Pertemuan dimaksudkan untuk merumuskan agenda dan usulan-usulan yang akan dibawa dan disahkan di Quito, Ekuador, pada Oktober 2016, akan jadi rujukan bagi pembangunan kota-kota di dunia, termasuk Indonesia (Kompas, 25/7).
Untuk itu, menarik sekali menyimak dan membandingkan pergeseran "pangkal berpikir" atau "alam pikiran" yang memayungi substansi dari Habitat I-Vancouver (1976), Habitat II-Istanbul (1996), dan Habitat III-"Surabaya"-Quito (2016). Selama 40 tahun (1976-2016), Habitat merupakan forum sekaligus institusi dunia (PBB) yang sangat berwibawa dan berpengaruh dalam bidang pembangunan permukiman, perumahan, perkotaan, dan lingkungan hidup.
Dari struktural ke kultural
Pada Habitat I, nuansa pikiran yang mendasari sekaligus memayungi Deklarasi Habitat I (1976) sangat jelas, yakni menyatakan bahwa sumber masalah habitat (ruang hidup manusia kota-permukiman) disebabkan oleh persoalan global sehingga harus menjadi tanggung jawab global. Pemikiran ini barangkali mendapat pengaruh dari deklarasi The Club of Rome (1972), di mana negara-negara maju pengguna energi terbesar dunia harus bertanggung jawab terhadap dampak global yang dihasilkannya.
Kata-kata kunci seperti inequitable economic growth, disparities,danunharmonious integration telah jadi kesadaran global sebagai penyebab utama persoalan yang dihadapi oleh kota-kota di dunia, khususnya kota-kota di dunia ketiga. Atas dasar itu, maka dengan percaya diri Habitat I-Vancouver menyatakan dengan tegas bahwaadequate shelter adalah basic human right.Pernyataan ini menegaskan masalah-masalah habitat (perkotaan) adalah produk dari masalah yang dihasilkan oleh struktur-struktur global. Tanpa adanya penegasan dan pemberian"hak permukiman yang layak", terutama kepada kaum miskin kota, maka kebijakan perkotaan apa pun tak akan membuat perubahan apa-apa.
Persoalan perkotaan adalah persoalan antara "yang kalah" dan "yang menang". Jadi, tidak mungkin "yang kalah" akan bangkit menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa adanya "intervensi" untuk memberi ruang dan kesempatan bagi "si kalah" bangkit. Maka, Habitat I-Vancouver (1976) sadar betul bahwa "hakshelter" yang juga bisa dibaca sebagai "hak berkota" adalah inti dari solusi masalah-masalah perkotaan, khususnya dunia ketiga.
Alam berpikir ini mengingatkan kita pada kisah seekor induk kucing yang memiliki tujuh anak, tetapi didapati yang tiga ekor mati kelaparan karena tak mampu bersaing dengan "kakak-kakak"-nya yang kuat dalam perebutan menyusu pada ibunya. Ketika "kakak-kakak"-nya sudah kekenyangan dan tertidur pulas, maka si kecil mendapati kantong air susu ibunya telah mengering. Kisah ini menegaskan bahwa "susu ibu kandung adalah hak bagi semua anak kucing" dan "hak menyusu" ini harus diberikan melalui intervensi dari kekuatan superior (pemilik kucing). Dalam kisah kucing malang ini terdapat struktur yang berkuasa dan yang dipinggirkan, sama dengan apa yang terjadi di perkotaan.
Habitat II-Istanbul (1996) merupakan penegasan dan penajaman dari Habitat I-Vancouver (1976). Kata kunci adequate shelter telah dipertegas menjadiadequate shelter for all. Kata kunciwomen dan displaced people dipertegas menjadi contribution of women and vulnerable social groups. Pendek kata, Habitat I dan Habitat II memiliki pangkal berpikir atau alam berpikir yang sama, yakni bahwa persoalan perkotaan adalah persoalan struktural, sehingga solusinya harus dilakukan dengan pendekatan struktural juga. Caranya dengan menekankan "hak permukiman" atau "hak berkota" menjadi inti dari solusi perkotaan.
Namun, pada Habitat III, walaupun substansinya masih dalam proses perumusan saat ini di Surabaya dan nantinya baru akan dideklarasikan pada Oktober di Quito, nuansa atau suasana berpikir Habitat III sudah terasa bergeser meninggalkan "semangat dasar" Habitat I dan II. Hal ini tampak dari Issue Papers Nomor 15 tentang Urban Resilience, yang tampaknya akan jadi salah satu agenda unggulan Habitat III. Kata-kata kunci dari konsep Urban Resilience (UR)adalah:individuals, communities and business. Di belakangnya boleh diberi kata-kata pemanis apa pun, termasuksustainability, holistic, integrated urban system, driver of development, dan sebagainya.
Kota negara kepulauan
Melalui konsep UR, Habitat III meletakkan individu, komunitas, dan bisnis sebagai inti atau fokus dari solusi perkotaan. Dengan demikian, agenda Habitat telah bergeser dari pendekatan "global-struktural" menjadi "lokal-kultural". Dengan perkataan lain, dalam payung berpikir Habitat III, persoalan-persoalan perkotaan diyakini lahir karena produk dari situasi dan kondisi lokal, yang tidak lain adalah produk dari persoalan kultural yang sifatnya lokal. Persoalan perkotaan, menurut Habitat III, kiranya bukan merupakan produk dari struktur global yang pincang, yang terkenal dengan sebutan disparitas.
Bagi Habitat III, struktur global tidak bisa dipersalahkan karena sumber kesalahan ada di tingkat lokal dan bersemayam dalam kodrat-kodrat kultural dan subkultural sehingga tanggung jawab harus dibebankan kepada aktor-aktor lokal: individu, komunitas, bisnis. Dalam payung berpikir seperti ini, fokus dari agenda Habitat III adalah "peningkatan kapasitas" dari individu, komunitas, dan bisnis.
Dalam konteks negara kepulauan, pendekatan "lokal-kultural" akan sangat cocok untuk menguatkan bentukan-bentukan budaya kota dan nilai-nilai yang bersifat local identities (sejarah, warisan, dan budaya). Namun, untuk persoalan-persoalan perkotaan yang kompleks, apalagi mengenai perubahan iklim, kota-kota kepulauan kita tidak bisa dibiarkan untuk mengatasinya sendirian. Kasus terendamnya Kampung Tambak Lorok di Semarang pada saat air pasang hanya bisa diatasi oleh warga secara eceran-tambal sulam. Ironisnya, ini jadi pujian tentang contoh "ketahanan kota".
Perubahan iklim yang akan mengancam tenggelamnya kota-kota di kepulauan Indonesia harus menjadi tanggung jawab global sehingga struktur-struktur global yang berkuasa harus diintervensi untuk tidak nakal semaunya sendiri menebarkan eksternalitas yang dapat berkontribusi terhadap pemanasan global. Dalam hal ini, konsep UR akan terpelanting hanya menjadi abdi peneguh "emoh-nya" (Jawa) struktur global untuk bertanggung jawab terhadap persoalan-persoalan perkotaan, karena tanggung jawab perkotaan sudah difokuskan ke individu-individu, komunitas, dan kalangan bisnis.
Tokoh-tokoh perkotaan Indonesia banyak yang hadir dalam perhelatan besar PrepCom Habitat III di Surabaya. Kepada beliau-beliau disandarkan harapan besar agar arah berpikir, suasana berpikir, dan pangkal berpikir Habitat III masih dapat dipengaruhi dan disadarkan lagi untuk kembali pada semangat dasar Habitat I dan Habitat II. Bahwa, persoalan habitat adalah persoalan global bersama.
Logo lama Habitat yang menunjukkan manusia, shelter, bola dunia, dan padi sangat jelas menggambarkan bahwa persoalan shelter adalah persoalan global dan mengait dengan distribusi kesejahteraan global. Mudah-mudahan ada peserta Indonesia di PrepCom Habitat III yang mencermati hal ini.
SUDARYONO, GURU BESAR DEPARTEMEN ARSITEKTUR DAN PERENCANAAN KOTA, FT-UGM
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Agustus 2016, di halaman 7 dengan judul "Habitat III dan Dialektika Global-Lokal".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar