Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 27 September 2016

Gagap Membaca Fakta (RIDUAN SITUMORANG)

Ada banyak fakta yang menunjukkan bahwa bangsa kita masih terpuruk, tetapi gagal kita baca. Fakta terbaru terlihat dari hasil penelitian hasil tes PIAAC atau Programme for the International Assessment of Adult Competencies (digunakan untuk melihat tingkat kecakapan orang dewasa) OECD.

Di sana, hampir di semua jenis kompetensi yang diujikan, seperti literasi, numerasi, dan problem solving,kita selalu berada pada jurang paling dalam. Sebagaimana dikutip Victoria Vanggidae (Kompas,2/9), lebih dari separuh responden Indonesia mendapatkan skor kurang dari level 1 (kategori pencapaian paling bawah) dalam hal kemampuan literasi.

Padahal, seperti ditegaskan kembali oleh Syamsul Rizal (Kompas,21/9), survei ini tidak dilakukan di Indonesia, tetapi Jakarta saja. Tentu, Jakarta tak bisa jadi deskripsi utuh Indonesia. Sebab, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Jakarta berada pada angka 78,99, sementara IPM Indonesia jauh di bawahnya, 69,5. Artinya, peringkat PIAAC Indonesia yang sesungguhnya jauh lebih mengkhawatirkan.

Ini tak jauh beda dengan hasil PISA yang sudah rutin kita ikuti. PISA adalah "abangan" dari PIAAC. Di PISA pun kita selalu saja berada pada kelompok terbawah. Pada PIAAC, memang inilah tahun pertama kita ikut andil. Namun, kita boleh berspekulasi bahwa jika pun sudah rutin dilakukan, kita juga niscaya akan selalu berada pada kelompok terbawah, sama dengan PISA. Dengan begitu, kata-kata "Pisani" yang menyebut bahwa kita "orang bodoh, tapi bahagia" tidak hanya berlaku pada hasil PISA saja, tetapi juga bagi kita secara keseluruhan.

Sangat lemah

Mari kita rujuk fakta lainnya. Jika mengekor pada Tajuk Rencana Kompas(15/9), kita akan semakin paham bahwa memang tata kelola pendidikan kita masih sangat buruk. Di sana dibeberkan bahwa berdasarkan data Kemdikbud 2015/2016, ada 997.554 siswa SD yang putus sekolah. Padahal, SD adalah fondasi pendidikan. Jika di SD saja sudah gagal, maka ke pucuk-pucuknya kita tak bisa berharap banyak. Belum lagi kalau di tingkat menengah, sudah pasti lebih banyak lagi yang gagal melanjutkan sekolah, apalagi di tingkat tinggi.

Alasan logisnya masalah biaya. Sebab, tingginya angka putus sekolah lebih pada masalah akses dan biaya. Padahal, kita sudah sama-sama memaklumi, cara terbaik mengangkat seseorang dari kemiskinan bukan dengan memberikannya hibah berupa BLT, melainkan mempersenjatainya dengan bekal pendidikan. Inilah yang kemudian dikukuhkan Bank Dunia (1996) bahwa ada korelasi tinggi antara persentase populasi penduduk yang memiliki gelar sarjana dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Artinya, makin tinggi pendidikan seseorang, semakin dia mampu mengangkat dirinya dari lumpur kemiskinan. Sebaliknya, semakin rendah pendidikan seseorang, semakin dia akan bermain-main pada lumpur kemiskinan. Fakta ini seharusnya menjadi prioritas pendidikan kita. Pemerintah harus membuat akses dan biaya pendidikan itu mudah dan murah, bahkan gratis.

Memang, Jokowi sudah meluncurkan Program Wajib Belajar 12 Tahun pada 2015. Bahkan, ada banyak kartu yang mendukungnya, seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP). Namun, peluncuran berbagai program ini sangat lemah pada tataran praksisnya. Kita justru acap mendengar bahwa satu-satunya sekolah gratis adalah sekolah abal-abal, tanpa fasilitas. Belum lagi kalau kita melihat ke lapangan bahwa di sekolah nyatanya masih banyak pungutan.

Membuktikan ini paling gampang ketika tahun ajaran baru tiba. Ketika tahun ajaran baru menjelang, terutama kalau itu menyangkut proses penerimaan siswa baru, sekolah-sekolah tertentu akan melakukan berbagai pungutan berkedok sumbangan.

Pemerintah memang tak tinggal diam. Melalui Permendikbud No 60/2011, pemerintah melarang berbagai pungutan. Pemerintah juga sudah mengklasifikasikan kriteria mana sumbangan dan mana pungutan. Pungutan bersifat wajib dan mengikat, sementara sumbangan bersifat kesukarelaan. Tak ada paksaan. Satu-satu yang diharapkan adalah perhatian masyarakat. Akan tetapi, pada praktiknya, masih banyak sekolah kita yang membuat sumbangan beraroma pungutan, bahkan kewajiban.

Jangan berharap banyak

Ini saja sebenarnya sudah cukup membuktikan kepada kita bahwa Program Wajib Belajar 12 Tahun hanyalah jualan politis. Sekolah gratis hanya pilihan tersadis ketika pilihan lain tidak ada lagi karena sekolah gratis adalah sekolah kandang dengan minim fasilitas, minim guru, minim semangat. Ini tentu sangat menyedihkan, apalagi kalau dikomparasikan di mana di satu sisi kita terlihat sangat peduli pada pendidikan. Lihat, misalnya, baru-baru ini betapa bangganya kita memberikan beasiswa kepada 100 pengungsi Suriah.

Memang, dikatakan bahwa bantuan Rp 3,6 miliar itu bukan beasiswa, melainkan murni dari sisi kemanusiaan dengan besaran Rp 360 juta per orang. Sampai di titik ini, ide ini sangat baik, bahkan sangat baik. Apalagi kita bukan peratifikasi Konvensi PBB untuk Pengungsi Tahun 1951 sehingga kita bisa menerima pengungsi, tetapi tidak berkewajiban memberikan hak atas pelayanan sosial, termasuk pendidikan. Hanya saja, kita harus sampai pada posisi bahwa saat ini kita nyatanya masih kacau-balau dengan fasilitas pendidikan.

Belum lagi karena belakangan ini kita mewacanakan sekolah seharian (full day school). Sekolah seharian tentu mengandung fakta lain: biaya pendidikan akan semakin tinggi. Sebab, guru akan tinggal seharian di sekolah. Karena itu, pelan-pelan, gaji guru mestinya akan dinaikkan juga. Ditambah lagi dengan kewajiban ekstrakurikuler. Biaya pendidikan niscaya akan semakin tinggi. Lalu, bagaimana nasib anak-anak yang taraf ekonominya kurang lebih sama dengan anak yang putus sekolah hari ini akan bersekolah dengan biaya pendidikan yang juga semakin tinggi?

Kita bahkan belum sampai pada fakta lain bahwa di sejumlah tempat siswa sering kali menjadi "mesin kerja" dan "mesin uang". Sepulang sekolah langsung ke sawah, ke ladang, berjualan, atau kegiatan-kegiatan lainnya. Ini terjadi karena orangtua butuh tenaga untuk mencari uang. Nah, bayangkan kalau sekolah akan seharian, dari mana lagi orangtua akan mendapatkan uang tambahan untuk menyekolahkan anak, pada posisi saat itu biaya sekolah malah semakin tinggi? Kalau begini, saran saya, jangan menyiksa diri dengan terlalu banyak berharap!

RIDUAN SITUMORANG, SEORANG PENDIDIK DI MEDAN; PEGIAT LITERASI DI PUSAT LATIHAN OPERA BATAK (PLOT) MEDAN DAN DI TOBA WRITERS FORUM (TWF)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 September 2016, di halaman 7 dengan judul "Gagap Membaca Fakta".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger