Dilihat dari sisi pemberantasan korupsi, sebenarnya supremasi sipil itu belum mewujud dalam lanskap sosial politik kita.
Buktinya, di bawah payung UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer (Permil), prajurit TNI yang melakukan tindak pidana korupsi diadili dalam lingkungan peradilan militer, bukan oleh peradilan sipil. Selain itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berkewenangan pun enggan mengadili prajurit TNI yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Akibatnya, tinggal institusi TNI saja yang selama ini belum tersentuh KPK.
Benturan kewenangan
Keengganan KPK itu bisa dan mudah dipahami. Pertama, sengaja KPK belum mau menggunakan kewenangannya mengusut korupsi prajurit TNI. Ada pertimbangan strategis dan taktis di balik keputusan itu. Pengusutan korupsi di tubuh TNI, apalagi melibatkan elite militer, barangkali akan menimbulkan resistensi yang bisa berujung pada konflik. Mirip seperti ketika KPK menangani kasus korupsi yang melibatkan elite Polri.
Rangkaian konflik cicak versus buaya itu bukan hanya menguras energi, melainkan juga mengganggu agenda pemberantasan korupsi secara keseluruhan. Para komisioner dan awak KPK kelihatannya belum sanggup memikul risiko politik dan keamanan kalau terjadi konflik dengan TNI. Konflik dengan polisi dan politisi di Senayan saja sudah sangat merepotkan, apalagi kalau harus ditambah dengan konflik dengan TNI.
Kedua, ada benturan kewenangan peradilan umum dan peradilan militer. Masih ingat kasus hukum yang pernah menjerat Ginandjar Kartasasmita (GK)? Alkisah, Kejaksaan Agung pada Maret 2001 menyatakan GK sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi technical assistance contract (TAC) antara Pertamina dan PT Ustraindo Petrogas. Kasus ini berawal dari Pertamina yang mengontrak PT Ustraindo untuk mengoperasikan lapangan minyak Bunyu, Prabumulih, Pendopo, dan Jatibarang. Ternyata PT Ustraindo tidak mempunyai kemampuan teknis dan keuangan memadai sehingga gagal memenuhi kewajibannya.
Kontrak ini dianggap telah merugikan negara Rp 24,8 miliar. Kemudian Jaksa Agung Abdurachman Saleh mengeluarkan surat perintah penghentian penyididikan (SP3) sehingga GK, Faisal Abda'oe (Dirut Pertamina), dan Praptono Honggopati Tjitrohupojo (Dirut PT Ustraindo) melenggang kangkung. Keputusan pengeluaran SP3 ini coba ditinjau lagi pada periode Jaksa Agung Hendarman Supandji. Namun, tak berlanjut karena tim peninjau yang dibentuk untuk itu dipimpin Harkristuti Harkrisnowo menganggap tak ada bukti baru.
Dalam proses yudisial itu, GK menolak diperiksa Kejaksaan Agung sebagai saksi. Ia berdalih Kejaksaan Agung harus mendapat persetujuan Panglima TNI untuk memeriksanya. Dalih ini juga dipakai hakim ketika mengabulkan gugatan praperadilan GK. Hakim memutuskan penyidikan dan penahanan GK harus dilakukan sesuai UU No 31/ 1997 tentang Peradilan Militer (Permil). Sebab, saat GK menjabat sebagai menteri pertambangan dan energi serta komisaris wakil pemerintah di Pertamina, dia masih aktif sebagai prajurit TNI dengan pangkat marsekal madya TNI AU. Sangat mungkin KPK akan menghadapi persoalan yang mirip yang dialami Kejaksaan Agung dalam mengusut kasus korupsi yang melibatkan prajurit TNI.
Kedua alasan ini tampak sangat logis sehingga keputusan KPK tidak mau mengusut kasus korupsi yang melibatkan prajurit TNI tersebut bisa diterima. Namun, sampai kapan opsi ini bisa dipertahankan sementara kebutuhan mengendalikan risiko korupsi di tubuh Kemhan/TNI makin mendesak? Studi terbaru Transparansi Internasional-Inggris (TI-UK) yang baru saja diliris menunjukkan risiko korupsi di tubuh Kemhan/TNI masih tinggi (band D). Sebelumnya, risiko korupsi di tubuh Kemhan/TNI masih sangat tinggi (bandE).
Untuk menekan risiko korupsi ditubuh Kemhan/TNI ke tingkat yang lebih moderat (band C), rendah (B) atau sangat rendah (band A), perlu melibatkan KPK, baik dalam pencegahan maupun penindakan. Tingginya risiko korupsi tersebut di antaranya disebabkan absennya supremasi sipil dalam lanskap sosial politik dan hankam kita.
Revisi UU Peradilan Militer
Untuk mengakhiri keengganan KPK dan penegak hukum lain mengusut kasus korupsi di tubuh Kemhan/TNI, kita harus merevisi UU Permil. Dengan revisi ini, nantinya prajurit TNI juga tunduk pada rezim peradilan sipil. Tentara yang melanggar hukum militer diadili di pengadilan militer, yang melakukan tindak pidana umum diadili di peradilan umum. Langkah untuk merevisi UU Permil sebenarnya mempunyai landasan normatif sangat kuat. Ketetapan MPR No VII/2000 dan UU TNI No 34/2004 menyebut prajurit TNI tunduk pada kekuasaan peradilan militer dalam pelanggaran hukum militer dan tunduk pada peradilan umum dalam pelanggaran pidana umum.
Sayangnya, proses politik upaya merevisi UU Permil ini justru mengalami kemunduran. DPR periode 2004-2009 sebenarnya sudah melangkah lebih jauh dengan membentuk pansus revisi UU ini. Pembahasan di tingkat pansus saat itu masih menyisakan tujuh daftar inventaris masalah (DIM). DIM paling alot memang menyangkut perubahan klausul tindak pidana prajurit TNI yang tadinya diadili di peradilan militer kemudian harus diadili di peradilan umum.
Langkah mundur terjadi pada periode 2009-20014 ketika DPR dan pemerintah tidak mengagendakan revisi UU Permil dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Demikian juga DPR periode 2014-2019, sudah dua tahun berturut-urut (2015 dan 2016) tidak memasukkan revisi UU Permil dalam agenda Prolegnas.
Apakah kemunduran proses politik ini berarti hilangnya momentum untuk mereformasi peradilan militer, dusmereformasi sektor pertahanan? Tidak juga. Ada banyak momentum dalam kehidupan, baik yang datang dengan sendirinya maupun yang diciptakan. Makin kuatnya posisi politik dan pengaruh Presiden Jokowi juga momentum yang perlu dimanfaatkan.
Setelah anggota Koalisi Merah Putih rontok satu-satu dan sekarang sebagian besar kekuatan politik bertawaf mengorbiti Presiden Jokowi , tak ada lagi kekuatan politik yang signifikan menghalangi agenda reformasi sektor pertahanan. Kita harus memanfaatkan momentum ini dengan melobi Presiden Jokowi sebagai Panglima Tertinggi TNI untuk memimpin pengendalian risiko korupsi di tubuh militer.
Ada empat langkah yang perlu dilakukan Presiden Jokowi dalam konteks tersebut. P ertama, memperbaiki transparansi dan akuntabilitas anggaran pertahanan dan keamanan, termasuk di dalamnya men-disclosure detail anggaran militer kepada publik, mengendalikan dana-dana nonbujeter, dan mengendalikan bisnis legal (apalagi ilegal) militer.
Kedua, memperbaiki transparansi dan akuntabilitas pengadaan alutsista, termasuk di dalamnya membuka informasi kepada publik tentang rencana pengadaan alutsista, meminimalkan peran broker, hanya membeli alutsista baru, membeli alutsista dari pabrikan alutsista yang berkomitmen tinggi pada pemberantasan korupsi dan lain-lain. Dua langkah itu merupakan tindakan pencegahan korupsi.
Langkah ketiga dan keempat adalah langkah yang bisa diambil Presiden dalam arena penindakan. Yakni, ketiga, meningkatkan integritas dan efektivitas peradilan militer sehingga publik percaya bahwa peradilan militer bukan sarana impunitas bagi prajurit TNI yang melanggar hukum militer dan hukum pidana. Pada 2013, kepercayaan publik pada institusi peradilan militer sebenarnya pernah tumbuh menguat ketika sukses mengadili kasus korupsi penjualan aset TNI yang melibatkan mantan Pangdam V/Brawijaya, Letjen DS, yang divonis empat tahun penjara.
Sejak saat itu belum ada lagi momen yang bisa menumbuhkan kepercayaan publik pada integritas peradilan militer dalam penanganan kasus korupsi. Publik kemudian menilai pengadilan kasus korupsi DS hanya kekecualian, bukan gejala umum.
Keempat, ini yang paling berat, mengambil inisiatif merevisi UU Permil dengan meyakinkan Kemhan/TNI dan tentu saja DPR untuk kembali menempuh jalan ini. Kalau UU ini sukses direvisi, minimal KPK akan lebih leluasa mengusut kasus korupsi yang melibatkan prajurit TNI. Masih sulit diharapkan kepolisian atau kejaksaan ikut ambil bagian mengendalikan korupsi di tubuh TNI karena mereka sendiri masih menghadapi problem defisit integritas cukup serius.
Kalau Presiden berani mengalihkan subsidi BBM, menolak permintaan negara sahabat menunda eksekusi mati terpidana narkoba, menenggelamkan kapal-kapal pencuri ikan, dan mengambil alih kontrol ruang udara dari Singapura, mestinya ia juga berani dan serius mengambil keempat langkah itu. Kalau sukses melakukan ini, Jokowi akan memberikan sumbangan yang berarti pada pembangunan demokrasi dan supremasi sipil.
DEDI HARYADI
Deputi Sekjen Transparansi Internasional Indonesia
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Agustus 2016, di halaman 6 dengan judul "Pemberantasan Korupsi dan Supremasi Sipil".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar