Jumlah sekitar 12 persen penduduk yang belum memiliki kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) dari total 182,55 juta orang adalah angka yang besar. Pemerintah mengancam akan menonaktifkan data penduduk bersangkutan. Pengaktifan kembali hanya dapat dilakukan dengan mendatangi dinas kependudukan di kabupaten atau kota karena kecamatan atau kelurahan tidak memiliki akses pengaktifan data.
Dengan 22 juta orang belum merekam data kependudukan sementara batas waktu hanya tinggal satu bulan, muncul kekhawatiran akan ada penduduk yang tak memiliki data diri. Hal ini berakibat mereka tidak mendapat e-KTP dengan konsekuensi luas terhadap hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya mereka. Penduduk yang tidak memiliki KTP tidak dapat mengakses layanan publik, seperti rekening bank, surat izin mengemudi, paspor, dan jaminan sosial yang diselenggarakan negara. Tanpa e-KTP, warga juga terancam tidak dapat berpartisipasi dalam pembangunan demokrasi melalui pemilu.
Pada sisi pemerintah, menetapkan tenggat 30 September harus dilakukan karena merupakan perpanjangan waktu dari rencana semula, yaitu per 1 Januari 2015, saat semua orang seharusnya sudah menggunakan e-KTP.
Fakta di lapangan memperlihatkan, penyebab masih adanya warga belum merekam data diri bukan hanya karena ketidakpatuhan. Sebagian karena ketidaktahuan, yang lain akibat alat perekam data tak tersedia. Pada sisi lain, ternyata blangko e-KTP yang menjadi tanggung jawab pemerintah tak selalu tersedia.
Tidak kalah penting, belum terpenuhinya tujuan awal diadakannya e-KTP sebagai pengenal identitas tunggal warga negara saat peluncuran Februari 2011. Sampai hari ini, e-KTP belum otomatis menjadi acuan tunggal instansi pemerintah, badan usaha milik negara, dan swasta.
Situasi penyelenggaraan e-KTP tersebut memprihatinkan mengingat triliunan rupiah telah dibelanjakan untuk program ini. Juga mengingat pentingnya tersedia data akurat setiap warga negara untuk perencanaan pembangunan dan menjamin terpenuhinya hak dasar warga negara dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Kita menginginkan ada audit menyeluruh penyelenggaraan program e-KTP. Kita perlu mengetahui titik-titik lemah pelaksanaan program, memperbaiki, dan meminta pertanggungjawaban apabila ditemukan penyimpangan.
Kita tidak dapat berhenti hanya membereskan data 22 juta penduduk. Perlu melihat jauh ke depan, termasuk suatu saat membuat sistem data identitas tunggal penduduk sejak seseorang lahir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar