Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 04 Agustus 2016

TAJUK RENCANA: Ankara, Washington DC, dan Brussels (Kompas)

Perkembangan politik di Turki pasca kudeta gagal 15 Juli lalu berimbas pada relasi negara ini dengan internasional, terutama dengan AS dan Uni Eropa.

Kecurigaan adanya "keterlibatan asing" (baca AS) dalam kudeta gagal itu memengaruhi relasi Ankara-Washington DC. Seperti diberitakan, Presiden Recep Tayyip Erdogan melakukan pembersihan habis-habisan terhadap semua aspek masyarakat di Turki yang dianggap punya kaitan dengan Fethullah Gulen, rival Erdogan yang sudah 15 tahun berada di pengasingan AS, dan resmi dituduh sebagai dalang kudeta.

Sudah belasan ribu orang ditahan, mulai dari tokoh militer, hakim, jaksa, guru, wartawan, sampai pengusaha. Sudah ribuan organisasi dibubarkan, mulai dari sekolah, media, pabrik, yayasan, sampai rumah sakit. Erdogan pun berencana menerapkan kembali hukuman mati yang sudah dihapus pada 2004.

Itu pun masih belum cukup untuk membuat Erdogan merasa aman. Ia ingin Gulen diekstradisi ke Turki. Keengganan AS menanggapi permintaan ini memunculkan dugaan—dan sudah menjadi tuduhan—bahwa AS dan CIA berada di belakang upaya kudeta. Jajak pendapat di Turki menunjukkan, mayoritas rakyat Turki memercayai "teori konspirasi" ini. Otoritas Ankara memang belum resmi menuduh AS, tetapi juga tak membantah. Strategi ini menjadi daya tekan agar AS mengekstradisi Gulen.

Dengan tetangganya, Uni Eropa, hubungan menjadi lebih pelik karena UE dan Turki memiliki perjanjian migran yang disepakati Maret lalu. Turki antara lain akan mencegah migran yang berupaya menyeberang ke Yunani. Imbalannya, Turki memperoleh 8 miliar euro, warganya akan memperoleh bebas visa ke UE, dan diaktifkannya kembali pembicaraan keanggotaan Turki di UE.

Namun, perkembangan politik di Turki, termasuk pembersihan lawan politik dengan cara yang diduga melanggar HAM, serta rencana penerapan kembali hukuman mati, membuat UE khawatir. UE menyatakan, jika hukuman mati diberlakukan, pembicaraan keanggotaan Turki tidak akan dilanjutkan. Erdogan membalas dengan mengancam akan membatalkan kesepakatan migran UE-Turki dan tidak akan mencegah pengungsi menyeberang ke Yunani.

Aksi teror yang melanda Perancis dan Jerman sepanjang Juli lalu makin memperumit posisi UE terkait migran. Singkatnya, Eropa semakin membutuhkan Turki untuk menghentikan banjir pengungsi. Namun jangan lupa, perekonomian Turki pun sebetulnya bergantung pada Eropa.

Dengan kata lain, saat ini tak ada kekuatan yang bisa berdiri sendiri. Para pemimpin dunia tentunya menyadari kebuntuan solusi hanya bisa diselesaikan lewat perundingan yang saling menghormati dan bukan lewat ancaman atau gertakan. Semangat ini semoga bisa menjembatani Ankara, Brussels, dan Washington DC.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Agustus 2016, di halaman 6 dengan judul "Ankara, Washington DC, dan Brussels".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger