Terhadap laporan keuangan Provinsi Riau, misalnya, selama empat tahun berturut-turut, sejak tahun 2012, provinsi tersebut selalu mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian (WTP). Maka, logikanya, kemungkinan terjadinya penyimpangan keuangan di daerah tersebut sangat kecil. Namun yang terjadi justru sebaliknya, Gubernur Riau pada periode itu—Rusli Zainal (2008- 2013) dan Annas Ma'amun (2013-2018)—malah terbukti melakukan tindak korupsi.
Tak kalah mentereng dengan Provinsi Riau, Pemerintah Kota Palembang bahkan sudah lima kali mendapatkan opini WTP atas laporan keuangan mereka. Akan tetapi, setali tiga uang, kepala daerahnya juga terbukti melakukan tindak korupsi.
Lebih celaka lagi, anomali audit BPK nyatanya juga terjadi pada sektor kementerian. Tercatat setidaknya ada tiga kementerian yang memperoleh opini WTP, tetapi menterinya justru menjadi tersangka korupsi. Yakni, Kementerian Pemuda dan Olahraga (opini WTP tahun 2010), Kementerian Agama (opini WTP tahun 2011), dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (opini WTP tahun 2013). Hal ini jelas mengindikasikan bahwa ada kejanggalan dengan audit BPK.
Terlepas dari itu semua, audit-audit BPK mutlak tetaplah harus bisa dipertanggungjawabkan. Dalam arti bahwa ketika BPK memberikan opini WTP terhadap suatu laporan keuangan, maka semestinya potensi penyimpangan keuangan yang mungkin terjadi bisa diminimalkan. Hal ini sejatinya sejalan dengan spirit Pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tentang alat bukti yang sah, termasuk di antaranya bukti surat.
Sebagaimana pandangan pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra, hasil audit BPK adalah termasuk alat bukti surat yang hanya bisa diujikan di pengadilan. Pun mafhum disadari jika selama ini KPK kerap menggunakan audit BPK sebagai alat bukti permulaan untuk membongkar praktik korupsi yang terjadi. Karena itu, jika BPK memberikan opini WTP secara serampangan, hal demikian sama artinya dengan mempersulit upaya pemberantasan korupsi di negara ini. Itulah sebabnya, pemberian opini WTP haruslah betul-betul diterapkan secara hati-hati dan bertanggung jawab.
Di samping itu, perlunya BPK memberikan opini WTP secara hati-hati dan bertanggung jawab ialah untuk memupuk kembali kepercayaan publik kepada BPK. Tidak bisa dimungkiri, kini kepercayaan publik kepada BPK sebagai lembaga auditor keuangan negara yang bebas dari kepentingan mana pun mulai luntur. Padahal, BPK sebagaimana diatur dalam UUD 1945 mempunyai fungsi dan peranan yang signifikan dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
Ini berarti, secara tidak langsung BPK punya andil dalam peningkatan kesejahteraan rakyat dari audit-audit yang dilakukannya. Sebab, dari audit-audit BPK itulah, nantinya akan diketahui apakah penggunaan anggaran sudah tepat sasaran atau hanya digunakan untuk kepentingan elite semata. Maka, persoalan yang membuat audit BPK kerap tidak sinkron dengan realitas di lapangan mutlak harus segera dicari akar persoalannya. Apakah murni hanya berasal dari proses auditnya ataukah justru berasal dari segelintir oknum anggota BPK yang punya kepentingan tertentu?
Pembenahan audit BPK
Apabila akar persoalan berasal dari proses auditnya, pembenahan audit BPK dapat saja diawali dengan membuka hasil auditnya ke publik. Dengan begitu, akan mudah ditemukan jika ada mekanisme-mekanisme audit yang sekiranya tidak sesuai dengan prosedur standar operasi (SOP).
Mafhum diketahui, selain dibekali dengan UU No 15/2006 tentang BPK (UU BPK), BPK juga dibekali tiga UU lain untuk menjalankan kinerjanya. Ketiga UU dimaksud adalah UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara, UU No 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU No 15/2004 tentang Pemeriksaan, Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Dengan demikian, jika benar ada persoalan terkait proses audit yang dilakukan, merujuk pada keempat UU tersebut, maka tidak akan sulit rasanya untuk menemukan akar persoalannya. Pada titik ini, yang diperlukan hanyalah kemauan dari BPK untuk legowo mau membuka setiap hasil audit yang dianggap bermasalah.
Sementara jika akar persoalan berasal dari segelintir oknum anggota BPK yang mempunyai kepentingan, proses pembenahan audit BPK akan menjadi jauh lebih sulit. Hal ini minimal karena memerlukan amandemen terhadap UU BPK, utamanya terkait dengan mekanisme perekrutan anggota BPK.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa anggota/pengurus parpol (baca: politisi) ialah orang-orang yang tidak bisa dipisahkan dari konflik kepentingan. Celakanya, UU BPK tidak memberikan batasan apa pun terhadap para politisi untuk bisa menjadi anggota BPK sebagaimana yang telah diimplementasikan pada UU No 30/2002 tentang KPK ataupun UU No 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK). Di sisi lain, tidak bisa dimungkiri bahwa para pejabat elite BPK mengambil peran signifikan terkait keputusan akhir dari hasil audit BPK.
Maka, tidak heran jika pada akhirnya banyak audit BPK yang kemudian "bermasalah". Oleh karena itu, pembatasan bagi para politisi untuk duduk di BPK—sebagaimana yang diimplementasikan pada UU KPK ataupun UU MK—seyogianya diadopsikan juga pada UU BPK. Dengan keanggotaan BPK yang bebas dari konflik kepentingan, paling tidak keputusan akhir dari setiap audit BPK tidak akan ada lagi yang mempunyai tendensi tertentu. Semoga!
PANGKI T HIDAYAT, DIREKTUR EKSEKUTIF RESEARCH CENTER FOR DEMOCRATIC EDUCATION; ALUMNUS UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA (UNY)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Agustus 2016, di halaman 7 dengan judul "Mengkritisi Audit BPK".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar