Seiring dengan penurunan pendapatan negara, anggaran pendidikan yang sedianya turun Rp 6 triliun ternyata mendapatkan tambahan dari legislatif sebesar Rp 1 triliun. Jadi, anggaran pendidikan tahun ini menjadi Rp 43.605 miliar.
Ketika diasumsikan penambahan anggaran akan meningkatkan kinerja kementerian, pertanyaan yang perlu diajukan, adakah jaminan perbaikan kinerja kementerian? Konkretnya, bagaimana dampak penggunaan anggaran terhadap kebijakan umum dalam mewujudkan cita-cita nasional pendidikan?
Dana besar manfaat kecil
Secara ideal, tekad penyediaan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN mestinya disertai dengan kejelasan peta politik pendidikan untuk mencapai cita-cita nasional.
Konkretnya, refleksi terhadap politik pendidikan di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kebijakan-kebijakan sebelumnya dan implikasi atas praktik pendidikan pada masa depan. Sebagai contoh, menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) yang baru, Muhadjir Effendy, menyatakan akan melakukan pembenahan terhadap persoalan guru dan tenaga kependidikan (27/7/2016). Sebetulnya hal itu setali tiga uang dengan niat Anies Baswedan sebelumnya.
Dalam kerangka Anies Baswedan, penambahan angka Rp 1 triliun dalam anggaran pendidikan 2016 diarahkan pada empat realokasi. Pertama, untuk pelaksana tugas teknis Rp 47.114 miliar. Kedua, untuk pendidikan dasar dan menengah sebesar Rp 356 miliar. Ketiga, untuk pendidikan anak usia dini (PAUD) Rp 50 miliar. Keempat, untuk guru dan tenaga kependidikan Rp 546,7 miliar.
Faktanya, strategi itu mencerminkan satu kenyataan bahwa praktik politik pendidikan Indonesia perlu direfleksikan kembali. Apabila melacak kinerja pemerintah setahun terakhir, prioritas politik pendidikan di Indonesia mengalami lima disorientasi.
Pertama, persoalan yang terdapat dalam Kurikulum 2013 yang kemudian diperbarui dengan Kurikulum Nasional pada 2015 sebetulnya belum juga tuntas. Desain kurikulum yang didasarkan pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2013 tersebut mewariskan paham empirisisme sehingga mengabaikan nalar kritis siswa yang berorientasi pada ideologi kebangsaan.
Pada saat yang sama, implementasi peraturan itu menghasilkan persoalan kedua. Sebab, jika melihat kinerja pemerintahan sebelumnya, berbagai peraturan dalam pengelolaan pendidikan tumpang tindih. Dalam pelaksanaan kurikulum, contohnya, kementerian membuat produk perundang-undangan yang mencangkokkan kelompok dalam sebuah struktural organisasi kepemerintahan yang sudah jadi. Hal itu dibuktikan dalam Keputusan Mendikbud Nomor 189/P/2013 tentang Unit Implementasi Kurikulum 2013.
Keputusan itu mengesahkan sekelompok orang untuk turut serta dalam struktur kepemerintahan yang sudah ada sehingga pekerjaan di bawah kementerian "diawasi" para individu tersebut.
Ketiga, kesesuaian antarperaturan dalam rangka melaksanakan kurikulum 2013 sangat lemah. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 53 Tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan menghasilkan program yang sama dengan nama yang berbeda pada tingkat di bawahnya. Alhasil, PermendikbudNomor 81A Tahun 2013 tentang implementasi kurikulum menghasilkan penafsiran yang beragam,dimulai dari istilah piloting, sekolah rujukan, implementasi, hingga pendampingan untuk merujuk pada pelaksanaan Kurikulum 2013.
Organisasi "liar"
Keempat, penerapan standar nasional pendidikan dilakukan melalui langkah-langkah di luar struktur kepemerintahan. Hal itu membawa implikasi terhadap kualitas pengelolaan sumber daya yang sudah ada di kementerian. Bukti, "tim bayangan" muncul kembali dalam penerapan standar nasional pendidikan. Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, peranmereka terlihat jelas. Misalnya, tentang Badan Standar Nasional Pendidikan yang harus mendapatkan "pengesahan" dari tim yang dibentuk menteri.
Kelima, penerapan peraturan perundang-undangan yang telah disusun sebagai strategi pendidikan masa depan tidak mendapatkan bukti yang memadai. Kementerian mengalami disorientasi "standar politik pendidikan". Apabila dilihat dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2013 Pasal 2 Ayat 1, terdapat delapan standar pendidikan, yakni (1) standar isi, (2) standar proses, (3) standar kompetensi lulusan, (4) standar pendidik dan tenaga kependidikan, (5) standar sarana dan prasarana, (6) standar pengelolaan, (7) standar pembiayaan, dan (8) standar penilaian pendidikan.
Berdasarkan standar tersebut, disorientasi pemerintah terletak pada prioritas pengembangan kompetensi gurudan tenaga kependidikan yang timpang.
Bukti, perbaikan kinerja guru dan tenaga kependidikan melalui Program Guru Pembelajar yang diluncurkan tahun ini oleh Anies Baswedan menimbulkan pertanyaan tentang prioritas politik pendidikan Indonesia. Guru diarahkan pada pengembangan pedagogik dan profesional melalui uji kompetensi guru (UKG), tetapi mengabaikan sikap mental dan sikap sosial. Hal itu tidak relevan dengan cita-cita kebangsaan yang hendak mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya.
Fakta tersebut menunjukkan, penambahan dana bagi pendidikan tidak memberikan jaminan dalam perbaikan orientasi politis pendidikan. Berdasarkan analisis kebijakan di atas, tampak lebih dari separuh dana tambahan dari legislatif itu dimanfaatkan untuk pengembangan tenaga kependidikan. Sementara itu, di sisi lain, tampak jelas pula bahwa pengembangan tersebut belum mendapatkan pijakan nalar yang memadai.
Jika kebijakan tidak diubah, kita tidak harus masygul bahwa dalam mewujudkan cita-cita nasional kita, sesungguhnya politik pendidikan di Indonesia masih jauh panggang dari api.
SAIFUR ROHMAN, PENGAJAR PROGRAM DOKTOR ILMU PENDIDIKAN DI UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar