Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 01 September 2016

Amandemen Jalan Tengah (BAMBANG SADONO)

Istilah baku "reformulasi sistem perencanaan pembangunan nasional dengan model GBHN" sebenarnya berasal dari rekomendasi MPR RI periode 2009-2014, yang diwadahi dalam Keputusan Nomor IV Tahun 2014.

Selain soal GBHN, ada rekomendasi lain di antaranya melaksanakan penataan sistem ketatanegaraan Indonesia melalui perubahan Undang-Undang Dasar (UUD), dengan tetap berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum negara dan kesepakatan untuk tak mengubah Pembukaan, tetap mempertahankan bentuk negara kesatuan, mempertegas sistem pemerintahan presidensial, dan dilakukan secara adendum.  

Menurut Keputusan MPR IV/2014 , beberapa hal penting dalam sistem ketatanegaraan perlu ditata kembali,  antara lain penguatan MPR sebagai lembaga negara dengan kewenangan tertinggi;  penataan kewenangan DPD dalam pelaksanaan fungsi legislasi, anggaran, ataupun pengawasan; penegasan sistem pemerintahan presidensial melalui penyederhanaan sistem kepartaian;  penataan kewenangan Komisi Yudisial (KY); penataan kembali kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK); penataan kewenangan Mahkamah Agung (MA).  Hal lain yang direkomendasikan, penataan sistem perekonomian nasional berbasis demokrasi Pancasila; penegasan pembentukan UU untuk lembaga negara yang diatur UUD secara terpisah, terutama MPR, DPR, dan DPD.

Dalam rekomendasi MPR RI 2009-2014 juga sudah diingatkan situasi politik di sekitar isu perubahan UUD. Pertama, aspirasi yang menganggap UUD perlu disempurnakan untuk mengikuti dinamika perkembangan masyarakat. Kedua, aspirasi yang berpendapat kurang tepat apabila saat ini dilakukan perubahan kembali. Ketiga, aspirasi yang kurang setuju amandemen yang  sudah atau dilakukan, dan ingin kembali UUD 1945 sebelum diamandemen.

Lima isu strategis

MPR RI periode 2014-2019 membentuk Badan Pengkajian beranggotakan 45 orang, terdiri dari semua fraksi dan kelompok DPD. Berdasarkan rekomendasi MPR itulah kemudian disusun rencana strategis agar jelas arah pengkajiannya. Rekomendasi  dikelompokkan ke dalam 15 isu: (1) penegasan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara; (2) penguatan sistem demokrasi Pancasila; (3) penataan sistem hukum berdasarkan Pancasila; (4) penguatan kelembagaan MPR; (5) laporan kinerja lembaga-lembaga negara pada Sidang Tahunan MPR); (6) menegaskan materi dan status hukum ketetapan MPRS/MPR; (7) penguatan sistem presidensial.

Kemudian, (8) reformulasi sistem perencanaan pembangunan nasional dengan model GBHN; (9) penataan sistem perekonomian nasional; (10) penguatan kewenangan DPD; (11) mengkaji TAP MPR No I/MPR/2003, terutama tentang   Pencabutan Ketetapan MPR RI No II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila  dan penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara; (12) penetapan UU tersendiri tentang MPR, DPR, dan DPD; (13) penataan kewenangan KY; (14) penataan kewenangan MA; dan (15) penataan kewenangan MK.

 Di tengah perjalanan pengkajian respons masyarakat mulai bermunculan, misalnya reformulasi GBHN yang diusulkan Forum Rektor dan kemudian diperkuat keputusan politik PDI-P. Penguatan MPR juga pernah disinggung mantan Presiden RI Megawati Soekarnoputri. Penataan DPD juga menjadi wacana tokoh masyarakat dan pimpinan parpol. Termasuk respons internal yang sering dikemukakan pimpinan MPR agar pengkajian memberikan perhatian lebih mengenai wacana pengembalian GBHN sebagai haluan negara. Karena itu, Badan Pengkajian kemudian menyederhanakan 15 topik pengkajian ke dalam lima isu pokok: (1) revitalisasi dan reaktualisasi Pancasila sebagai dasar negara, ideologi bangsa dan negara, dan sumber hukum nasional; (2) penataan kewenangan MPR; (3) reformulasi sistem perencanaan pembangunan nasional model GBHN; (4) penataan kewenangan DPD; dan (5) penataan kekuasaan kehakiman.

Walau laporan Badan Pengkajian yang sudah disampaikan pada rapat gabungan 22 Agustus lalu memberikan penekanan pada reformulasi sistem perencanaan pembangunan nasional model GBHN dan penataan kewenangan MPR, juga dimuat hasil pengkajian mengenai penataan kewenangan DPD, penataan kekuasaan kehakiman, serta revitalisasi dan reaktualisasi Pancasila. Masukan Badan Pengkajian tersebut  diperoleh dari sejumlah kegiatan, seperti seminar,  temu pakar, temu tokoh; workshopketatanegaraan; focus group discussion; diskusi kebangsaan,  penyerapan aspirasi masyarakat termasuk ketika melaksanakan kegiatan Sosialisasi Empat Pilar MPR oleh anggota MPR; dan hasil kajian lembaga pengkajian.

Hasil kajian

Secara garis besar, hasil kajian mengenai sistem perencanaan pembangunan nasional model GBHN seperti berikut. Pertama, haluan negara diperlukan sebagai pemandu arah pelaksanaan pembangunan nasional yang berkesinambungan. Kedua, perencanaan pembangunan model GBHN diperlukan sebagai  integrasi sistem perencanaan pembangunan nasional dan daerah. Ketiga, diperlukan sistem perencanaan pembangunan berbasis kedaulatan rakyat. MPR dinilai sebagai lembaga yang paling tepat   untuk menghasilkan haluan negara yang berisi perencanaan pada tataran strategis.  Keempat,  Garis-garis Besar Haluan Negara dipandang   urgen  untuk memastikan bahwa proses pembangunan nasional merupakan manifestasi dan implementasi dari ideologi negara dan falsafah bangsa Pancasila.

Sementara bentuk hukum produk GBHN yang paling banyak didukung adalah ketetapan MPR. Walaupun ada yang mengusulkan agar GBHN diangkat dalam konstitusi, dan ada juga yang mengusulkan cukup dimuat dalam UU saja. Juga diusulkan agar ketetapan MPR tentang GBHN bisa dijadikan sebagai batu uji bagi dokumen perencanaan pembangunan yang lebih rendah statusnya, misalnya yang dibentuk melalui UU.

Mengenai sanksi hukum jika GBHN tidak dilaksanakan pemerintah atau lembaga negara lain masih bervariasi. Ada yang menganggap GBHN sebagai produk hukum harus diawasi dan jika tidak dilaksanakan atau dilaksanakan tetapi menyimpang, bisa diberi sanksi hukum. Namun, ada yang menganggap GBHN sebagai dokumen politik sehingga sanksinya akan bersifat politis, misalnya tidak dipilih lagi dalam pemilu berikutnya. Walaupun tidak dominan, ada juga yang tidak setuju dikembalikannya produk model GBHN karena dianggap bertentangan dengan sistem pemerintahan presidensial.

Kesimpulan pengkajian mengenai penataan MPR RI, walaupun diwarnai perdebatan mengenai mengembalikan kewenangan sebagai lembaga tertinggi negara atau tidak, tetapi ada aspirasi yang kuat untuk memberikan kewenangan kepada MPR untuk membuat ketetapan MPR yang bersifat mengatur. Dengan kewenangan ini, MPR bisa menetapkan haluan negara seperti GBHN. Walaupun ada yang berpendapat, sebelum amandemen pun, tidak ada pengaturan kewenangan MPR membuat ketetapan, tetapi dalam praktik bisa dilakukan.

Inti rekomendasi mengenai penataan DPD RI untuk memberi kewenangan di bidang legislasi, pengawasan, dan anggaran secara penuh, walaupun terbatas pada bidang yang berkaitan dengan penguatan otonomi daerah. Penataan KY diarahkan untuk memberi  kewenangan  agar lebih efektif  dalam mencegah dan memberantas judicial corruption atau mafia peradilan di Indonesia, termasuk pengawasan, dan terlibat perekrutan semua hakim di seluruh lembaga peradilan.

Sementara MK diberi wewenang untuk menguji perkara pengaduan konstitusional(constitutional complaint), dengan mengatur legal standing yang lebih rinci jika diajukan warga negara secara perseorangan. Penegasan posisi Pancasila diarahkan Pancasila harus menjadi dasar  sumber dari segala sumber hukum positif harus menjadi acuan utama dalam penyusunan peraturan perundangan-undangan, menjadi mata ajar wajib  pada seluruh jenjang pendidikan, dan perlu ada lembaga khusus yang bertugas melakukan pembinaan dan pemasyarakatan ideologi Pancasila dan wawasan kebangsaan.

Jalan tengah

Dengan rekomendasi semacam itu kecuali merespons aspirasi yang berkembang di masyarakat, serta dengan mempertimbangkan saran dan masukan pakar, akademisi, ataupun tokoh masyarakat, MPR RI mencoba mencari jalan tengah untuk memenuhi keinginan penyempurnaan sistem ketatanegaraan melalui perubahan UUD, sekaligus juga menjawab masyarakat yang ingin kembali ke UUD 1945 sebelum amandemen. Setidaknya mengembalikan sebagian prinsip dasar yang terhapus dalam amandemen selama ini, yakni yang menyangkut  keberadaan GBHN dan kewenangan MPR membuat ketetapan yang bersifat mengatur. Sejauh ini, itulah yang bisa disepakati Badan Pengkajian yang komposisinya bisa disebut sebagai MPR mini karena proporsi keanggotaannya mencerminkan konfigurasi yang ada dalam MPR.

Bola sudah disiapkan, selanjutnya bergantung pada anggota yang  akan diorganisasi oleh masing-masing fraksi ataupun kelompok DPD untuk menindaklanjuti rekomendasi yang sudah dihasilkan Badan Pengkajian MPR. Apa pun yang akan diusulkan gabungan fraksi dan kelompok DPD bisa menjadi agenda penyempurnaan sistem ketatanegaraan. Pasal 37 UUD 1945 setelah diamandemen mensyaratkan, usulan minimal didukung sepertiga anggota MPR, dengan secara jelas menyebut pasal yang akan diubah, bunyi perubahan, dan alasan perubahan. Tak ada satu fraksi atau kelompok pun di MPR yang punya anggota lebih dari 231 orang sehingga perlu kerja sama untuk bisa mengajukan usulan perubahan.

Saatnya sekarang anggota MPR melalui fraksi atau kelompok DPD makin intens menyerap aspirasi dan keinginan masyarakat, bahkan saling melobi satu sama lain, untuk menyamakan persepsi, termasuk dengan Presiden yang secara politis pengaruhnya sangat signifikan. Juga saatnya masyarakat yang mempunyai aspirasi memasukkan gagasannya ke dalam konstitusi melakukan komunikasi kepada para anggota MPR, dan akan lebih efektif melalui fraksi dan kelompok DPD yang ada.

BAMBANG SADONO

ANGGOTA DPD RI DARI JAWA TENGAH DAN KETUA BADAN PENGKAJIAN MPR RI 

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 September 2016, di halaman 6 dengan judul "Amandemen Jalan Tengah".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger