Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 09 Agustus 2016

TAJUK RENCANA: Demokrasi Mundur 23 Tahun (Kompas)

Disetujuinya draf konstitusi yang diajukan pemerintah junta militer Thailand dapat dikatakan bahwa rakyat Thailand menerima kembali militer ke politik.

Dalam referendum yang diadakan pada Minggu (7/8), sebanyak 61,5 persen memilih ya, atau menyetujui, draf konstitusi yang diajukan pemerintah junta militer Thailand. Padahal, salah satu klausul draf konstitusi itu menetapkan, junta militer akan menunjuk anggota Senat, dengan mencadangkan kursi untuk para komandan militer yang akan mengawasi anggota parlemen yang dipilih lewat pemilihan umum.

Tujuannya agar para komandan militer itu dapat menjamin setiap perubahan dilaksanakan, dan pada saat yang sama juga menjamin bahwa pemerintah terpilih akan mengerjakan tugas sesuai dengan apa yang dibebankan kepada mereka. Bahkan, Kepala Dewan Keamanan Nasional Thailand Jenderal Thawip Netniyom mengatakan, "Para komandan militer itu akan melakukan apa yang disebutkan sebagai 'baby sitting' (mengasuh bayi)."

Kita heran melihat bahwa rakyat Thailand, tiga hari lalu, dapat menerima kembali kehadiran militer di parlemen. Mengingat 23 tahun lalu, tahun 1993, mayoritas rakyat Thailand meminta agar militer mundur dari parlemen. Mereka menganggap militer sebagai penghalang terwujudnya demokrasi di Thailand. Adalah Panglima Angkatan Darat Thailand Jenderal Wimol Wongwanich yang memutuskan untuk mengakhiri peranan militer di politik. Wimol tidak lagi menuntut jatah kursi bagi militer di Senat.

Pertanyaan kita adalah mengapa rakyat Thailand menerima kembali sesuatu yang mereka perjuangkan dengan susah payah 23 tahun lalu? Apalagi, kita menyaksikan bahwa partai politik Thailand menolak draf konstitusi yang diajukan junta militer karena dinilai hanya ingin mengembalikan militer ke politik.

Setelah diikuti dengan saksama, dari data Komisi Pemilihan Umum Thailand, diketahui bahwa yang ikut berpartisipasi dalam referendum pada hari Minggu lalu hanya 55 persen dari 50 juta pemilih yang sah. Padahal, Komisi Pemilihan Umum Thailand menargetkan sebanyak 80 persen dari jumlah pemilih yang sah akan berpartisipasi dalam referendum. Jika saja 80 persen dari pemilih yang sah berpartisipasi dalam referendum, mungkin hasilnya akan lain.

Seperti juga di Indonesia, kalangan yang kritis, atau anti kemapanan, yang diharapkan bisa membawa perubahan, biasanya enggan berpartisipasi dalam pemilihan umum. Apa pun alasan yang mereka kemukakan. Ketika hasil pemilihan umum keluar, mereka terkejut karena ternyata mereka kalah. Sesal kemudian tidak ada gunanya. Itu sebabnya, jika ingin adanya suatu perubahan, sebanyak mungkin pemilih yang sah harus memberikan suaranya.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 Agustus 2016, di halaman 6 dengan judul "Demokrasi Mundur 23 Tahun".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger