Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 16 Agustus 2016

TAJUK RENCANA: 71 Tahun, Syukur dalam Tangis (Kompas)

Sudah beberapa tahun terakhir, dentuman meriam tank atau deru jet tempur asing bukan suara aneh di Suriah, Irak, Afganistan, dan Yaman.

Dibandingkan dengan empat negara itu, Indonesia lebih beruntung. Ada upaya teror, ada bom bunuh diri, tetapi sejauh ini masih dalam kendali pemerintah.

Kemarin ada keluhan tentang harga daging dan sejumlah komoditas yang melonjak, tetapi itu relatif kecil dibandingkan dengan konflik di empat negara itu. Sungguh, ada banyak hal yang bisa kita syukuri. Hidup di Indonesia masih jauh lebih baik daripada di negara tersebut, juga sejumlah negara lain yang baru dilanda revolusi.

Tahun pertama dasawarsa kedelapan, RI—yang dianugerahi alam yang indah dan amat kaya—masih tetap ada di landasan, tak kunjung bisa lepas landas. Jika menengok pendapatan per kapita penduduknya, jika melihat kemampuan anggaran negara, jika melihat mata uangnya yang rentan merosot terhadap dollar AS, jika melihat rakusnya kita mengimpor produk konsumsi, atau jika kita melihat perilaku banyak elitenya, ada banyak alasan untuk mengelus dada. Atau bahkan bisa mencucurkan air mata.

Masih ingat kita tentang laporan utama majalah The Economist (12/9/2012) bertajuk "A Golden Chance"? Masih ingat juga kita pada laporan McKinsey Global Institute (September 2012) yang meramalkan, peringkat ekonomi Indonesia di dunia akan melonjak dari nomor 16 menjadi nomor 7 pada 2030, yang artinya Indonesia akan melampaui Inggris dan Jerman? Optimisme yang melenakan.

Sebagian besar kalangan masih meyakini, Indonesia jauh dari status negara gagal. Namun, ada kekhawatiran bahwa jika kondisi tak kunjung membaik, lampu kuning akan menyala. Dari buku Why Nations Fail (Daron Acemoglu dan James Robinson, 2012) kita melihat adanya institusi ekstraktif tak terkendali yang menimbulkan konsekuensi sosial ekonomi yang luas di negara gagal.

Lebih dari sekadar membahas kemajuan ekonomi, kita jangan pernah melupakan pembangunan kebangsaan karena ini juga tidak kalah penting. Kita kenang kembali bagaimana Bung Karno tak jemu-jemu bergulat dengan pemikiran besar tentang kebangsaan, seperti yang dicetuskan oleh Ernest Renan dan Otto Bauer.

Betapa banyak pekerjaan rumah yang harus kita selesaikan. Kita sudah banyak mempelajari sukses Tiongkok, mungkin kita harus mempelajari sukses Vietnam, negara yang satu setengah dasawarsa lalu ada di belakang kita.

Mempelajari keberhasilan tetangga Asia—antara lain seperti dilukiskan dalamThe Miracle: The Epic Story of Asia's Quest for Wealth karya Michael Schuman (2009)— mungkin hanya memberi pencerahan teknis. Kita ingin melihat sosok yang tercerahkan dari Revolusi Mental agar kita tak berdiri di antara orang kerdil di tengah zaman besar ini.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Agustus 2016, di halaman 6 dengan judul "71 Tahun, Syukur dalam Tangis".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger