakin tak menentu serta urgensi pembangunan fisik yang begitu besar, perlu ada komitmen kuat dari pemerintah untuk fokus pada pembangunan manusia.

Dalam laporan berkala World Economic Outlook terbitan Dana Moneter Internasional edisi Juli 2016, disebutkan perekonomian dunia akan memasuki fase ketidakpastian pasca keluarnya Inggris Raya dari Uni Eropa. Laporan ini berisi beberapa alternatif skenario terhadap proyeksi perekonomian global ke depan. Pada edisi April, diketengahkan prospek pertumbuhan global yang akan memasuki fase baru, pola pertumbuhan rendah untuk periode cukup panjang.

Perekonomian global tengah memasuki babak baru, pola pertumbuhan rendah yang disertai ketidakpastian tinggi. Pertumbuhan global tahun ini diproyeksikan sebesar 3,1 persen, direvisi dari 3,2 persen pada proyeksi April. Sementara pada April sudah direvisi dari 3,4 persen. Dalam skenario buruk, perekonomian global tahun ini dan tahun depan diperkirakan hanya mampu tumbuh 2,8 persen.

Persoalan global ini tentu akan mengalami transmisi pengaruh pada perekonomian domestik. Dalam situasi di mana pertumbuhan global terhambat, pertumbuhan domestik tak mampu meningkat drastis. Artinya, ada persoalan struktural yang dampaknya jangka panjang.

Ada berbagai rumusan kebijakan yang bisa diterapkan untuk memompa perekonomian domestik agar keluar dari jebakan pola pertumbuhan global yang rendah. Misalnya saja dengan kebijakan fiskal yang ekspansif. Namun, dalam situasi ketidakpastian tinggi, kebijakan ini lebih sering tak bisa dipertahankan. Gejolak nilai tukar dan pasar keuangan terkadang memaksa kebijakan fiskal berubah arah menjadi hati-hati (prudent) ketimbang ekspansif.

Intinya, selain fokus pada pembangunan infrastruktur fisik, pembangunan infrastruktur sosial (kesehatan masyarakat dan pendidikan dasar) perlu mendapatkan perhatian besar. Dan di tengah ketidakpastian global ini, pemerintah tak boleh lengah dari fokus penting tersebut.

A PRASETYANTOKO EKONOM DI UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA ATMA JAYA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Agustus 2016, di halaman 6 dengan judul "Memaknai Kemerdekaan Ekonomi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger