Cari Blog Ini

Bidvertiser

Minggu, 11 September 2016

KRITIK: Bahasa Maskulin dalam Sastra (ANINDITA S THAYF)

Sandra M Gilbert dan Susan Gubar membuka esainya "Perempuan Gila di Loteng Rumah" (2000) dengan pertanyaan: "Apakah pena itu alat kelamin laki-laki metaforis?" Pertanyaan tersebut mereka ajukan untuk mengulik watak maskulinitas pengarang laki-laki dalam karyanya. Lewat kajian kedua perempuan pengarang itu tentang sastra Abad Pertengahan hingga era Victorian, terurai sebuah fakta tentang bagaimana laki-laki pengarang memosisikan dirinya sebagai "bapak" dari teks yang dihasilkannya sebagaimana Tuhan menjadi Bapak Kita.

Lantas, apa pengaruh pandangan yang menempatkan pengarang sebagai "bapak" ini dalam dunia sastra? Pengaruh terpenting adalah dalam hal penggunaan bahasa. Bagi seorang pengarang, ketika dia memilih satu diksi untuk digunakan dalam teks, maka hal itu mestilah ada alasannya. Disadari maupun tidak, pilihan bahasa seorang pengarang merupakan pilihan ideologinya. Ketika dunia patriarki masih kuat, bahasa pun akan terpengaruh. Maka siapapun yang menguasai bahasa, dialah yang bakal mendominasi wacana. Dale Spender dalam tulisannya "ManMade Language", sebagaimana dikutip oleh Sylvia Walby (2014), menyatakan bahwa bahasa disusun oleh ideologi patriarki, yakni dibuat oleh dan bagi laki-laki. Dia mencontohkan kata man dalam bahasa Inggris yang digunakan sebagai kata ganti orang ketiga dari seseorang (entah laki-laki, entah perempuan) yang jendernya tidak/belum terjelaskan sebagai (dia) laki-laki atau he.

Sementara itu, dalam konteks Indonesia semasa Orde Baru, umpamanya, kata yang digunakan untuk menyebut perempuan secara resmi adalah wanita. Oleh kalangan feminis, kata wanita dinilai merendahkan kaum perempuan karena diambil dari kata wanito yang bermaknawani ditoto (berani ditata/atur). Pada kenyataannya, secara politis, Orde Baru memang hendak meletakkan perempuan sebagai pihak yang harus mau ditata oleh (kekuasaan) laki-laki.

Ketika bahasa tak bisa dilepaskan dari ideologi patriarkal, maka pilihan-pilihan diksi seorang pengarang dalam teks sastra tidak hanya menjadi bukti kejeniusannya dalam berbahasa, tetapi juga bisa menjadi bukti seberapa besar ideologi maskulinitas itu berpengaruh kepada dirinya. Meski demikian, posisi pengarang tersebut dapat terjelaskan; apakah dia masih diganduli ideologi patriarkal ataukah tidak; sensitif jender ataukah tidak.

Linggis dan ular

Bagaimana cara mengenali bahasa maskulin dalam sebuah prosa? Cara termudah adalah dengan belajar mengenalinya lewat karya para pengarang yang dikenal misogini. Bagi pengarang misogini, perempuan adalahliyan kelas terendah. Nietzsche, umpamanya, dalam Zarathustramemakai diksi-diksinya untuk merendahkan perempuan, sebagai contoh: "Biar perempuan menjadi mainan...." Dalam kalimat tersebut perempuan disamakan dengan mainan. Mainan bagi siapa? Sudah tentu bagi laki-laki. Masih dalam Zarathustra, pada kalimat lain, perempuan digambarkan oleh Nietzsche sebagai: "... [yang] dilatih untuk menjadi hiburan bagi sang prajurit...." Sebagai hiburan tentu perempuan harus bisa menyenangkan laki-laki yang bertindak sebagai tuannya. Demikian beberapa pilihan diksi ala Nietzsche yang dengan terang memperlihatkan posisinya sebagai pengarang yang patriarkal.

Selain dari penggambaran sosok perempuan, bahasa maskulin juga bisa dikenali lewat pilihan diksi pengarang laki-laki saat menggambarkan kelaminnya. Dalam dunia patriarkal, kelamin laki-laki memiliki posisi sentral sebagai simbol kejantanan untuk mendominasi perempuan. Tak heran, alat kelamin kerap digambarkan sebagai sesuatu yang mampu menguasai, mengalahkan atau setidaknya menjinakkan lawan. Penggambaran semacam ini dengan mudah dijumpai dalam buku kumpulan puisi Nirwan Dewanto berjudul Buli-Buli Lima Kaki(2010).

Dalam buku kumpulan puisi tersebut, salah satu diksi yang dipilih si pengarang untuk menggambarkan kelamin laki-laki adalah linggis, seperti dalam "linggis beliung kaku kelu". Adapun dalam kalimat lain, kelamin laki-lakinya diibaratkan taji: "tapi lebih sering kuasah mulutmu dengan tajiku". Lantas berubah lagi menjadi belalai: "belalai yang mahir membidikmu". Bahkan gading: "yakni gading yang suka menggali di balik gaun". Semua alegori tersebut dengan sengaja dipilih si pengarang demi menunjukkan betapa kelamin laki-laki tiada beda dengan alat yang digunakan untuk mengalahkan sosok liyan berwujud perempuan. Di sinilah tampak posisi Nirwan sebagai pengarang yang masih menganut pola pikir patriarkal. Diksi-diksi yang dipilih Nirwan dalam menggambarkan kelamin laki-laki sangat maskulin. Kritik lebih luas tentang kumpulan puisi Nirwan yang banyak mengusung pandangan patriarkal bisa dibaca dalam buku Memasak Nasi Goreng Tanpa Nasi (2014). Menariknya, kumpulan puisi yang sarat diksi maskulin ini terpilih sebagai pemenang Khatulistiwa Literary Award 2011. Hal ini menunjukkan betapa besarnya pengaruh maskulinitas dalam dunia sastra, termasuk dalam pemberian penghargaan.

Selain dalam hubungan seksual yang sadar, oleh seorang pengarang laki-laki lainnya, perempuan yang sedang tidur pun digambarkan merindukan kelamin laki-laki yang maskulin. Contoh semacam ini bisa dijumpai dalam novel Eka Kurniawan berjudul Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas (2014). Kelamin laki-laki digambarkan sebagai "ular besar". Diksi maskulin tersebut sengaja dipilih si pengarang demi menunjukkan kejantanan yang sempurna dalam pandangan laki-lakinya, yaitu yang "panjang" serupa ular sekaligus "besar". Sungguh penggambaran yang serupa isi iklan penawar obat kuat murahan. Kelamin laki-laki yang seperti "ular besar" itulah yang, menurut pandangan pengarang novel, dirindukan oleh perempuan, bahkan di dalam mimpinya. Perempuan dipaksa menerima imajinasi pengarang laki-laki tentang kelamin yang mampu memberi kepuasan maksimal hingga terbayang-bayang. Dengan kata lain, pola pikir maskulin disusupkan lewat diksi yang kelihatan lumrah, padahal menyimpan pesan ideologis di baliknya.

Serupa Nirwan, Eka masih dibelit oleh pandangan fantasi patriarkal tentang mitos kelamin laki-laki yang kesempurnaannya ditentukan berdasarkan ukuran. Penyusupan ideologi maskulinitas lewat pilihan diksi dalam prosa memang cukup halus dan sulit dikenali. Tak heran, cara ini mampu mengecoh banyak pembaca dan tanpa sadar turut membentuk pola pikir mereka. Di sinilah diperlukan kejelian dalam membaca teks sastra agar kita tidak meniru Hawa yang selama beradab-abad mau saja menjadi bayang-bayang Adam dan tertipu oleh Ularnya.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 September 2016, di halaman 26 dengan judul "Bahasa Maskulin dalam Sastra".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger