Terorisme tak saja mengancam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, juga telah menimbulkan tragedi terhadap kemanusiaan. Kejahatan terorisme telah berkembang sejak berabad lampau. Kini muncul fenomena baru aksi terorisme, yaitu self radicalization atau lone wolf, istilah untuk teror "serigala" tunggal. Aksi teror bom Thamrin pada awal 2016 dapat menjadi contoh dari fenomena tersebut.
Sebelumnya, terorisme menggunakan pola perekrutan melalui jalur kekeluargaan, pertemanan, ketokohan, dan atau lembaga keagamaan. Pola tersebut menjadi usang dengan kehadiran dunia maya (internet). Kini, kelompok- kelompok radikal mulai menggunakan pola baru dalam menyebarkan propaganda dan merekrut pengikut dengan menggunakan perangkat dunia maya, seperti situs webdan jejaring sosial media dalam beragam perangkat telepon pintar.
Fenomena tersebut tidak lepas dari perkembangan teknologi-informasi dan sosial media yang memberikan informasi tanpa batas, dapat diakses siapa saja dan di mana saja. Semua kalangan bisa dengan mudah mengakses hingga memungkinkan proses radikalisasi dan terorisme dipahami hanya melalui media internet, tanpa perlu kehadiran nyata sosok pembimbingnya.
Internet sudah menjadi santapan sehari-hari. Meski beragam manfaat yang dapat diperoleh, tidak sedikit yang terjebak dalam absurditas, krisis kepribadian, dan nasionalisme sebagai bangsa Indonesia tenggelam dalam berbagai "realitas kedua" yang dihadirkan media internet. Banyaknya pesan kebencian dan ajakan-ajakan kekerasan di dunia maya saat ini telah berada dalam tahap yang sudah sangat meresahkan.
Beberapa langkah strategis
Perkembangan internet dan media sosial memberikan dampak negatif dan positif terhadap dinamika terorisme dan penanggulangannya. Teknologi informasi dimanfaatkan jaringan terorisme untuk mempermudah operasinya. Sisi positifnya, teknologi informasi ini dapat digunakan untuk memperkuat sistem manajemen penanggulangan terorisme bagi negara dan pemerintah. Oleh karena itu, popularitas era media sosial menjadi kegelisahan sekaligus tantangan untuk mendayagunakannya dalam upaya menanggulangi terorisme.
Dalam mengisi era media sosial tersebut, pesan berantai yang perlu diteruskan: terorisme bertentangan dengan hakikat kemanusiaan. Tindakan teroris itu tak dibenarkan oleh agama apa pun sehingga tidak ada lagi kebencian terhadap agama lain, aparat, lingkungan, warga sipil, dan bangsa lain.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) akan terus melakukan deteksi, penangkalan, pencegahan dan tindakan dini terhadap segala ancaman terorisme. Sebagaimana arah kebijakan BNPT dalam Rencana Strategis 2015-2019, yang telah ditetapkan, BNPT akan menguatkan beberapa langkah strategis.
Pertama, meningkatkan kegiatan-kegiatan kontraradikalisasi dan deradikalisasi. Program kontraradikalisasi ditujukan kepada masyarakat agar tidak terpengaruh pada kelompok-kelompok radikal yang cenderung berkembang. Langkah ini bertujuan meningkatkan daya tangkal dan kewaspadaan masyarakat terhadap terorisme. Adapun deradikalisasi dilaksanakan kepada pelaku ataupun keluarga dan simpatisan. Deradikalisasi bertujuan meminimalkan niat dan kapabilitas pelaku atau kelompok terorisme untuk melaksanakan aksinya, aktif menetralisasi ideologi radikal agar jadi moderat, dan mengubah pemikiran radikal individu atau kelompok yang telah terekspose paham radikal agar dapat kembali moderat. Tidak mudah mengubah pola pikir mereka yang terjaring dalam radikalisme. Meskipun demikian, upaya-upaya melalui pendekatan lunak tetap dilaksanakan di samping pendekatan yang keras untuk penindakan dan sebagainya.
Kedua, meningkatkan program penanggulangan terorisme melalui pelatihan dan pembinaan penanggulangan terorisme kepada aparat negara dan masyarakat sipil, terutama melalui sosialisasi dan edukasi bagi generasi muda dalam memanfaatkan dunia maya (internet). Sebagaimana data yang diperoleh bahwa rentang usia 15-25 tahun merupakan titik rawan dalam menunjukkan eksistensi diri sehingga dapat dengan mudah terpengaruh paham radikal. Berbagai pelaku aksi teror berada dalam rentang usia tersebut. Karena itu, sosialisasi dan pelatihan yang diberikan kepada generasi muda akan jadi penangkal dari propaganda terorisme, bahkan mereka bisa menjadi mitra dalam menyebarkan perdamaian, baik di media sosial maupun di lingkungan nyata di mana mereka berada.
Perlu bersinergi
Ketiga, meningkatkan kerja sama internasional penanggulangan terorisme, baik yang bersifat regional, multilateral dan global. Menimbang bahwa jaringan terorisme memiliki afiliasi dengan jaringan regional dan internasional, maka perlu memperkuat hubungan dan kerja sama internasional secara bilateral ataupun multilateral.
Keempat, sinergitas antar-instansi pemerintah terkait dalam penanggulangan terorisme. Langkah ini akan mempersempit ruang gerak pelaku kegiatan terorisme. BNPT akan terus bersinergi dengan instansi berwenang untuk meningkatkan penertiban dan pengawasan terhadap lalu lintas orang dan barang di bandara, pelabuhan laut, dan wilayah perbatasan, termasuk lalu lintas aliran dana, baik domestik maupun antarnegara.
Kompleksitas permasalahan terorisme mengindikasikan bahwa penyelesaiannya tak akan dapat dilakukan oleh satu instansi saja. Oleh karena itu, BNPT akan meningkatkan sinergitas terhadap semua potensi sumber daya negara (suprastruktur, infrastruktur, dan substruktur). Hal ini mengingat pada dasarnya penanggulangan terorisme tidak hanya terkait penindakan, tetapi juga terkait dengan aspek lain yang harus melibatkan instansi lain. Misalnya, kerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri, serta Kementerian Sosial.
Selain itu diperlukan pemangku kepentingan, seperti organisasi masyarakat, sekolah, kampus, pemuka agama, dan tokoh masyarakat. Dukungan dan komitmen segenap elemen masyarakat menjadi modal terpenting dalam keberhasilan dan efektivitas penanggulangan terorisme.
SUHARDI ALIUS, KEPALA BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME
Tidak ada komentar:
Posting Komentar