Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 01 September 2016

Spirit Transformatif Haji (FAJAR KURNIANTO)

Transformasi sosial bisa terjadi dari ibadah haji. Berbagai ritual atau manasik haji tidak semata-mata ibadah taqarrub atau pendekatan diri kepada Allah SWT dan pemenuhan rukun Islam kelima, tetapi juga dorongan untuk memaknai nilai-nilai moral atau etis yang terkandung dalam setiap manasik.

Ia berkaitan dengan relasi sosial antarmanusia sebagai modal utama bagi terjadinya transformasi sosial setelah haji selesai dilakukan dan kembali ke tempat masing-masing.

John L Esposito dalam bukunya, Masa Depan Islam: Antara Tantangan Kemajemukan dan Benturan dengan Barat (2010), menggambarkan perihal ibadah haji: "Saat berhaji, pria dan wanita menjalankan ritual bersama. Tidak ada perbedaan jender di tempat tersuci ini. Dengan mengenakan pakaian sederhana yang melambangkan kesucian, persatuan, dan kesetaraan, mereka menghidupkan kembali peristiwa-peristiwa besar keagamaan. Jemaah berjalan mengelilingi Kabah, yang dikenal sebagai Baitullah (Rumah Allah) dan dipandang sebagai paling sakral di dunia. Seperti halnya shalat, perjalanan (tawaf) ini melambangkan hubungan spiritual dengan Allah SWT".

Dalam ritual lain, kata Esposito, mereka memerankan kembali Hajar yang berlari-lari mencari air untuk dirinya sendiri dan putranya, Ismail, saat mereka tersesat di padang pasir, mengingatkan perjuangan umat manusia dalam kehidupan. Menjelang akhir, mereka berkumpul di Padang Arafah untuk memperingati perjalanan haji terakhir Nabi Muhammad SAW serta khotbah perpisahan dengan umatnya.

Pulang kepada Allah SWT

 Ali Syari'ati dalam bukunya, Makna Haji(2007), mengatakan bahwa haji merupakan kepulangan manusia kepada Allah SWT yang mutlak, yang tidak memiliki keterbatasan dan yang tidak disepadankan dengan apa pun. Kepulangan kepada Allah SWT merupakan gerakan menuju kesempurnaan, kebaikan, keindahan, kekuatan, pengetahuan, nilai, dan fakta-fakta.

Dengan melakukan perjalanan menuju keabadian ini, kata Syari'ati, tujuan manusia bukanlah untuk binasa, melainkan untuk berkembang. Tujuan ini bukan untuk Allah SWT, melainkan untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Makna-makna itu dipraktikkan dalam pelaksanaan ibadah haji, dalam manasik, atau dalam tuntunan yang bukan manasik, dalam bentuk kewajiban atau larangan, nyata atau simbolik. Semua itu, pada akhirnya, mengantarkan seorang yang berhaji hidup dengan pengamalan dan nilai kemanusiaan.

 Syari'ati, misalnya, mencontohkan makna di balik pemakaian pakaian ihram yang sama tanpa perbedaan di miqat. Menurut dia, tidak dapat disangkal bahwa pakaian pada kenyataannya dan juga menurut Al Quran berfungsi sebagai pembeda antara seseorang atau satu kelompok dan lainnya. Pembedaan tersebut dapat mengantar pada perbedaan status sosial, ekonomi, atau profesi. Pakaian juga dapat memberi pengaruh psikologis kepada pemakainya. Di miqat, tempat ritual ibadah haji dimulai, perbedaan harus ditanggalkan.

Semua harus memakai pakaian yang sama. Pengaruh-pengaruh psikologis dari pakaian harus ditanggalkan. Semua merasa dalam satu kesatuan dan persamaan. Di miqat ini, apa pun ras dan suku harus dilepaskan. Semua pakaian yang dikenakan sehari- hari yang membedakan sebagai serigala (yang melambangkan kekejaman dan penindasan), tikus (yang melambangkan kelicikan), anjing (yang melambangkan tipu daya), atau domba (yang melambangkan penghambaan) harus ditinggalkan. Di miqat pula, dengan mengenakan dua helai pakaian berwarna putih, seorang yang berhaji akan merasakan jiwanya dipengaruhi oleh pakaian ini. Ia akan merasakan kelemahan dan keterbatasannya, serta pertanggungjawaban yang akan ditunaikannya kelak di hadapan Allah SWT.

Transformasi sosial

Kehidupan sosial perlu transformasi dan agama hadir sebagai suluh yang menyalakan itu. Soekarno pernah mengingatkan, kita jangan sampai mengambil Islam itu abunya, tetapi nyala apinya, spiritnya, yakni progresivitas, revolusi, dan transformasinya. Dalam bahasa Al Quran, Islam adalah cahaya (nur) yang menyingkap kegelapan (zulumat).

Islam dengan segala ajarannya mengandung nilai-nilai transformasi yang bisa mengubah kehidupan. Robert N Bellah dalam bukunya, Beyond Belief(1976), mengatakan bahwa tatanan masyarakat yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW adalah salah satu contoh nyata masyarakat modern. Bahkan, untuk konteks masa itu (Arab) terlalu modern. Dengan demikian, setelah Nabi Muhammad SAW wafat, tatanan itu tidak bisa bertahan lama.

Indonesia adalah negeri dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. Maka, Indonesia termasuk terbesar mendapatkan kuota jemaah haji setiap tahun. Kuota itu terus bertambah. Namun, negeri ini masih dirundung pelbagai persoalan sosial, seperti keretakan sosial, ancaman disintegrasi, terorisme, radikalisme, diskriminasi, korupsi, ketidakadilan sosial, penegakan hukum yang lemah sekaligus pelanggaran hukum yang tinggi, kemiskinan, pertikaian antarkelompok, dan seterusnya. Semua berbanding terbalik dengan status negeri ini sebagai negeri religius. Semua karena nilai-nilai ajaran agama tidak dihayati secara mendalam lalu diamalkan.

Banyak yang berhaji, tetapi malah mempertajam perbedaan bukan bersatu dalam keragaman. Padahal, seperti disebutkan Syari'ati, pakaian ihram yang sama di miqat bermakna menanggalkan perbedaan dan menyatukan setiap orang dalam persamaan dan kebersamaan.

Slogan Bhinneka Tunggal Ika, misalnya, sejatinya sama dengan pesan moral pakaian ihram ini. Berbeda-beda tetapi tetap satu. Ada nilai persatuan dan kesetaraan yang terkandung dalam haji, seperti diilustrasikan oleh Esposito.

Termasuk juga nilai-nilai persaudaraan. Malcolm X, aktivis Muslim kulit hitam Amerika, misalnya, pernah memberikan kesan mendalam setelah ia berhaji yang mengubah hidupnya: "Ada puluhan ribu jemaah haji dari seluruh dunia. Mereka terdiri dari berbagai warna kulit, dari si pirang bermata biru sampai si hitam dari Afrika. Namun, kami semua mengikuti ritual yang sama, memperlihatkan semangat kebersamaan dan persaudaraan yang, dari pengalaman saya di Amerika, membuat saya mengira tidak akan pernah terjadi di antara kulit putih dan bukan kulit putih" (Malcolm X, surat dari Mekkah, April 1964).

Semua nilai dalam haji ini adalah modal utama bagi transformasi sosial jika betul-betul dipahami dan diamalkan. Jadi, haji tidak sekadar melaksanakan manasik, tetapi ada efek positif bagi masyarakat dan secara lebih luas bagi bangsa dan negara. Transformasi sosial dapat terjadi manakala orang yang beragama mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dengan baik, konsisten, dan penuh tanggung jawab. Betapa sayangnya jika haji yang berbiaya tidak sedikit hanya berefek secara individual, tidak secara sosial, yakni terciptanya transformasi sosial.

FAJAR KURNIANTO

PENELITI PUSAT STUDI ISLAM DAN KENEGARAAN (PSIK) UNIVERSITAS PARAMADINA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 September 2016, di halaman 7 dengan judul "Spirit Transformatif Haji".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger