Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 02 Agustus 2016

Tantangan Kabinet Bifurkasi Baru (M IKHSAN MODJO)

Perombakankabinet kedua yang dilakukan Presiden Jokowi adalah langkah tepat pada saat darurat. Presiden kali ini menempatkan tokoh-tokoh kompeten dan berpengalaman, terutama pada portofolio ekonomi, untuk menjawab tantangan perlambatan pertumbuhan. Ini sebuah statement of intent dari Presiden untuk lebih serius melakukan pembenahan, yang tentu saja patut diberikan kredit.

Dalam perombakan kabinet kali ini, Presiden mengadopsi pola kabinet bifurkasi yang merupakan hukum besi pembentukan kabinet di Indonesia pada era sebelumnya dan terbukti sukses mengangkat perekonomian. Pola bifurkasi adalah suatu pragmatisme politik di mana kabinet disusun atas topangan dua kaki. Di satu kaki ditempatkan para teknorat yang bertanggung jawab mengelola kebijakan fiskal dan perencanaan ekonomi dan diberikan wewenang mengambil manuver kebijakan untuk memperkuat pertumbuhan. Sementara, pada kaki lain ditempatkan atau dipertahankannya mereka yang dekat dengan kekuasaan atau para perwakilan partai pendukung, sebagai balas jasa politik atau untuk berbagai tujuan lain yang pada intinya demi melanggengkan dan menambah kekuasaan.

Satu hal menarik pada perombakan kabinet kali ini adalah dimasukkannya figur Sri Mulyani Indrawati (SMI) sebagai teknorat yang membidangi portofolio Kementerian Keuangan. SMI sebelumnya juga pernah menjabat Menkeu pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pada saat itu, SMI dengan tangan dingin mampu membiduki ekonomi Indonesia melewati gejolak ekonomi global yang disebabkan krisis subprime mortgage 2008-2009. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2009 tercatat hanya turun ke 4,63 persen, dari sebelumnya 6,01 persen pada 2008, untuk kemudian meningkat lagi di atas 6 persen 2010- 2012, pada saat negara-negara lain, terutama negara maju, pertumbuhannya mengalami tekanan yang terus berlarut.

SMI juga figur yang tepat untuk mengatasi tantangan jangka pendek berupa ancaman gagal fiskal yang kini tengah dihadapi pemerintah. Sebelumnya, selama menjabat sebagai Menkeu pada 2005- 2010, SMI mampu mengelola anggaran negara dengan tertib, likuid, dan solvable. Selama ia menjabat, rasio defisit mampu dikelola pada kisaran 1 persen dari produk domestik bruto (PDB). Begitu juga angka Keseimbangan Primer APBN, yang merupakan indikator likuiditas negara, selalu berada pada angka positif bahkan pernah mencapai hampir Rp 100 triliun pada 2008. Demikian pula tertib dan disiplin anggaran relatif terjaga saat itu, eksekusi penerimaan dan pengeluaran negara selalu terencana dan diimplementasikan secara terjadwal dan transparan.

Mengatasi ancaman gagal fiskal

Dalam waktu dekat, kepiawaian pengelolaan anggaran inilah yang dibutuhkan untuk mengatasi ancaman gagal fiskal dan ketidaktertiban anggaran yang masih terjadi pada pemerintahan Jokowi. Data hingga Juni 2016, defisit anggaran pada APBN 2016 sudah mencapai Rp 230,7 triliun atau 77,7 persen dari target yang diproyeksikan pada APBN Perubahan 2016. Dengan tambahan defisit sekitar Rp 40 triliun setiap bulan, hampir bisa dipastikan defisit APBN akan menembus ambang batas 3 persen yang ditoleransi UU Nomor 17 Tahun 2003 (UU Keuangan Negara), kecuali target tambahan penerimaan melalui tax amnesty(pengampunan pajak) berhasil tercapai.

Dari indikasi awal, target ini agaknya sulit tercapai sebagaimana diindikasikan tiga hal. Pertama, tak seperti yang diperkirakan, animo terbesar untuk mendeklarasikan aset justru datang dari pengemplang pajak yang memiliki aset di dalam negeri, yang sebelumnya tak melaporkan asetnya pada surat pemberitahuan tahunan (SPT) pajak. Padahal, sebelumnya target deklarasi terbesar adalah aset yang disimpan di luar negeri. Kedua, deklarasi aset ini juga belum tecermin dalam penerimaan dana tebusan pajak sebagaimana terlihat dari masih tingginya angka defisit anggaran berjalan anggaran.

Ketiga, implementasi kebijakan pengampunan pajak juga terkendala minimnya instrumen investasi domestik yang bisa digunakan untuk menampung limpahan dana repatriasidari luar negeri. Bahkan, repatriasi dana yang ada lebih banyak disalurkan ke sektor nonproduktif, seperti pasar uang dan modal, yang sekadar menggelembungkan nilai aset di sektor ini. Sementara saluran langsung ke sektor produktif atau melalui perbankan minim, terlihat dari masih besarnya rasio kredit yang tak dicairkan (undisbursed loan) perbankan dan rendahnya pertumbuhan kredit.

Pada titik ini, salah satu tantangan kabinet baru ini adalah menyelaraskan koordinasi dan kerja sama dengan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan untuk mengarahkan dana repatriasi pada kegiatan yang lebih produktif. Sebab, jika tak tepat, hanya akan menyebabkan bertambah dalamnya tingkat ketimpangan pendapatan dan gelembung aset yang sewaktu- waktu bisa meledak, sebagaimana pernah terjadi di beberapa negara lain yang menerapkan kebijakan serupa, seperti Amerika Serikat pada era George W Bush.

Dengan skenario optimis pun, implementasi kebijakan amnesti pajak memerlukan pengelolaan dan disiplin anggaran yang lebih baik dari sebelumnya. Hal ini mengingat besarnya potensi ketakcocokkan antara penerimaan dan pengeluaran negara (liquidity mismatch) akibat penerimaan dana tebusan yang diperkirakan baru akan terjadi pada akhir tahun fiskal.

Terkait erat dengan soal anggaran adalah disiplin dalam hal pengendalian utang. Selama hampir dua tahun terakhir, pengendalian dan pengelolaan utang masih menjadi sebuah persoalan di mana menkeu bukan lagi pengendali tunggal utang negara sebagaimana diamanatkan UU Keuangan Negara. Menteri BUMN pun bisa melakukan utang dengan menggadaikan aset-aset BUMN di bawah kendalinya. Kebocoran dalam pengelolaan utang ini masih terus terjadi sampai APBN-P 2016. Celakanya, baik Presiden sebagai pimpinan kabinet maupun DPR sebagai pengawas pemerintahan melakukan pengabaian terhadap pelanggaran disiplin anggaran ini. Kabinet baru diharapkan dapat lebih mematuhi aturan disiplin fiskal yang merupakan ketentuan perundang-undangan, untuk menghindari potensi kebocoran pembengkakan utang.

Mengatasi kemiskinan

Selain fiskal, masalah lain yang mengemuka adalah kemiskinan. Dalam beberapa tahun terakhir, jumlah penduduk miskin yang berhasil ditingkatkan taraf hidupnya terus mengalami penurunan. Jika pada kurun 2004-2014 tak kurang dari 1-2 juta penduduk berhasil dientaskan dari kemiskinan, semenjak 2014 angkanya hanya 500.000-an penduduk. Bahkan pada 2015, angka kemiskinan sempat sedikit melonjak.

Hal ini patut disayangkan mengingat semenjak 2010, basis data dan metodologi yang dimiliki pemerintah untuk mengidentifikasi penduduk miskin relatif baik bahkan terus dimutakhirkan. Anggaran yang disediakan untuk mengatasi kemiskinan pada APBN pun semakin meningkat. Pada 2016 berkisar Rp 136 triliun, meningkat hampir tiga kali lipat dari 2014 yang hanya Rp 47,2 triliun. Hal lain yang patut menjadi catatan adalah meningkatnya angka kemiskinan di perdesaan, sementara di perkotaan cenderung melandai. Data BPS terakhir menunjukkan peningkatan rata-rata angka kemiskinan di perdesaan secara nasional dari 14,09 persen pada September 2015 menjadi 14,11 persen Maret 2016. Di perkotaan mengalami penurunan dari 8,22 persen menjadi 7,79 persen pada periode yang sama.

Melemahnya upaya mengatasi kemiskinan ini diduga terkait empat hal. Pertama, setelah berhasil dikurangi lebih dari separuhnya selama 2004-2014 dari di atas 20 persen menjadi sekitar 10 persen dari total penduduk, masyarakat miskin yang tersisa saat ini adalah yang tergolong hardcore penduduk miskin, yang memang sulit diidentifikasi dan ditingkatkan taraf hidupnya secara cepat. Kedua, untuk program anti kemiskinan, pemerintahan saat ini cenderung fokus ke program karitatif, seperti halnya penerbitan kartu-kartu yang lebih bersifat populis, walau sejatinya tak memiliki substansi yang mengena dalam upaya pengurangan kemiskinan.

Program-program yang sebelumnya terbukti efektif menekan angka kemiskinan, terutama di perdesaan, seperti Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri, malah dihapuskan. Tak mengherankan, angka kemiskinan di perdesaan cenderung meningkat walau pada saat sama terdapat kucuran tambahan lebih kurang Rp 40 triliun dari APBN setiap tahun untuk dana desa.

Ketiga, ada indikasi kian kendurnya koordinasi implementasi program-program anti kemiskinan. Peran Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan yang dulu dominan sebagaipolicy broker, koordinator, dan pengawal implementasi program anti kemiskinan, baik pada level nasional maupun daerah, semakin melemah. Satu hal yang agaknya disebabkan ketiadaan inisiatif atau bahkan perhatian dari pemimpin pada level tertinggi untuk mengambil inisiatif koordinasi kebijakan. Karena itu, tak mengherankan tumpang tindih dalam implementasi program anti kemiskinan di antara kementerian semakin sering terjadi.

Kunci dari dua tantangan jangka pendek perekonomian di bidang fiskal dan kemiskinan ini adalah akselerasi pertumbuhan ekonomi. Perkiraan awal yang dikeluarkan BI menunjukkan pertumbuhan semester I-2016 masih akan tertekan di level 4,9 persen atau masih di bawah angka psikologis 5 persen. Sejauh mana keberhasilan racikan kabinet baru ini akan terlihat pada akhir tahun, apakah berhasil atau tidak meningkatkan pertumbuhan setidaknya sesuai target 5,3 persen. Untuk itu, penguatan koordinasi dan inisiatif kepemimpinan dalam menghadapi tantangan pada kabinet baru mutlak diperlukan. Bukan hanya sekadar mengandalkan kepiawaian individu menteri. Kabinet bifurkasi yang setengah hati dan minus koordinasi dipastikan tak akan efektif.

M IKHSAN MODJO, EKONOM SENIOR

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 Agustus 2016, di halaman 6 dengan judul "Tantangan Kabinet Bifurkasi Baru".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger