Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 05 Agustus 2016

Pemilu dan Stagnasi Demokrasi (INDRA PAHLEVI)

Kurang dari tiga tahun, pemilu akan kembali digelar pada 2019. Berdasarkan pengalaman pemilu-pemilu sebelumnya, persiapan harus dilakukan setidaknya 2,5 tahun sebelumnya jika tak ingin kembali terulang pemilu amburadul dengan alasan mepetnya persiapan.

Apalagi tahun 2019 adalah pemilu pertama diselenggarakannya pemilu serentak berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, yaitu terselenggaranya pemilu untuk memilih anggota DPRD, DPR, dan DPD bersamaan dengan pemilu presiden dan wakil presiden. Persiapan paling mendesak adalah kerangka hukum pemilu, baik pemilu untuk memilih anggota DPRD, DPR, dan DPD serta pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden.

Saat ini masih berlaku dua UU tentang pemilu: (1) UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu untuk Memilih Anggota DPRD, DPR, dan DPD; (2) UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang sesungguhnya sudah out of date sejak Pemilu 2014.

Perlu segera dibahas

Kerangka hukum atau yuridis merupakan landasan bagi terselenggaranya sebuah perhelatan pemilu di suatu negara (Topo Santoso, 2004). Saat ini rencana perubahan atau bahkan penggantian UU pemilu (UU pileg dan UU pilpres) sudah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional 2015-2019. Permasalahannya, kapan RUU yang diberi nama RUU Penyelenggaraan Pemilu dan kemudian diperbarui menjadi RUU Kitab UU Pemilu akan dibahas?

Draf RUU itu sendiri dipersiapkan pemerintah, yang hingga Juli 2016 belum disampaikan secara resmi kepada DPR untuk dibahas bersama. Ada banyak hal yang menjadi isu krusial, terutama tentang sistem pemilu apakah tetap menggunakan sistem proporsional terbuka dengan pemahaman menggunakan urutan suara terbanyak untuk keterpilihannya atau kembali menggunakan sistem proporsional tertutup? Isu ini sangat krusial mengingat banyak kajian yang menyatakan sistem terbuka sangat rentan praktik politik uang dan persaingan tidak sehat, bahkan di antara calon satu partai politik di satu daerah pemilihan.

Jika merujuk pengalaman pembahasan UU No 8/2012, yang awalnya dinyatakan bahwa persiapan atau tahapan awal pemilu DPR sejak 2,5 tahun atau 30 bulan, tetapi akibat lamanya waktu pembahasan, maka UU No 8/2012 menyatakan persiapan dimulai 22 bulan sebelum penyelenggaraan pemilu. Tentu ini tak boleh terulang. Karena itu, pengajuan RUU pemilu harus segera dilakukan pemerintah dan pada sekitar Oktober 2016 sudah selesai dibahas dan diundangkan, dengan asumsi pemilu digelar pada April 2019.

Selain persoalan perlunya segera dibahas RUU tentang pemilu ini, persoalan penting yang harus diperhatikan adalah materi atau substansi RUU tersebut yang tidak lagi mengulangi kesalahan masa lalu ketika pemilu yang sangat liberal dan kapitalis, tetapi diselimuti nuansa oligarkis dalam internal setiap partai politik. Disebut liberal dan kapitalis karena yang berlaku "hukum pasar" ketika pencalonan hingga kampanye dan penentuan calon terpilih. Bahkan, kader terbaik di suatu partai pun terlempar karena kalah bersaing dengan "pendatang" yang lebih kuat, terutama dari sisi materi.

Namun, di sisi lain, sifat oligarkis sangat kuat. Tesis Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) Kemitraan untuk Pembaruan Tata Pemerintahan (Partnership) menyatakan, saat ini tidak ada demokrasi internal partai dalam proses penyusunan daftar calon anggota. Tak heran jika banyak calon anggota yang masuk dalam daftar berasal dari kalangan populer, baik artis, pengusaha, atau kalangan lainnya. Kondisi tersebut menunjukkan belum adanya proses demokrasi dalam tubuh partai politik itu sendiri, yang dampaknya pada hasil pemilu yang tidak terlalu menggembirakan. Sebab, mereka yang terpilih menjadi anggota DPR dari kalangan "pendatang" tersebut dinilai tidak cukup siap dengan kerja-kerja politik serius, seperti legislasi dan anggaran dibandingkan para kader yang punya jam terbang magang politik di partai.

Karena itu, secara khusus pakar politik Ramlan Surbakti mengusulkan adanya pemilihan pendahuluan oleh setiap partai sebelum disusun daftar calon anggota yang sesungguhnya. Hal ini dimaksudkan agar pengambilan keputusan tentang pencalonan dilaksanakan secara inklusif, transparan, terbuka, dan demokratis. Persoalan di atas tentu akan berdampak pada pilihan atas sistem pemilu yang akan memberikan nilai bagi kualitas demokrasi di Indonesia apakah berkembang atau stagnan di tempat, yaitu tumbuh suburnya politik oligarkis. Pilihan sistem pemilu yang dapat diterapkan di Indonesia cenderung tetap menggunakan sistem proporsional representasi atau perwakilan berimbang sebagai basis. Namun, dalam implementasinya, kita masih disuguhkan atas berbagai varian yang tentu bisa kita pilih.

Beberapa varian sudah pernah kita coba, yaitu sistem daftar tertutup dan sistem daftar terbuka, serta terakhir sistem daftar terbuka berdasarkan urutan suara terbanyak untuk keterpilihannya. Dari sekian varian tersebut, sebenarnya mana yang paling cocok diterapkan? Sejatinya tak ada sistem pemilu terbaik di dunia. Salah satu pertimbangan suatu negara menggunakan satu sistem pemilu adalah kondisi geopolitik dan budaya politik negara tersebut. Sebagai negara plural dan kepulauan, sistem perwakilan berimbang dirasa lebih cocok diterapkan di Indonesia.

Jika pun harus memilih salah satu, sesungguhnya sistem daftar tertutup patut dipertimbangkan kembali secara matang, dengan syarat harus terjadi proses demokratisasi di internal partai, terutama dalam proses nominasi calon. Jika memang belum mampu mengatur partai politik dalam UU pemilu terkait proses pencalonan, sistem daftar terbuka dengan urutan suara terbanyak masih layak dikedepankan dengan perbaikan mekanisme penghitungan perolehan kursi serta alokasi kursi di tiap daerah pemilihan berkisar 3-6 kursi.

Degradasi kepercayaan

Disadari, hingga saat ini kondisi yang terjadi belum ideal meskipun UU pemilu sudah berupaya mengatur berbagai hal, termasuk proses pencalonan. Salah satu sebabnya tentu karena masih adanya persoalan dalam tubuh partai politik yang hingga saat ini masih diyakini sebagai salah satu pilar demokrasi. Partai politik memiliki kewajiban menyediakan kader-kader terbaik untuk dinominasikan sebagai calon anggota lembaga perwakilan dan kemudian melaksanakan tugas jadi wakil rakyat jika terpilih dengan tugas dan fungsi yang dimilikinya.

Saat ini partai politik mengalami degradasi kepercayaan publik. Partai politik masih dinilai oligarkis dan masih berpusat pada pimpinan pusat partai politik. Jika itu masih terus berlangsung, kekhawatiran terjadinya stagnasi demokrasi dalam pemilu akan terjadi. Atau, dalam istilah George Sorensen, dosen senior dalam bidang politik internasional di Universitas Aarhus, Denmark, sebagai frozen democracy(demokrasi beku).

Memang Sorensen mendefinisikan frozen democracy ini tidak secara khusus terkait pemilu, tetapi pada ketidakmampuan pemerintah yang berkuasa melakukan perubahan sosial politik yang mendasar sesuai tuntutan reformasi. Sorensen memperkenalkan konsep demokrasi beku yang menggambarkan kondisi masyarakat di mana sistem politik demokrasi yang sedang bersemi berubah jadi layu karena berbagai kendala yang ada.

Peran pemerintah, dalam hal ini, adalah mendesain sebuah sistem pemilu yang kompatibel dan baik melalui pengajuan RUU pemilu yang dipersiapkan sesuai dengan tuntutan reformasi, yaitu terciptanya DPR atau lembaga perwakilan yang kredibel, akuntabel, dan representatif, serta presiden/wakil presiden yang amanah. Salah satu yang harus dilakukan dan dicantumkan dalam RUU pemilu adalah tentang proses seleksi bakal calon anggota DPRD dan DPR di internal partai secara transparan dan terbuka.

Berbagai persoalan di atas harus menjadi perhatian, khususnya bagi pemerintah dan tentu fraksi-fraksi di DPR, pada saat pembahasan RUU pemilu mendatang. Selain untuk tidak membuat demokrasi stagnan, juga untuk meningkatkan kualitas partai politik dan tidak terjebak pada kejumudan seolah tidak mau berubah dan pada gilirannya publik atau rakyat hilang kepercayaan kepada partai politik.

UU pemilu mendatang harus benar-benar menjadi landasan bagi terselenggaranya pemilu yang tidak hanya "luber dan jurdil", tetapi juga berkualitas dan semakin tumbuhnya demokrasi yang substantif. Jadi, bukan sebaliknya, malah menjadi demokrasi yang stagnan atau bahkan demokrasi yang beku. Semoga.

INDRA PAHLEVI

Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Agustus 2016, di halaman 6 dengan judul "Pemilu dan Stagnasi Demokrasi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger